Jokowi tidak amanah, barangkali itu adalah kalimat yang santer sekali terdengar saat saya datang ke rumah kawan saya di daerah Lenteng Agung, tepatnya lorong kecil alias Gang, di depan Stasiun. Di tempat kawan saya itu rata-rata yang tinggal satu RW masih memiliki hubungan keluarga sedarah atau perkawinan. Maka, saat itu juga --saat saya sowan ke rumah kawan saya-- saya merasakan sesuatu yang memojokkan.
Jokowi tidak amanah, seorang tua yang sedang 'ngaso' di pos Ronda berkata mengaku --ia mengatasnamakan-- orang betawi merasa terhina dengan pencapresan Joko Widodo. Alih-alih Jokowi membenahi aneka permasalahan yang ada di Ibu Kota, mantan Walikota Solo itu justru berencana meninggalkan kursi Gubernur DKI Jakarta untuk jadi Presiden."Tukang korsi (ia kenal Jokowi sebagai pengusaha meubel) yang gila korsi ya Jokowi!" ujarnya sambil menahan amarah.
Suara orang tua yang sedang 'ngaso' di pos ronda itu tidak sendirian, ada Fadli Zon nun jauh di tempatnya tinggal dan 'ngaso', juga bersuara sama. Di beberapa kesempatan, Fadli menunjukkan perasaan tak senang pada Jokowi, ia merasa Jokowi belum pantas untuk nyapres karena amanah yang begitu besar dari rakyat DKI yang menunggu realisasi, seyogyanya Jokowi menyelesaikan sumpah jabatannya terlebih dahulu, yakni menyandang predikat sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai tuntas. Tapi kini suaranya agak serak, karena mau tidak mau, dengan menyebut demikian ia mengecilkan kadernya sendiri yang menjadi wakil Gubernur DKI saat ini.
Sang wakil Gubernur, Ahok --begitu Basuki dipanggil-- mengaku siap, saya pun dengar dari dirinya melalui acara Mata Najwa, saat ia dan Jokowi diwawancarai oleh Najwa Shihab yang cantik. Baginya, Jokowi maju atau tidak maju sebagai calon presiden, program-progam Jakarta tidak akan ada yang terbengkalai. Barangkali hanya porsi pekerjaan yang ia lakoni akan begitu banyak dalam selama masa kampanye calon presiden nanti. Pasalnya, Jokowi harus dinonaktifkan terlebih dahulu untuk bisa berkampanye sesuai aturan.
Alih-alih menyimpan rasa canggung, Ahok malah mengaku mengharapkan koleganya itu kembali menjadi Gubernur DKI seandainya tidak terpilih sebagai Presiden. Saya apresiasi jawaban Ahok yang satu itu, menurut saya itu adalah suara hati yang tak bisa dimiliki oleh banyak politisi di negeri ini. Meski merasa siap dan mampu menggantikan Jokowi sebagai pengendali kuasa DKI, namun Ahok merasa akan lebih mudah mengerjakan semuanya dengan Jokowi sebagai Gubernurnya.Ia tak mengharapkan Jokowi meletakkan Jabatannya, justru itu yang kemudian akan membuatnya melepaskan amanah.
Menurut hemat saya, terdapat pergulatan logika di kepala Ahok. Meski ia membutuhkan Jokowi sebagai sosok yang ia sebut lebih baik dari dirinya itu, ia juga tak menutup kemungkinan Jokowi juga dibutuhkan oleh rakyat Indonesia secara umum sebagai seorang Presiden. Ahok sebagai seseorang yang mengenal Jokowi lewat segala progam DKI yang mereka berdua bicarakan, tentu tahu seluk beluk taktik strategi Jokowi untuk menyusun pekerjaan yang berlandaskan kemaslahatan orang banyak. Ditambah, Ahok pun sudah mengetahui cara kerja Jokowi sebagai Kepala Daerah. Tegas dalam bertindak namun tak mengabaikan harmonisasi dan stabilitas keadaan: Sesuatu yang tak dimiliki Ahok yang tegas tanpa syarat.
Kembali kepada orang tua yang sedang 'ngaso' di pos ronda itu, ia semakin marah. Kutunjukkan segala informasi yang kupunya tentang pencapresan Jokowi, termasuk video yang saya unduh dari kanal Youtube. Ya, ia semakin marah dan marah...
"Cina Kresten lo dengerin! Dia kan bagian skenario Jokowi. Lo kagak liat kampung gw udah dipimpin sama orang kresten. Kalo bukan Ahok siape lagi orangnye? Terus dia seneng sekarang Jokowi mau cabut, terus ntar orang betawi (barangkali maksudnya adalah Jakarta secara umum) punya pemimpin kresten, Cina lagi!"
Maka pembicaraan pun saya putuskan selesai, terlalu sulit bila membicarakan Ras dan Agama, minoritas seolah menjadi dosa tak termaafkan di negeri ini. Kuputuskan untuk membisu dan tidak memaksa diri untuk terlibat dalam perdebatan. Setidaknya seorang tua itu, barangkali tidak pernah mengenal konstitusi, yang memerdekaan siapa saja, berasal agama dan ras apapun untuk menjadi pemimpin. Sejauh orang tersebut memiliki kemampuan yang sudah teruji, dan memenuhi segala persyaratan yang juga sudah disusun oleh ahlinya.
Barangkali, Ahok memang lebih realistis, mimpinya untuk menjadi seseorang yang bisa efektif bekerja dalam lingkup yang lebih luas dan leluasa merupakan impian setiap anak bangsa yang peka terhadap keadaan negerinya. Latar belakang yang demikian pula yang mungkin membuatnya tak mempermasalahkan Jokowi untuk ikut dalam bursa pemilihan presiden.
Jika kita kembalil tentang amanah, Ahok pun rasa-rasanya setuju dengan Jokowi. Setiap dari diri mereka, memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat. Jokowi, dalam hal ini setidaknya mencoba menampung aspirasi setiap masyarakat yang ia dengar, yang ia --atau partainya-- himpun. Bukan hanya dari rakyat di DKI, namun rakyat Indonesia secara umum.
Ketika Jokowi atau Ahok atau Tri Rismaharini atau Ridwan Kamil atau kader Gerindra atauPDI-P terbaik lainnya yang memiliki simpatisan besar di luar kota yang mereka bina, apakah elok mengesampingkan suara tersebut yang menginginkan pemimpin seperti mereka? Maka, kemudian rakyat yang memilih. Hemat saya, Jokowi memang diinginkan. Lewat kinerja di balik meja maupun di lapangan yang sering diliput wartawan yang kerap disebut pencitraan.
Fadli Zon masih percaya sampai saat ini, Blusukan adalah pencitraan. Itu tidak salah, setidaknya citra Jokowi memang seorang pemimpin yang gemar kerja, turun ke bawah, dan dekat dengan rakyatnya. Fahri Hamzah menyebutnya sebagai kepura-puraan, itu juga sah-sah saja. Barangkali karena ia pernah merasa ditipu oleh seorang yang bersahaja dan baik budinya macam Fathanah. Yang menciptakan citra sesuai dengan tujuannya sampai bisa memperdaya Presiden Partainya.Barangkali ia menyimpan paranoia.
Inilah politik, dunia yang seringkali keluar dari prediksi. Kita tunggu Fadli, kita tunggu Fahri. Sudah pasti keduanya akan berusaha untuk membuktikan paranoianya. Barangkali sampai mereka mati, atau juga sampai Jokowi yang mati. Sia-sia, karena pada akhirnya hanya seorang minoritas dengan integritas dan kejujuran teruji di pojok sana yang tertawa: Basuki Tjahaja Purnama.
Seorang tua di Lenteng Agung itu, semoga tidak terbakar oleh amarahnya, dan saya hanya bisa berdo'a semoga Indonesia lebih baik kedepannya. Amin.
Depok, Senin 9/6/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H