Bicara tentang Bang Haji Rhoma Irama, banyak sisi menarik yang layak kita gali. William Frederick, seorang sejarawan dan Indonesianis asal Amerika Serikat mengatakan, “Perbedaan Rhoma Irama dengan Mick Jagger yaitu, Mick Jagger hanya memiliki penggemar sedangkan Rhoma Irama memiliki penggemar dan pengikut”. Terkait itu, sungguh menarik mengaitkan Rhoma effect dalam pileg kemarin dengan ucapan Frederick di atas. Kharisma seorang Bang Haji, nyatanya tak cuma terlihat di dunia musik melainkan juga di jagad politik. Kenaikan suara PKB hampir 100% dibanding Pemilu 2009, diprediksi para pengamat berhubungan erat dengan bergabungnya Rhoma ke partai pimpinan Cak Imin tersebut.
Dalam karirnya di dunia musik, posisi seorang Rhoma sangat jelas. Musik adalah sarana menyampaikan pesan moral. Maka, kita jumpai lirik-lirik lagu Bang Haji banyak mengandung petuah agama, nasionalisme, hingga kritik sosial. Keteguhan Bang Haji menggenggam idealismenya sebagai seniman, tak jarang medapat perlawanan keras dari media mainstream. Hal itu terlihat misalnya dalam kasus goyang ngebor Inul Daratista. Sikap Bang Haji yang langsung memanggil si Ratu Ngebor seraya dengan keras menegurnya, menuai kritik pedas dari media. Kala itu ramai-ramai media melempar opini publik, Rhoma Irama telah bertindak arogan dan menzalimi Inul.
Namun sepuluh tahun berlalu, terbukti bahwa apa yang dilakukan Bang Haji benar adanya. Pasca munculnya goyang ngebor yang dipopulerkan Inul, muncullah goyang-goyang erotis lainnya semisal goyang ngecor, goyang patah-patah, goyang kayang, goyang gergaji, hingga goyang itik. Jadi jelas sudah, sosok Inul Daratista merupakan pionir goyang erotis dalam musik dangdut. Inul ngetop bukan gara-gara kualitas vokalnya sebagaimana Rita Sugiarto, Noerhalimah, Camelia Malik, Ikke Nurjanah, dan Cici Paramida, melainkan karena goyang seronoknya. Tak heran, kesuksesan Inul di jagad entertain dengan mengusung goyang seronok meski kualitas vokalnya sungguh pas-pasan, memicu para pendatang baru untuk berbuat serupa. Dari sinilah secara objektif kita mengatakan, waktu telah membuktikan kebenaran tindakan seorang Rhoma Irama yang jauh-jauh hari membaca gelagat kurang baik terhadap perkembangan musik dangdut. Rhoma adalah sosok yang bersusah payah membangun imej dangdut hingga menjadi satu genre musik yang eksotis dan diterima berbagai kalangan, sehingga ia merasa berkewajiban menjaga perkembangan musik dangdut agar tetap on the track.
Pada tahun 2014 ini musik dangdut kembali berkibar setelah sebelumnya mati suri. Kemunculan YKS dan dangdut academy tak terbantahkan menjadi pemicu berkibarnya kembali dangdut di blantika musik tanah air. Dahsyatnya demam dangdut bahkan sampai memantik Indonesian Idol yang biasanya bercita rasa Amerika untuk latah mengusung topik dangdut melayu dalam konser Jum’at 18 April mendatang. Sayangnya YKS yang sempat berbulan-bulan menduduki top rating sebelum akhirnya keok oleh dangdut academy, justru tidak mengusung dangdut yang elegan melainkan musik dangdut yang bercampur nuansa erotis. Goyang caesar yang biasa ditampilkan di YKS selalu diiringi lagu Buka Titik Joss yang kental nuansa pornonya. Begitu pula dengan dangdut academy indosiar yang hingga saat ini masih mempertahankan kontestan bernama Ikif yang dari awal mengusung nuansa porno lewat goyang seronoknya plus suara mendesah-desah. Untungnya, MNCTV kembali berinisiatif menggelar kontes dangdut Indonesia (KDI) yang identik dengan dangdut elegan, jauh dari kesan porno dan erotis. Sekadar flasback, juara KDI 1 dan KDI 2 adalah Siti Rachmawati dan Gitalis Dwi Natarina yang keduanya merupakan pedangdut kalem yang semata-mata mengandalkan kualitas vokal. Satu catatan menarik, kemunculan KDI di tahun 2004 bisa dibilang sebagai momentum kebangkitan dangdut elegan yang mengikis dominasi dangdut porno ala Inul cs. Nah berkaca dari itu, sanggupkah kemunculan KDI 2014 mengikis pamor dangdut seronok yang tengah berkibar dan mencoreng citra musik dangdut saat ini? Tentu semuanya tergantung selera pasar.
Berdasarkan perkembangannya sulit terbantahkan bahwa musik dangdut terbagi ke dalam dua aliran yang bertolak belakang. Pertama, dangdut elegan ala Rhoma yang mengedepankan cengkok melayu yang mendayu-dayu. Dangdut genre ini merupakan jenis musik bercita rasa seni tinggi yang tidak setiap penyanyi pop papan atas sekalipun sanggup melantunkannya. Dangdut genre Rhoma inilah yang memikat kaum akademis hingga aransemen dan lirik Sonenta dipelajari di puluhan fakultas musik mancanegara. Kedua, dangdut erotis ala Inul yang justru mencoreng citra dangdut itu sendiri. Dangdut ala inul ini siapapun bisa membawakan. Tak perlu kualitas vokal mumpuni, yang penting bisa goyang plus tidak malu menjual kemolekan tubuh. Dengan demikian, dangdut ala Rhoma inilah yang layak disebut sebagai budaya bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H