Mohon tunggu...
Biyan Mbois
Biyan Mbois Mohon Tunggu... Bankir - Ngestoaken dhawuh ROMO, anut ROSO

Penjelalah ke dalam diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sobek Amplop Sobek Pula Jantungku

26 Desember 2019   13:11 Diperbarui: 26 Desember 2019   13:27 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana Gantangan ( tempat lomba burung kicau ) Nusakambangan sudah riuh di siang ini. Panitia sibuk menyiapkan segala perlengkapan lomba seperti sound system, bendera poin, lembar penilaian sampai menulis pendaftaran ulang.

Peserta yang datang dari Cilacap dan kota-kota sekitarnya sudah mulai datang termasuk kampiun-kampiun gantangan yang namanya sudah bikin keder para Lb Mania.

Sengatan matahari dan hempasan angin Pantai Teluk Penyu tak menyurutkan niat penonton untuk meramaikan suasana. Debu-debu pun mulai berterbangan membuat udara makin pengap.

Aku memasuki area gantangan dengan santai membawa satu-satunya gacoanku. Dialah Sunis. Seekor Lovebird beti ( betina ) albino putih seputih susu dan manis tampilannya. Karena itu kuberi nama Sunis, si Susu Manis.

Aku mendapatkan Sunis ini di los penjual burung Pasar Gede Cilacap dua bulan yang lalu. Dia nangkring di plangkringan sangkar kotak bersama puluhan Lovebird ombyokan lainnya. Bertengger di pinggir kawat sangkar, tak banyak gerak, banyak diam dengan mata mengantuk. Sesekali cuma ngriwik, itu pun malas-malasan. Pokoknya dia ngga punya tongkrongan sebagai Lovebird jagoan. Terbukti ngga ada orang yang melirik apalagi membelinya. Namun saat tatapan mata kami bertemu, aku langsung cinta.

" Berapa lakbet albino yang mata merah itu, Pak ?," tawarku pada Pak Kamin penjual burung. " Ngonoh, satus bae ( Silakan, seratus saja)," jawab Pak Kamin acuh tak acuh seolah ngga peduli sama Lovebird yang kutawar. " Saya bayar dua ratus, Pak, " tegasku. Seketika Pak Kamin menatapku heran. "Rika gemblung apa mas ? Dinei rega satus malah nukune rong atus, nggo manuk cileren sisan ( Kamu gila apa mas ? Dikasih harga seratus malah belinya dua ratus, untuk burung yang sakit lagi), " omongnya sambil menangkap Lovebird yang mau kubeli.

Akhirnya kubawa pulanglah Albino Mata Merah Delima yang akhirnya kuberi nama Sunis itu.

Seminggu setelah kurawat dengan sabar,Sunis mulai genit. Ngekeknya mulai rajin dengan durasi bisa 10-15 detik. Sejak saat itu Sunis mulai kuikutkan Latber ( Latihan Bersama ) saja untuk mengasah mental sekaligus menaikkan mutu ngekeknya. Baru kali inilah Sunis kubawa ke Latpres (Latihan Prestasi ) yang cukup ngetop di kotaku.

Sepuluh menit sebelum lomba Sunis kutetesin SITITTO, vitamin jeda rapet dan lima menit setelahnya kutetesin RED VIT vitamin durasi ngekek.

Hingga tibalah Sunis naik gantangan. Saat kubawa arena, Sunis gelisah sekali. Dia lompat kesana kemari. Aku berhenti berjalan dan kutatap dalam-dalam sambil menenangkannya : " Sunis, nyong percaya aring ko. Tulung tenang ya. Nyong ora njaluk ko menang. Sing penting ko ngekek karo sante nyong wes seneng ( Sunis, aku percaya padamu. Tolong tenang ya. Aku ngga minta kamu menang. Cukup ngekek dengan santai, aku sudah senang." Ajaib, begitu mendengar kata-kataku, Sunis langsung bisa tenang, gelisahnya ilang.

"Kek..kekek..kekek..kekek," itulah pesona awal yang diperlihatkan Sunis kepada aku, juragannya dan ratusan para penonton yang melihat. Sunis mengekek dengan riang, tenang, stabil dan tanpa putus. Suasana gantangan makin riuh. Suara-suara suporter saling sahut menyahut memekkan telinga.

"Kocriiit, ayo Kocriiit," teriak salah seorang suporter meneriaki Kocrit, Lovebird pasblue gacoannya, sambil tepuk tangan tak henti.

Sekilas kulirik wajahnya menegang, menghitam, keringat bercucuran dan butiran-butiran ludahnya muncrat dari mulutnya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling area gantangan. Para suporter makin menggila. Ada yang mengangkat-angkat topinya ke arah jagoannya, bahkan ada yang buka baju segala. Sementara di atas, para gacoan juga tak mau kalah. Mereka beraksi mengelurkan ngekek terhebatnya.

Selang beberapa waktu para juri sudah mulai menjatuhkan bendera poin di bawah kandang gacoan.
Ada Kuning, Hijau, Biru dan Merah yang masing-masing jadi simbol besaran poin atau nilai. Hijau 5, Kuning 10, Biru 50 dan Merah 100.

Tiga puluh detik berlalu, satu persatu gacoan tumbang. Ada yang cuma ngriwik, koek-koek bahkan ada yang diam sama sekali. Sementara Sunis masih bertahan di antara sepuluh gacoan yang masih berlaga. Di detik ke tiga puluh lima, lima gacoan keok. Masuk ke detik ke lima puluh tinggal empat gacoan yang masih perkasa. Sunis, Kocrit dan dua gacoan yang ngga tahu namanya.

Hingga akhirnya waktu mendekati satu menit. Cuma Sunis yang masih ngekek dengan kuat dan stabil. Juri memutuskan untuk mengakhiri lomba. Aku sudah ngga sempat lagi melihat tumpukan bendera Merah di bawah sangkar Sunis. Dengan situasi kayak gitu jelas Sunislah BINTANGnya. Dengan bangga, senang dan terharu Sunis kuambil dari cantolan gantangan. Hati ini meledak rasanya saat Sunis dapat tepuk tangan dan sorak sorai penonton.

" Sunis, Sunis,Sunis!", begitulah nama Sunis menggema di udara Cilacap siang ini. Aku bangga bisa dapat piala, piagam dan tentu saja amplop yang berisi lima lembar uang Soekarno-Hatta.

Ingin rasanya aku mentraktir Sunis makanan apapun yang dia mau. Namun karena dia sukanya jagung ya akhirnya kukasih jagung sebagai ef (extra fooding)-nya. Untuk mengembalikan stamina, Sunis kutetesin KAINOS. Selesai merawat Sunis pasca bertempur, kutaruh dia di buritan PERAHU salah seorang nelayan. Kemudian aku bergegas ke warung sebelah untuk sekedar ngopi dan merokok melepas ketegangan. Di warung aku banyak mendapat ucapan selamat dan pujian. Sebagai rasa syukur kopi mereka aku yang bayar.

Saat sedang asik-asiknya ngopi, tiba-tiba seorang anak kecil di depan warung teriak keras sekali :"Kaaang, Kaaang! Kae manuke sapa sing nang nduwur prau dibrakot Cimot! (Maas, Maas! Itu burung siapa di atas perahu yang sedang dimakan Cimot!)".

Aku yang belum menyadari sebenarnya apa yang terjadi, dengan santai bertanya kepada pemilik warung : "Yu, Cimot sapa jane ( Mba, Cimot itu siapa sih) ?". "Kuwe Mas, kucing brengkolan kn ( Itu Mas, kucing liar sini )."
Mak jenggirat demi mendengar penjelasan pemilik warung, seketika lari keluar warung. Mendoan yang baru kugigit kulemparkan ke piring. Tanpa pakai sandal aku lari sekencangnya ke arah perahu dimana aku menaruh Sunis.

Begitu mendekati dua meter, kulihat dengan jelas Cimot sedang mencabik-cabik Sunis. Bulu-bulu Sunis yang cantik dan halus terburai oleh cakar Cimot. Tubuh Sunis kejang-kejang menahan gigitan Cimot di lehernya. Saat sedang membantai Sunis, Cimot sempat memalingkan wajahnya ke arahku. Dia meringis sadis. Mirip sekali dengan wajah ALIEN yang pernah kulihat di film yang dibintangi Sigourney Weaver. Dingin, kejam dan menjijikkan.

Amarahku meluap, darahku mendidih dan hatiku murka penuh kesumat. Dengan masih berlari aku ambil batu sekepalan tangan yang ada di dekatku. "Bajingan asu kowe Cimot! Tak pateni ngeneh ( Bajingan anjing kamu, Cimot! Tak matiin kamu sekarang!)," teriakku sambil melempar batu ke arah Cimot sekencangnya.

DUAKK! Batu yang kulempar tepat mengenai bagian telinga Cimot. Cimot limbung dan lari terhuyung-huyung. Dengan kaki masih TELANJANG kukejar Cimot. Tapi Cimot memang kucing liar bertenaga besar. Dia berhasil lenyap entah kemana lewat lorong-lorong sempit di rumah-rumah dekat gantangan, sebelum sempat kutangkap dan kuhajar lagi.

Aku kembali ke Sunis dengan lemas. Tempat Sunis terkapar berantakan sekali. Bulu-bulu yang berserakan, milet yang tumpah, sangkar yang patah dan bercak-bercak DARAH  menjadi pemandangan yang mengerikan.

Dengan kain penutup mulut saat naik motor, tubuh Sunis yang penuh luka, berdarah dan lunglai tak bernyawa kutaruh di atasnya. Bulu-bulunya yang berserakan kupunguti satu per satu untuk kemudian kusatukan dengan tubuh Sunis di atas kain dan akhirnya kulipat.
Sebelum pulang, segera kubayar kopiku dan kopi orang-orang yang tadi bersamaku di warung. Namun pemilik warung menolak pembayaranku, termasuk orang-orang di warung juga tidak mau aku bayari.

Sampai di rumah tubuh Sunis kurebahkan di RANJANG balai-balai di belakang rumah. Kemudian kugali tanah seukuran tubuh Sunis. Selesai menggali kukubur Sunis dengan kupanjatkan doa. Di atas kuburan Sunis kutabur bunga-bunga seadanya yang ada di belakang rumahku, kuperciki air, kutaruh piala dan piagam di atas kuburan Sunis. Lima lembar uang Soekarno-Hatta akan kuberikan ke Yayasan Yatim Piatu esok hari.

" Damailah kamu Sunis. Ngekek terus kamu di sana ya. Terima kasih dan maafkan aku," bisikku parau sebelum kutinggalkan kuburan Sunis.

Sore menjadi terasa berat berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun