Ketika ada  pembahasan dengan tema "stop kekerasan santri berujung kematian" di salah satu stasiun televisi, saya pun tertarik melihatnya. Ternyata yang disorot dan dibahas adalah masalah  terbunuhnya seorang santri di Pondok Pesantren Gontor .  Narasumber yang dihadirkan adalah KH Cholil Nafis dan  Prof. Azyumardi Azra.Â
Dari pertanyaan host dan penjelasan narasumber, di informasikan bahwa kekerasan yang terjadi adalah dampak dari adanya hukuman-hukuman terhadap santri yang melakukan kesalahan atau pelanggaran. Menurut Pak Azyumardi Azra, di Indonesia ini ada banyak pesantren. Latarbelakang santri  juga bermacam-macam, bahkan salah satunya ada yang di rumah sudah menggunakan narkoba, agar jadi lebih baik kemudian dipondokkan.Â
Dengan bervariasinya latarbelakang santri, maka ketika ada masalah, penanganannya  pun membutuhkan cara  yang bervariasi pula. Namun, tidak dibenarkan menggunakan kekerasan. Misal dihukum menghafal atau bersih-bersih. Sehingga hukumannya masih ada unsur mendidiknya menjadi pribadi yang lebih baik.
Mendengar apa yang disampaikan Pak Azyumardi Azra tersebut, saya menjadi ingat kehidupan para santri di pondok saat saya masih menjadi pembina dan guru di pondok. Seingat saya, pondok tempat saya mengabdi, tidak pernah ada hukuman fisik. Bila ada santri melanggar, biasanya dihukum dengan menghafal ayat dan setoran hafalan surat. Atau jika pelanggaran berat, maka dipanggil dan dan diajak bicara baik-baik, dicari akar masalahnya serta solusinya. Atau bila perlu orang tua santri dipanggil untuk membicarakan masalahnya dan bersama-sama mencari jalan keluarnya.Â
Satu hal yang juga penting, pembinaan terhadap seluruh unsur pembimbing, pendidik, dan pengurus pondok memang mutlak dilakukan. Kontrol langsung dari sosok pimpinan ke tiap asrama ataupun lingkungan pondok juga penting, sehingga kehadiran sosok pimpinan bisa menumbuhkan rasa diperhatikan di hati para santri dan dan seluruh unsur pondok. Dengan begitu akan menumbuhkan rasa saling menghargai. Para santri akan merasakan hangatnya orang-orang di sekitarnya. Â
Sebenarnya, kekerasan terhadap santri atau peserta didik, biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki kesulitan mengendalikan amarah, atau oleh oknum yang cenderung temperamen . Atau sebaliknya, si santri memiliki sifat temperamen dan sulit mengendalikan diri
 Ketika terjadi kekerasan, baik  yang menimbulkan korban jiwa ataupun tidak menimbulkan korban jiwa, maka  korban maupun pelakunya harus diselidiki kejiwaannya ataupun psikologinya. Apakah temperamen, sulit mengendalikan diri, mudah marah, atau sedikit tertekan. Rasa tertekannya pun diselidiki, apakah sudah tertekan sejak dari rumah, atau karena adanya bullying. Ini penting, agar ada unsur keadilan dan terhindar dari kesalahan.Â
J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H