Mohon tunggu...
Bambang Kuncoro
Bambang Kuncoro Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Wisdom. URL https://www.kompasiana.com/bkuncoro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ki Hadjar Dewantara, Nobel Sastra 1913, dan Relevansinya pada Industri 4.0

6 Oktober 2019   19:49 Diperbarui: 12 Oktober 2019   03:17 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi karya-karya sastra. (sumber: pixabay)

Siang dan malam berlalu
Dan usia mekar dan memudar seperti bunga
Kami tidak punya waktu untuk kalah,
Tidak punya waktu
Kami harus berjuang untuk peluang kami
Kami terlalu miskin untuk terlambat
==Rabindranath Tagore, Nobel Laurate 1913==

Sebagai anak yang tumbuh di lingkungan Tamansiswa, nilai-nilai perjuangan Ki Hadjar Dewantara sangat lekat dalam sanubari. Kakek adalah salah satu murid yang selalu menurut apapun titah dari Ki Hadjar Dewantara.  

Pada tahun 1940-an Kakek di perintah untuk mendirikan dan mengembangkan Taman Siswa di Slawi, sebuah kota kecil (dulunya) di selatan Tegal, dengan bekal finansial yang sangat minim.   

Kakek menyadari bahwa ini adalah perjuangan berat yang harus ditanggung demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan kini pun hampir semua keturunannya berkecimpung di dalam dunia pendidikan.

Raden Mas Suwardi Suryaningrat (nama muda Ki Hadjar Dewantara) lahir 2 Mei 1889 (Kamis Legi, 2 Ramadhan 1309 H), sebagai keturunan bangsawan lingkar dalam/ring 1 di Puro Pakualaman.  

Sejak kecil mendapat pendidikan komplit, baik dari pesantren maupun dari ELS. Bahkan beliau sempat melanjutkan sekolah ke Kweekschool (sekolah guru) dan STOVIA. Masing-masing tidak tuntas karena alasan yang berbeda.  

Setelah satu tahun sekolah di Kweekschool, beliau mendapat tawaran dari Dr. Wahidin Sudirohusodo (Penggagas/'de stootgever' Boedi Oetomo) untuk meneruskan sekolah ke STOVIA.  

Selanjutnya pendidikan di STOVIA terpaksa berhenti di tengah jalan, karena beliau menderita sakit. Sedari muda, beliau sangat peduli dengan kondisi bangsa Indonesia yang sudah lama terjajah oleh Belanda, penuh ketidak adilan dan sangat menderita. 

Di STOVIA lah beliau mengenal lebih jauh "Het Schone Streven" alias Boedi Oetomo (BO) dan Dr Sutomo sebagai pendirinya ('de oprichter'), dimana tujuan dari organisasi saat didirikan adalah "Kemajuan yang harmonis untuk Nusa dan Bangsa Jawa dan Madura (de harmonische ontwikkeling van land en volk van Jawa en Madura).  

Saat itu ide "Indonesia" belum terwujud secara nyata. Hanya saja ide dasarnya sudah mulai digambarkan dalam AD & ART BO. "Menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat" (Alles wat nodig is om te bereiken een waardig volksbestaan).  

Di BO, Beliau yang saat itu berumur 19 tahun, masuk dalam departemen Propaganda. Di sinilah bakat tulis menulis beliau, yang merupakan turunan dari Sang Ayah (seorang Sastrawan Jawa), semakin terasah.

Setelah dari BO kemudian Beliau bergabung dengan Setia Budi (aka Ernest Douwes Decker) dan Dr. Tjipto Mangunkusumo dalam Indische Partij (IP) di tahun 1912.  

Ketiga tokoh pejuang ini dikenal juga sebagai Tiga Serangkai. Jika BO dan Sarikat Islam (Organisasi kemasyarakatan kedua setelah BO) membatasi keanggotannya khusus kepada orang Bumi Putera Asli, maka IP lebih meluaskannya, yaitu siapapun bisa menjadi anggotanya.  

Dalam AD & ART nya tujuan dari IP adalah "Persiapan untuk kehidupan bangsa yang merdeka" (voor bereiding voor een onafhankelijk volksbestaan).

Dengan AD & ART seperti itu, maka secara otomatis pihak Belanda mempersulit berdirinya badan hukum IP. Akan tetapi Tiga Serangkai tersebut pantang mundur.  

Bahkan Suwardi Suryoningrat dengan kemampuan tulis menulisnya sebagai wartawan De Expres (Koran dari IP) menjadi corong untuk menyuarakan ketidak adilan yang dialami bangsa ini.

Salah satu tulisannya yang fenomenal, sebagai reaksi akan dinaikkannya pajak guna membiayai 100 tahun perayaan Belanda merdeka dari penjajahan Perancis, adalah "Andaikan Aku seorang Belanda" (Als ik een Nederlander was).

Beredarnya tulisan itu mendapat sambutan yang sangat positif dari elite pejuang dan rakyat Bumi Putra. Namun tidak demikian halnya dengan pemerintah Belanda.  

screenshoot nobel webpage
screenshoot nobel webpage
Mereka sangat marah dan mengeluarkan ancaman untuk pengasingan (internering) bagi Tiga Serangkai. Namun mereka menemukan celah hukum untuk menghindari pengasingan.  

Sikap Pemerintah Belanda waktu itu adalah, seseorang yang akan diasingkan dapat memilih untuk menghindarinya dengan cara meninggalkan Hindia Belanda. Oleh karena itu Tiga Serangkai, akhirnya memilih meninggalkan Hindia Belanda dan tinggal di Belanda. 

Suwadi Surjoningrat memilih untuk pergi ke Belanda, karena lebih dapat meneruskan perjuangan dari sana. Di Belanda, Suwardi aktif dalam organisasi pelajar Bumi Putra, Indische Vereeniging. Kemudian beliau juga mendirikan Indonesisch Pers Bureau (kantor berita Indonesia). 

Beliau memungut idiom "Indonesia" yang dituliskan tahun 1850 oleh ahli bahasa asal Inggris George Windsor Earl. Secara tercatat ini adalah penggunaan formal pertama dari idiom "Indonesia". Namun demikian, Beliau juga lah yang awal mempopulerkan kembali istilah Nusantara, diambil dari khasanah susastra Jawa.

Saat di Belanda (tahun 1913) beliau menempuh sekolah tinggi dalam ilmu pendidikan dan mendapatkan ijazah 'Europessche Akta'. Dalam studinya itu banyak dibahas konsep pendidikan dari sejumlah tokoh pendidikan Barat seperti Montessori dan Froebel. 

Akan tetapi satu kejadian yang amat menarik perhatiannya adalah dianugrahkannya hadiah Nobel Sastra 1913, pertama kali bukan untuk orang Barat, melainkan oleh orang India, yaitu Rabindranath Tagore dengan salah satu karyanya 'Gitanjali' (Lagu Sesajen). 

Sejak saat itu Beliau juga tertarik pula dengan model pendidikan dari Timur, yaitu model pendidikan Shantiniketan yang dikembangkan oleh Rabindranath Tagore.

Shantiniketan adalah sekolah percobaan di ruangan terbuka, taman indah dan pohon rindang serta dilengkapi perpustakaan. Shantiniketan adalah konsep pendidikan yang merupakan pengejawantahan dari Upanisad (Kitab Suci agama Hindu).

Setelah kembali dari Belanda, beliau kembali meneruskan perjuangannya. Kali ini energi perjuangan Beliau di fokuskan dalam dunia pendidikan. 

Beliau melihat bahwa hanya segelintir orang Bumi Putra yang bisa mengecap bangku pendidikan, karena Belanda memberlakukan kebijakan yang sangat diskriminatif.  

Selain itu visi beliau yang jauh kedepan melihat bahwa Bangsa Indonesia hanya bisa sejahtera salah satunya dengan jalan pendidikan yang makin merata. Pada tahun 1922, beliau mendirikan Nationaal Instituut Onderwijs Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa).

Perpaduan konsep pendidikan Barat dan Timur inilah yang menjadikan model pendidikan di Tamansiswa, menggunakan konsep Taman dan konsep Among. Konsep Taman berarti bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan dan berkembang sesuai kodratnya.  

Di dalam taman, setiap benih dapat tumbuh bebas merdeka menghasilkan bunga, daun & buah yang memang sudah menjadi kodratnya. Tugas para pendidik adalah memberikan lingkungan yang terbaik untuk tumbuh dan berkembangnya anak didik secara maksimal. 

Petugas taman hanyalah memastikan bahwa, tanah, pupuk, udara nya cocok untuk berkembangnya benih dan bibit dengan perawatan yang tepat.

Sedangkan konsep Among menekankan pendidikan yang berjiwa kekeluargaan berazaskan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam konsep Among, pendidikan di tanamkan lebih banyak melalui permainan tidak melulu teori.  

Dalam permainan, maka otak, ketrampilan, dan tubuh akan berkembang. Lebih jauh, dalam permainan juga bisa untuk menanamkan nilai perkembangan jiwa, budi pekerti, budaya, spritulisme lebih cepat ditangkap oleh anak didik.

Kini generasi kiwari dituntut untuk selalu merawat relevansi nilai-nilai perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Saat-saat awal, Ki Hadjar mewujudkan perjuangannya lewat tulisan. Kemudian dengan visi yang jauh kedepan, formulasi perjuangan beliau mengkristal menjadi perjuangan dalam bidang pendidikan.  

Bung Karno yang merupakan murid perjuangan Ki Hadjar Dewantara pernah berkata "Perjuangan generasi mu akan lebih sulit karena yang dihadapi adalah bangsa sendiri". Mungkin memang benar sinyalmen dari Bung Karno itu. Jika dahulu para pejuang melihat dengan jelas garis pemisah antara kita bangsa Indonesia dan lawan yaitu bangsa Belanda.

Maka saat ini garis itu sudah memudar karena tidak ada lawan yang terlihat berbeda. Oleh karena itu kita dituntut untuk selalu berpikir cerdas memformulasikan tantangan bangsa Indonesia ke depan. Kita dituntut untuk kembali mengkristalkan arah perjuangan pendidikan bangsa Indonesia.

Kini kondisi pendidikan dibandingkan saat Ki Hadjar merintis tentu sudah berbeda dan sangat maju, akan tetapi masih banyak di temui tantangan dan kendala.  

Antara lain : mahalnya biaya pendidikan, terutama pendidikan Sekolah Tinggi atau Universitas; berkembangnya nilai-nilai yang tidak Pancasilais dalam dunia pendidikan; relevansi dunia pendidikan dengan perkembangan industri 4.0., DLL.

Dalam perkembangan industri 4.0., salah satu tantangan nyata yang dihadapi Bangsa Indonesia kini, adalah jebakan Negara Ber GDP menengah, dan bagaimana memanfaatkan bonus demografi sebaik mungkin.  

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan banyak negara sulit beranjak dari negara berpendapatan menengah menjadi berpendapatan tinggi alias terjebak dalam middle income trap, contohnya beberapa Negara di Amerika Latin.  

Pemerintah sendiri membidik Indonesia bisa menjadi negara berpendapatan tinggi alias negara maju pada 2045. Saat ini Indonesia di kategori negara berpendapatan menengah bawah.  

Hal ini dapat terwujud paling tidak dengan menguasi empat kuncinya, yaitu : Peningkatan produktivitas sumber daya manusia; Perbaikan pengadaan infrastruktur, Perbaikan tata kelola yang efisien baik di birokrasi pemerintahan maupun di swasta, dan terakhir adalah Kebijakan yang tepat.

Untuk menjawab kedua tantangan tersebut, kebijakan yang tepat adalah dengan perlu ditingkatkannya pendidikan kewira usahan bagi generasi kini, baik formal maupun informal.

Jika kita amati statistik jumlah wira usaha dengan kemajuan suatu bangsa ternyata berkorelasi positif. Maka dapat disimpulkan bahwa agar suatu bangsa bisa maju dan GDP makin meningkat, diperlukan jumlah wira usaha yang semakin banyak.  

Menurut Deputi Gubernur BI, Negara-negara maju memiliki tingkat kewirausahaan yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan ekonominya menjadi lebih stabil dan berkualitas.  

Bahkan dibandingkan Negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand apalagi Singapura jumlah wirausaha mereka dikisaran 4%, sedangkan Indonesia masih di kisaran 1%.  

Hal ini tidak mengherankan karena output pendidikan kita masih menghasilkan lulusan usia produktif yang 90% akan memilih untuk menjadi pegawai alias bekerja untuk orang lain.

Memang kurikulum pendidikan kewira usahaan sudah ada di beberapa sekolah mulai dari SMA hingga perguruan tinggi. Namun yang dirasa kurang pas adalah pengajarnya.  

Karena bagaimana mungkin seorang dosen yang notabene hidupnya lebih banyak mengandalkan gaji, memberikan materi secara mendalam tentang topik kewirausahaan. Hanya sebatas teori mungkin bisa saja. Tapi lebih jauh dari itu para dosen tersebut tidak bisa.  

Ini seperti memberikan 'tulang tanpa daging' kepada anak didik. Oleh karena itu diperlukan kerelaan bagi para pengusaha sukses untuk menularkan ilmunya kepada para anak didik. Dan gerakan ini dapat di inisiasi segera oleh Pemerintah maupun relawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun