Mohon tunggu...
Bayu Krisnamurthi
Bayu Krisnamurthi Mohon Tunggu... -

Bangga menjadi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

“Penyakit Belanda” masih relevan ?

12 Februari 2011   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tidak dapat dipungkiri Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produk-produk berbasis sumberdaya alam. Produk perkebunan, pertambangan, juga perikanan (tangkap) masih merupakan andalan ekspor Indonesia; dan Indonesia menjadi ‘pemain utama’ dalam pasar komoditi dunia, terutama untuk sawit, karet, kakao, batu bara, dan gas. Kenaikan harga-harga komoditas akhir-akhir ini disatu sisi memang telah memberi keuntungan yang signifikan bagi pelaku usaha komoditas tersebut, yang kemudian merangsang perkembangan bisnis komoditas yang bersangkutan.

Dalam situasi demikian, premis dasar “Penyakit Belanda” (Dutch Disease) terlihat seperti berulang: apresiasi nilai tukar, meningkatnya ekspor bahan mentah relatif terhadap manufaktur, dan naiknya tingkat upah disektor itu. Tulisan mengenai “Penyakit Belanda” cukup banyak, antara lain Chatib Basri, Kompas 13 September 2010 hal 7.

Tesis itu valid sebagai peringatan (warning), terutama dikaitkan dengan penurunan (relatif) ekspor manufaktur, yang dapat berdampak pada kinerja ekonomi jangka panjang. Namun demikian, perkembangan kondisi terkini, setidaknya dibidang pertanian dan agribisnis, membuat “Penyakit Belanda” itu sulit untuk berjangkit kembali. Dan melihat besarnya peran produk pertanian, kondisi ini relevan bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Pertama, struktur industri pertanian telah semakin kompleks. Dibandingkan dengan tahun 60an atau 70an, industri pengolah produk pertanian (agroindustri manufaktur) tidak lagi bisa dipisahkan secara tegas dengan bahan bakunya. Misalnya, produk kakao tidak dapat lagi dihasilkan hanya dari satu jenis biji kakao, tetapi harus merupakan campuran (coumpound) dari berbagai jenis, termasuk dari berbagai negara. Konsumen (pengimpor) menuntut supplier (pengekspor) untuk mampu menyediakan jenis ‘bahan baku’ yang sesuai, yang sebenarnya sudah berupa campuran beberapa bahan mentah. Hal yang sama juga berlaku untuk kopi dan teh, serta juga sudah mulai dengan minyak goreng. Artinya, perdagangan ‘komoditas’ tidak lagi memperjual-belikan bahan mentah tetapi semakin berbentuk bahan setengah jadi yang didalamnya juga terdapat aktifitas manufaktur.

Kedua, terkait dengan hal pertama, semakin banyak pemilik industri dan pengekspor mulai mengembangkan perusahaan-perusahaan pengolah di negara tujuan ekspornya. Hal ini juga sebagai reaksi atas kebijakan di negara-negara importir, seperti bea masuk bahan baku yang lebih tinggi, atau bentuk-bentuk hambatan non tarif. Beberapa kegiatan ekspor bahan baku dari Indonesia sebenarnya dibeli oleh importir milik pengusaha Indonesia dinegara tujuan.Hal yang sama juga dilakukan oleh negara lain. Dengan demikian, “perkembangan manufaktur” suatu negara tidak dapat dilihat hanya dari aktivias didalam negara itu sendiri tetapi juga yang dilakukan pengusahanya di negara lain. Sebagai contoh, sekitar 10% dari ekspor minyak sawit Indonesia sudah mulai mengikuti pola ini dan jumlah itu terus bertambah.

Ketiga, korelasi pergerakan harga antar komoditi antar negara sangat tinggi, dan pengaruh harga komoditi ke berbagai variabel ekonomi lain semakin kuat. Kenaikan komoditi ekspor yang diterima sebagai ‘kabar gembira’ disuatu negara, segera dilihat sebagai ‘kabar buruk’ dinegara lain; dan pemerintah negara-negara itu akan bereaksi segera. Indonesia mengalami hal itu dengan komoditas pangan beberapa waktu lalu. Didukung oleh keterbukaan dan kecepatan informasi – yang hampir seluruhnya bersifat ‘real time’ – menyebabkan ‘booming’ harga komoditi tidak dapat berlangsung lama dan volatilitas fluktuasi harga menjadi semakin tajam dalam waktu singkat. Naik turun harga yang tajam dalam waktu singkat tidak akan cukup menarik membuat perubahan struktur industri bergeser.

Ketiga kondisi diatas tampaknya merupakan perubahan fundamental terhadap kondisi ketika fenomena ‘Penyakit Belanda’ terjadi tahun 1960an. Karenanya ‘penyakit’ itu akan sulit untuk kambuh kembali, setidaknya di Indonesia Namun apakah tidak ada ancaman ‘penyakit’ lain dengan fenomena saat ini? Jelas ada. Ada ancaman lain yang tidak kalah serius, bisa jadi dengan gejalan yang tampak mirip.

Volatilitas harga komoditi yang kian cepat dan tajam saat ini berhadapan dengan ‘kekakuan’ struktural industri-industri semakin masif terasa. Kekakuan itu timbul dari internal perusahaan, karena kekakuan pengambilan keputusan, kesulitan perubahan teknologi atau manajemen; maupun timbul dari eksternal perusahaan, karena semakin terbatasnya infrastruktur.Didukung oleh sifat pasar yang asimetris menyebabkan kondisi dimana pada saat harga jatuh industri-industri – termasuk para petani dan peternak – menghadapi tekanan, tetapi pada saat harga naik tidak bisa mengambil kesempatan dan keuntungan.Belum lagi volatilitas harga itu menimbulkan ketidak pastian yang semakin tinggi, padahal bisnis itu membutuhkan perspektif perhitungan dan perencanaan jangka panjang. Tanam sawit atau karet butuh perspektif bisnis 25 tahun kedepan, tanam kakao atau kopi butuh 10-15 tahun. Strategi ‘wait and see’ juga tidak akan menyelesaikan masalah karena ‘ketidak pastian’ telah menjadi semakin ‘pasti’ terjadi.

Yang harus dilakukan segera adalah dengan memperluas ruang gerak pelaku usaha sehingga dapat merespon perubahan perkembangan yang semakin cepat terjadi.Dan kunci untuk melakukan hal itu adalah investasi besar-besaran di infrastruktur dasar: listrik, air, transportasi dan angkutan; serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang harus semakin terbuka dan beragam. Dan hal ini harus dilakukan mulai sekarang. Kalau tidak jangan-jangan bukan “Penyakit Belanda” yang akan menjadi tesis para ekonom terkemua dunia, tetapi “Penyakit Indonesia”: negeri dengan sejuta potensi tetapi masih terbelenggu oleh ketidak mampuannya merubah kekakuan struktural yang dihadapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun