Mohon tunggu...
Rizky Ramadhan
Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Kang Tulis -

Saya Rizky Ramadhan. Cuma nulis dan baca di sini, Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Rindu Humor di Tengah Kampanye Curiga

22 Juni 2014   00:39 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Curiga, menjadi satu kata yang tak pernah enak didengar. Bagi saya, ia selalu terletak pada konteks yang buruk. Curiga paru-paru saya sudah menghitam bahkan hancur lebur karena merokok 12 batang sehari, curiga besok saya akan mati dibunuh oleh oknum tentara, atau curiga besok akan ada invasi dadakan dari Amerika Serikat ke Indonesia. Curiga selalu menjadi sesuatu yang tidak mengenakan. Curiga bisa datang dari sesuatu yang ganjil. Curiga bertempat pada celah kebiasaan yang ditinggalkan. Bila seseorang yang tidak pernah tegur sapa dengan kita tapi suatu pagi di saat orang tersebut melempar senyum kepada kita, bukan tidak mustahil kita akan curiga. Ada apa?

Curiga bukan sebuah kesalahan. Curiga adalah gejala-gejala yang harus disikapi, dari segala tindak curiga manusia bisa lebih awas, orang bisa jadi lebih waspada agar tidak ada lagi ruang tersisa untuk lengah. Manusia, kadang-kadang, di dalam kehidupannya memang membenci kelengahan. Dari hal tersebut si manusia bisa saja kehilangan sesuatu yang berharga, atau menanggalkan segala sesuatu yang ternyata berharga saat kita tidak menganggapnya sebagai harta.

Barangkali tepat bila saya katakan kampanya calon presiden dan wakil presiden tahun ini merupakan salah satu contoh dari sekumpulan orang yang penuh dengan curiga. Kampanye tahun ini bukan lagi tempat untuk menunjukkan nilai jual salah satu calon melainkan untuk saling menjatuhkan nilai satu dengan lainnya, tentu dengan curiga sebagai pijakannya. Persoalannya kemudian menjadi, apakah curiga bisa menjadi sesuatu yang cukup kuat untuk dijadikan landasan kampanye --yang cenderung hitam-- untuk menjatuhkan lawan politik.

Maka, beramai-ramai orang mencari alasan, ramai-ramai orang membangun hipotesa. Dengan segala keterbatasan data dan fakta, mereka menggunakan apa saja untuk bisa dipakai. Bahkan, kita semua tahu, ada pula pihak-pihak yang membuat sendiri data fakta untuk membenarkan apa saja tentang kecurigaan mereka. Konon semua kecurigaan itu, yang disebarkan dengan data fakta yang abal-abal itu, bertujuan untuk menciptakan stigma terhadap lawan politiknya. Tentang sebuah nilai yang buruk, yang harus dipercaya persetan valid atau tidak buktinya.

Barangkali tak sedikit orang yang tertawa saat beredar transkrip Megawati-Jaksa agung yang berisikan tentang permintaan Megawati untuk tidak membawa nama Jokowi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan bus Transjakarta. Sebagian masyarakat yang sudah pintar dan melek informasi tentu akan menjadikan hal tersebut bahan tertawaan: Ternyata masih ada orang yang berani tampil dengan penuh ketololan. Tapi hal-hal yang dangkal, tolol, dan konyol seperti tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Toh, masyarakat memang hanya ditujukan untuk memiliki rasa curiga, dan dalam hal ini sang pembuat surat tentu berhasil membuat masyarakat curiga. Apa betul Jokowi diselamatkan Mega?

Di tengah keseriusan para Capres dan Cawapres mempersiapkan diri untuk memperkenalkan beragam program yang mereka bawa, ternyata masih ada orang-orang serius yang bermain dagelan. Dengan kasak-kusuk mereka mencari kegiatan, untuk mencari sesuatu yang menjatuhkan dan sedikit --barangkali-- berharap dirinya jadi ikutan tenar. Apa saja dicurigai, apa saja dikait-kaitkan, apa saja jadi bahan. Maka hal yang terakhir itu membuat saya jadi curiga, mungkin orang tersebut adalah golongan orang yang oportunis.

Maka di sore yang indah ini, di tempat saya berteduh, saya hanya ingin menyampaikan kepada para pendukung para Capres (bukan hanya Timses), hendaknya mengedepankan logika sehat untuk menyerang lawan politik dalam kampanye kali ini. Akan lebih elok kita bila mengkritisi program, seperti Tol laut yang dianggap tidak relevan, atau Kartu Jakarta Sehat yang sama saja dengan BPJS, atau juga masalah anggaran bocor yang belum tertambal, serta penegakkan hukum yang menyisakan sejarah masa lalu yang kelam. Menurut saya hal-hal tersebut lebih mendidik ketimbang mengedarkan transkrip palsu, surat palsu, dan bahkan tabloid yang diragukan nilai jurnalistiknya. Tak berguna pula membicarakan agama, istri sampai pada binatang peliharannya.

Barangkali suara saya ini hanya suara lirih yang akan tergerus oleh suara-suara lantang para pendukung fanatis Capres, pecinta sejati Capres atau apapun namanya. Tapi yang pasti suara ini adalah suara asli dari orang yang sudah mulai lelah tertawa karena isu-isu yang belakangan ini mengemuka. Suara ini berasal dari suara hati yang merindukan humor selayaknya, yang bukan fitnah, yang bukan ketololan, apalagi kebencian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun