Republik ini tak terduga - Akil Mochtar.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, menjalani sidang perdana, Kamis (20/2/2014) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kuningan, Jakarta. Palu hakim terletak jauh dari jangkauan Akil, di depannya hanya ada alat pengeras suara. Hari ini, kursi yang diduduki Akil tidak memiliki sandaran yang lebih tinggi dari kepalanya, ia hanya duduk di atas kursi hitam kantoran biasa. Akil duduk di muka hakim bernama Suwidya, untuk mendengarkan segala ketidakterdugaannya.
Akil Mochtar, didakwa atas penerimaan suap untuk dua perkara Pilkada yang ia pimpin sidangnya di Mahkamah Konstitusi, Pilkada Lebak dan Gunung Mas. Serta penerimaan hadiah/gratifikasi atau janji terkait 15 perkara Pilkada yang pernah ditanganinya. Juga untuk Tindak Pidana Pencucian Uang senilai yang dilakukannya bukan hanya saat menjadi Hakim Konstitusi, melainkan juga saat dirinya masih menjadi anggota DPR, jumlah senilai Rp 181.594.707.977
Akil tidak sendirian, meski bukan sebagai terdakwa ada Patrialis Akbar yang duduk di belakangnya. Di tengah kerumunan wartawan dan para hadirin sidang, sesekali Patrialis memejamkan mata dan dengan khidmat ia berusaha untuk tidak melewatkan satu kalimat pun dari dakwaan yang dibacakan tim jaksa secara bergantian.
"Ini baru pertama kali saya hadir sejak pak Akil ditangkap, saya Ingin lihat jalannya sidang," ujarnya.
Kehadiran Patrialis dalam sidang bisa dikatakan istimewa, di tengah polemik tentang Surat Keputusan pengangkatan dirinya sebagai Hakim Konstitusi, mantan kader Partai Amanat Nasional itu ternyata masih mau meluangkan waktu untuk bertemu dengan Akil Mochtar, bersilaturahmi, dan memantau sidang mantan koleganya. Ia datang bukan sebagai Hakim Konstitusi, melainkan atas nama pribadi, seorang sahabat.
*
Sementara itu,  Mahfud MD terlihat aktif di Twitter malam tadi, menjelaskan terhadap tuduhan Akil yang menyebut dirinya ikut terlibat. Dalam kicaunya, Mahfud menjelaskan secara terang: Tentang KPK, MK, Anjing Buduk, Uang di tembok Karaoke, dan tentang strategi yang memaksa orang untuk menunggu.
Mungkin Mahfud benar, ia pantas bersyukur karena berkat kelihaiannya dalam berpolitik serta nuraninya yang tak tega korupsi, Mahfud menjadi pembuka jalan bagi KPK dan PPATK untuk menjadi vitamin di tubuh MK. Sadapan KPK dan penelusuran keuangan PPATK menjadi stimulus untuk menjaga keadaa MK tetap prima, tetap bersih dari toksin mematikan.
Barangkali Akil apes, mungkin juga Akil terlena. Bukannya tambah berhati-hati pascatragedi Refly Harun, Akil malah merasa aman dengan skenarionya. Bukankah jauh-jauh hari Mahfud sudah mewanti-wanti bila KPK selalu bekerja di mana-mana dengan sadapannya. Bukankah saat Mahfud aktif koordinasi dengan KPK dan PPATK, Akil sudah menjadi hakim anggota?
*
Di sisi lain ada hakim Konstitusi lain bernama Harjono, yang telah memasuki masa pensiun, barangkali hatinya masih menangis saat ini. Di ambang purnabakti, Harjono harus menghadapi ketidakpercayaan masyarakat terhadap MK yang ia cintai.
"Saya tidak bisa berbuat apa-apa dan dalam hati saya menangis. Sepuluh tahun saya ada di sini, apa yang saya lakukan seolah-olah hilang tak ada artinya dengan kasus yang satu itu. Suatu penyesalan yang sangat dalam secara pribadi," ujar Harjono pada 3 Oktober 2013 saat Akil ditangkap KPK.
Harjono memang pantas berkecil hati, pasalnya saat ini MK ibarat pepatah 'akibat nila setitik rusak susu sebelanga', karena satu hakim terlibat korupsi semua hakim dianggap sama, semua perilaku dianggap tak beda, lebih parah lagi semua sengketa pilkada dianggap tidak sah putusannya.
Inilah ketakutan terbesar Harjono dan hakim lainnya. Ketika satu orang di antara mereka dianggap menjual jasa sebagai penimbang fakta, delapan hakim yang tidak tahu menahu tentang hal tersebut harus saling menopang hadapi cercaan. Bahkan hakim konstitusi Maria Farida mendapat ujian yang lebih berat lagi : Ia diragukan oleh anak kandungnya sendiri.
*
Di sebuah warung kopi di samping gedung KPK, tiga orang wartawan dan tiga orang akademisi saling bertukar isi kepala. Tentang Pemilu, tentang Mahkamah Konstitusi, dan Perppu. Bersama asap mie instant dan kopi hitam, mereka paparkan beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi tertangkapnya seseorang serta dampak yang ditimbulkannya.
"Menarik untuk dilihat, barangkali ada grand design untuk mengorbankan A," ujar seorang akademisi.
"Lho, A itu tertangkap tangan, mana bisa disebut korban?" sanggah wartawan.
"Ya dikorbankan belum tentu ia tidak salah, barangkali dia sudah lama salah, namun baru sekarang diputuskan untuk dieksekusi," .
"KPK maksudnya?"
"Saya tidak berpikir ke sana, saya rasa KPK masih kuat imannya,"
Dugaan mengenai KPK yang menyiapkan skenario pembusukan MK akhirnya tumpas, ada kemungkinan yang lebih ideal: kepentingan politik seorang Grand Master. Namun sayang, mereka tidak dapat menemukan sebuah nama yang cocok. Hal tersebut pun masih sebatas pemikiran yang belum ditunjang dengan penelitian atau kajian.
Kemudian obrolan menjadi jauh ke depan, meski saat itu Jakarta masih basah di bulan November, namun para wartawan dan akademisi itu membicarakan Pemilu 2014. Sebuah pertanyaan:
"Masih bisa enggak masyarakat percaya MK sampai Pemilu 2014?"
*
MK pascaditangkap Akil terancam lumpuh menghadapi Pemilu, selain merosotnya kepercayaan masyarakat, MK sudah pasti kehilangan dua hakim sampai April nanti. Ditambah lagi dua hakim yang belum jelas nasibnya kini. Ingat, bila ada sengketa pada Pemilu, di MK lah tempat terakhir untuk mengadu. MK harus bangkit, harga mutlak untuk hadapi pesta rakyat.
Kontroversi masih terus bertebaran di negeri ini, RUU KUHAP, UU Pemilu serentak, sampai pada tetek bengek wacana pidana bagi pemilih yang tak gunakan hak. Di mana-mana memang selalu begitu, politik penuh dengan intrik, setiap momen memang harus dimanfaatkan untuk belajar: Agar bebal tidak kekal.
Imbasnya, masyarakat sampai saat ini masih belum bisa diberi kepastian. Pada akhirnya mereka hanya bisa berdo'a, semoga negeri ini baik-baik saja, semoga DPR cepat menemukan sosok berintegritas untuk menjadi hakim di MK dibanding sibuk ngurus RUU KUHAP yang dianggap lemahkan KPK dan semoga MK bisa yakinkan bahwa mereka bisa lebih jujur dari yang masyarakat kira.
Sampai pada Pemilu nanti rakyat hanya bisa berdo'a karena Republik ini (seringkali) tak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H