Hari ini masuk tanggal 4 bulan Juni tahun 2014, jam setengah satu malam saya selesai membaca ulang buku "Catatan Pinggir 6" Goenawan Mohamad. Pada pengeras suara yang tersambung dengan komputer jinjing, terdengar suara Chris Martin yang bernyanyi lagu-lagu mellow pada album musiknya yang baru bersama Coldplay. Sementara pikiran masih berada di awang-awang: Tentang filsafat, politik, Masyarakat, dan Manusia.
Pembicaraan sore tadi masih memenuhi pikiran sebetulnya, tentang Energi, mineral, batubara, dan minyak. Seorang teman yang pernah masuk ke dalamnya mengatakan bila kawasan tersebut masih menjadi kawasan yang kotor bagi yang jujur, dan surga bagi mereka pada pendosa. Membahagiakan barangkali menjadi insinyur perminyakan jebolan ITB, bagaimana tidak? Seorang teman itu, yang otaknya masih bisa berpikir jernih dan hatinya yang masih teguh menolak 'rejeki dadakan' itu setidaknya telah menolak belasan upeti. Singka ia bercerita, sudah pernah ditawari Clurit dan Motor Gede.
Budaya, itulah kata yang kita sepakati sore itu, bagaimana pembicaraan berawal dari seorang Rudi Rubiandini, seorang mantan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Awalnya kami sempat tak sepaham bila Rudi adalah pendosa. Seorang birokrat yang menyelewengkan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi atau siapa sajalah. Bahwa, sesungguhnya seorang teman itu, masih percaya adanya skenario dari seorang sutradara yang entah siapa namanya untuk menjatuhkan Rudi, seorang Bapak yang ramah dan baik hati bagi kalangan mahasiswa tempatnya menimba ilmu.
Bukankah suap menyuap sudah menjadi budaya di dalam satuan kerja itu? Seperti halnya yang berkali-kali saya dengar diutarakan oleh pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal yang lumrah itu -suap menyuap - harus segera diberantas, diberangus, dihabisi. Kasus tangkap tangan terhadap Ketua SKK Migas pun dinilai sebagai pintu gerbang KPK untuk membongkar borok yang sudah menahun di dunia energi, mineral, batu bara, dan juga minyak Indonesia.
Tapi kemudian pun saya terngiang oleh suara Fahri Hamzah, si politikus pembenci KPK itu, yang dengan berapi-api menyatakan KPK adalah pemiliki kebenaran mutlak, KPK telah bertindak semaunya, memberantas korupsi yang tebang pilih. Adakah kiranya Samad Cs. benar adanya seperti yang dikatakan Fahri? Saya tidak tahu, namun dari apa yang saya dapatkan dari pembicaraan sore tadi, ada pemikiran yang serupa, bila KPK telah memihak, KPK sedikit diragukan. Sang insinyur Perminyakan itu pun tenggelam dalam ketakutan.
Barangkali lumrah bila seorang akademisi yang brilian memiliki pemikiran-pemikiran yang juga brilian, namun apa daya bila tidak diimbangi dengan kecerdikan berpolitik. Menghadapi orang picik, serta menyiasati sistem yang menjebak. Bukankah melawan budaya adalah salah satu hal yang sulit?
Jadi menteri di pemerintahan Indonesia, lebih-lebih di dunia Energi, Mineral, Batu bara dan Minyak barangkali sama saja menjadi nabi. Seseorang yang bisa mengubah peradaban, seorang yang tak bisa mati di tengah budaya yang jahil, menjadi seorang inisiator sebuah sistem yang bersih, transparan, dan akuntabel. Rudi sempat menjadi bintang yang bersinar, tapi sayang akhirnya ia tumbang.
Seingat saya, saat-saat paling membahagiakan dalam kasus Rudi Rubiandini adalah kejujurannya. Ia mengakui sebagai domba yang telah berubah menjadi macan. Segala macam godaan untuk berbuat curang telah ia tahan sejak awal kepemimpinannya. Rudi menangis, ia membantah bila ada uang korupsi yang nyangkut di perutnya. Ia membantah biila telah mengalir darah dosa dari apa yang ia makan, ia menangis, menyesal tentang khilafnya yang menerima upeti dari orang untuk diberikan sebagai upeti untuk orang lain. Menyedihkan.
Dengan demikian pula, saya bercerita tentang apa yang Rudi alami, tentang penilaian seorang kawan di KPK, tentang keserakahan, tentang kekhilafan seorang manusia. Rudi, adalah korban sistem yang busuk, tentang anak-anak TK itu, yang minta pamrih kepada rekan-rekannya? Bagaimana anak-anak TK itu menelpon dengan suara manis untuk dilancarkan urusannya? Menyedihkan.
Budaya itu, masih hidup sampai sekarang. Seolah tak gentar dengan tindak tanduk si penegak hukum. Seolah mati satu tumbuh seribu, tiada nasib yang jadi korban membuat seorang pendosa gentar. Uang, masih jadi haram, minyak masih jadi gelap. Begitu pula pengawas, di tengah intimidasi kenikmatan maupun kekerasan, segala yang janggal bisa jadi normal.Ada apa gerangan?
Sejauh ini nampaknya dunia itu -tempatmu pernah berpijak- ternyata hanya diisi oleh segelintir bar-bar bergaya parlente. Seorang pintar yang begitu saja menyerah pada keadaan. Seorang budak yang bersertifikasi, seorang hamba dari harta yang bertebaran. Menyedihkan.
Maka kawan, satu pesan yang terlintas sebelum kita berpisah tadi, sebelum langkah kita masing-masing mengarah pulang, adalah pesan yang sungguhan. Bukan pesan canda sekedar penutup perbincangan Menjadi menteri, di negeri ini, barangkali memang seperti menjadi nabi: Seseorang yang bisa mengubah peradaban, orang yang tak mati di tengah budaya yang jahil. Dan budaya, sahabatku, akan menjadi benar mengalahkan yang batil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H