Karat yang pertama identik dengan kebobrokan, yakni lapisan merah (kekuning-kuningan) yang melekat pada besi dan sebagainya sebagai akibat proses kimia. Karat membuat besi, atau benda sejenis, biasanya akan menjadi rapuh. Karat menjadi sangat ditakuti dan membuat orang mencari-cari tentang bagaimana caranya untuk menangkal karat dari besi-besi kokoh yang dijadikan pondasi atau penyangga sesuatu yang dianggap penting.
Barang setengah tahun lalu, Jakarta kedatangan bus yang diimpor dari negeri Tiongkok. Dengan harapan dapat melancarkan kinerja program Bus terintegrasi yang diimplementasikan pemerintah DKI Jakarta, tambahan bus diyakini dapat mengurangi kemacetan dan menjadi solusi untuk mengubah citra kendaraan umum di Jakarta yang bobrok menjadi elegan.
Tapi apa jadinya bila bus yang diimpor dari Tiongkok itu ternyata sama saja? Bobrok alias berkarat. Sontak masyarakat pun dikagetkan dengan berita tentang bus impor yang karatan tersebut. Polemik dimulai, dari mulai dari penyebab karat yang dikatakan karena bus terlalu lama mendekam di pelabuhan, sampai pada sistem lelang bus yang bermasalah. Karat pun memakan korban. Udar Pristono, Kepala Dishub DKI Jakarta, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung.
Meski menjabat sebagai kepala dinas, Udar ogah disebut sebagai aktor utama pengadaan bus dari tiongkok itu. Lebih jauh dirinya juga merasa bila urusan ini bisa diselesaikan dalam tingkat inspektorat dan tidak harus sampai dilempar ke kejaksaan. Tapi itulah wewenang, di dalamnya bisa jadi perebutan, di dalamnya pula bisa ada sinergi. Wewenang, satu yang pasti, tak boleh meleset. Ia harus digunakan sesempurna mungkin, sebaik mungkin tanpa cacat.
Pristono dengan segala wewenangnya barangkali bisa menjelaskan apa yang terjadi tentang beberapa bus yang berkarat. Ia mengklaim bisa meminta ganti barang yang berkarat kepada vendor penyedia bus di Tiongkok. Ia bisa menjelaskan bagaimana kasus ini adalah kasus perdata yang bisa dijelaskan tanpa melibatkan kemungkinan hukuman pidana yang barang tentu jadi urusan kejaksaan. Sekali lagi, itulah wewenang, Pristono memiliki wewenang, begitu pula Gubernur DKI atau Wakil Gubernur DKI, juga Kejaksaan.
Wewenang sebagai seorang pemimpin atau kepala, harus digunakan sesempurna mungkin, sebaik mungkin. Wewenang adalah hak privilege seseorang untuk mengatur, untuk hal baik maupun buruk. Wewenang merupakan pengakuan definitif seseorang untuk mendesain sesuatu. Dalam negeri ini, di mana kita menyebut negeri kita sebagai negeri yang taat hukum, wewenang menjadi satu hal yang diamanatkan seseorang oleh seseorang lainnya atau oleh khalayak ramai untuk mengimplementasikan aturan yang ada dalam undang-undang, peraturan, dan lain sebagainya.
Dan wewenang, bung Pristono, ia harus digunakan sesempurna mungkin. Tanpa cacat, tanpa salah, tanpa noda hitam pada baju putih yang dikenakan. Noda yang timbul itu selamanya, barangkali bisa mengganti baju yang dikenakan tapi tetap, cacat pada wewenang tidak seperti dosa: yang setelahnya kita bertaubat akan hilang dan termaafkan.
Sebelum Pristono, ada Andi Mallarangeng yang saat ini sedang bertarung dengan penuntut KPK. Dengan segala daya upaya, lewat Pledoinya yang memukau, Ia mengaku telah menjalankan seluruh tugasnya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga sebaik mungkin, sesempurna mungkin, sesuai dengan pengertiannya tentang undang-undang, aturan dan lain sebagainya. Ia merasa tak melakukan kesalahan, apa lagi sampai menilap uang rakyat. Dengan tidak mengurangi rasa sayang terhadap adiknya, Choel Mallarangeng, Andi menyebut adiknya itulah yang menerima uang.
Tapi itulah wewenang, ia tak menggilas seseorang yang tak memiliki wewenang. Pada dasarnya, apa yang menjadi tujuan pemberantasan korupsi adalah memberangus ketidakpahaman atau kesalahan atau ketidaksempurnaan pengimplementasian undang-undang, aturan dan lain sebagainya. Sementara Choel? ia tak memiliki wewenang, ia hanya seorang adik dari orang yang memiliki wewenang.
Bukankah pak Budi Mulya, juga tidak pernah menerima uang dari kasus dugaan penyelewengan dana FPJP Century? Melalu pengakuannya, ia memang mendapatkan pinjaman uang sebesar Rp. 1 Milyar dari garong Robert Tantular, tapi ia mengaku itu adalah urusan pribadi, tidak memengaruhi apa-apa dalam keputusannya tentang Century yang diberikan bantuan likuiditas. Mendapat pinjaman atau tidak dari Robert Tantular, Century akan tetap diberikan bantuan likuiditas, karena saat itu dipandang sekali Century jatuh, yang lain bakal ikut jatuh. Sistemik.
Tapi, baik Pristono, Andi, atau pun Budi Mulya barangkali ketiganya sadar atau barangkali juga tidak. Bahwa, Korupsi tidak sekedar saya atau anda atau adik anda atau saudara anda yang menerima uang negara hasil dari kecurangan. Melainkan juga tentang wewenang yang melanggengkan terjadinya curi-curi uang yang menyebabkan kerugian pada negara ini.
Maka saya teringat wejangan dari Ayah saya yang notabene tidak pernah memiliki wewenang saat menilai Soeharto yang begitu ia cintai dulu.
"Semakin tinggi jabatan, semakin besar wewenangnya. Semakin besar wewenang semakin banyak pula pekerjaan. Bukan untuk kerja kanan-kiri wara-wiri. Tapi untuk memastikan, setiap prakarsa dari kepala kita -sebagai pemegang wewenang- berjalan seperti yang ada di dalam kepala kita. Tidak dimanfaatkan kepala lain untuk mengambil keuntungan,"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H