aku batu. aku diam dan hening. tiada berpikir, tiada berhasrat, tiada bergolak.
aku membiarkan saja air menyapuku. juga sampah, ranting, tai, bangkai ayam dan semua kotoran sisa-sisa restoran.
semua kuamati. warnanya, bentukrupanya, baunya. tak ada baik-buruk. semua indah adanya. dan lebih daripada yang kulihat mereka menyusun harmoni semesta. semuanya seimbang kontribusinya. pas dan selaras.
"hai, jangan kau mendahului jalanku. ayo, kita jalan bersama seperti biasa," seru bulu ayam yang kuyup melayang di atas air kepada gabus yang seolah nampak kering namun sebenarnya basah. entah kenapa bulu ayam tampak sensi kali ini. apakah ia baru diputus kekasihnya atau dia sedang dikejar debt colector ?
"aku tak tahu kenapa bisa melampaui jalanmu. mungkin aku sedang beruntung hari ini karena mendapat arus yang lebih deras," sahut gabus dengan nada memohon pengertian kepada bulu ayam.
"bisakah kau minggir dan berhenti sebentar untuk menungguku sebelum kita jalan bersama ?," pinta bulu ayam bersungguh-sungguh.
"baiklah," jawab gabus.
dan setelahnya gabus diam di pinggir tubuhku, menunggu bulu ayam, sahabatnya, lewat. namun sebelum hal itu terjadi tiba-tiba tangan kecil anak manusia mengambil gabus, memelintir dan mencekik tubuh gabus sedemikian rupa sampai pantas dijadikan pelampung pancing.
bulu ayam melewati gabus yang tubuhnya dibelit tali pancing anak manusia. "maafkan aku, maafkan. harusnya aku tak memaksamu untuk menungguku," teriak bulu ayam parau.
aku batu. aku diam dan hening namun aku tidak membeku. kali ini air mata menetes dari mataku.
Ajibarang, 27 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H