Pada tahun 1997, saat penulis mendapat panggilan dari Pondok Pesantren Ma'had Darul Arqam Garut Jawa Barat,, tidak pernah menyangka bahwa panggilan ke pondok itu adalah panggilan untuk menjadi seorang guru sekaligus Pembina santri. Mengapa saya tidak menyangka karena, surat yang saya layangkan ke pimpinan pondok berisi lamaran untuk mondok sambil bekerja apa saja. Namun setelah menghadap Pak Kyai, ternyata saya ditawari untuk menjadi guru dan sekaligus Pembina santri  Begitu mendengar tawaran itu, saya menerima saja. .
Setelah pemanggilan saya pulang kembali ke kampong halaman di Samigaluh Kulon Progo. Awal tahun ajaran baru, saya berangkat lagi ke Ma'had Darul Arqam Garut, untuk menunaikan tugas yang saya sanggupi sebelumnya. Setelah sampai di pondok, keesokan harinya , saya dipanggil pimpinan pondok dan kepala sekolah bersama dengan teman saya yang berasal dari Bengkulu. Saya diberi tugas mengampu mata pelajaran Geografi tingkat MTS dan  menjadi pembina santri kelas XII. Dalam perjalanan pulang ke rumah dinas , teman saya meminta bertukar mata pelajaran, karena dia merasa bosan berkutat dengan angka-angka, maklum beliau lulusan matematika. Kami pun menghadap Bapak Kepala MTS, dan ternyata beliau mengizinkan kami bertukar tugas. Maka saya bertugas mengampu mata pelajaran Matematika, sedang teman saya mengampu mata pelajaran Geografi.
Walaupun saya ini lulusan Fakultas Dakwah, namun saya tidak canggung mengajarkan mata pelajaran matematika, karena memang itu mata pelajaran favorit saya sejak SD. Saya pun  menikmati tugas itu . Saya berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik bagi para santri yang saya ampu. Bila ada siswa yang mengalami kesulitan, dia akan saya dampingi sampai dia bisa. Selain itu,  juga saya tawarkan ke para santri, bila mengalami kesulitan saat mengerjakan tugas di asrama, santri boleh bertanya ke rumah dinas saya. Alhasil, rumah dinas saya kadang penuh santri belajar.
Setelah berjalan dua tahun pengabdian saya di pondok tersebut, saya memutuskan untuk tidak meneruskan pengabdian saya di pondok . Keputusan itu saya lakukan setelah saya menikah di akhir Juni 1999 karena saya berprinsip setelah menikah maka kewajiban istri adalah mengikuti suami.. Â
Setelah keluar dari pondok, saya  tidak diijinkan mengajar. Suami saya tidak mengijinkan saya mengajar lagi karena memiliki pemikiran, honor guru mung cukup dinggo tuku bensin. Awalnya saya mengikuti larangan suami. Saya pun di rumah saja. Namun setelah saya kuliah magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan hampir selesai, muncul keinginan di hati saya untuk  mengajar lagi. Rasanya rindu dengan suasana hiruk pikuk para siswa.
Pada suatu hari,  saya mendaftarkan pindah sekolah anak pertama saya di SD Muhammadiyah Karanghajo Berbah Sleman pada tahun 2007, saya memberanikan diri menawarkan ke Bapak Kepala Sekolah, bahwa 'tenaga saya ngganggur, bila sekolah membutuhkan tenaga saya bersedia'  Ternyata saat itu SD Muhammadiyah Karangharjo sedana membutuhkan guru TPA, saya pun dipersilahkan untuk mulai mengajar hari berikutnya pada sore hari. Tugas itu saya kerjakan dengan senang hati. Selama mengajar saya tidak pernah berfikir honor. Saya hanya menjalankan tugas saja. Setelah berjalan beberapa bulan, kepala sekolah bertanya, apa kuliah saya bisa selesai bulan Mei. Saya jawab bisa. Alhamdulillah ternyata janji saya itu bisa saya tepati, bulan Mei  tahun 2008 saya lulus S2.
Beberapa minggu setelah kelulusan itu,  saya mendapat undangan makan di Rumah Makan Mataram. Saya pun menghadiri undangan itu. Ternyata di tempat itu telah  berkumpul guru-guru dan beberapa wajah baru. Saya tidak mengerti bahwa hari itu ada rapat sekolah yang dilaksanakan di rumah makan. Setelah diadakan perkenalan barulah saya tahu bahwa beberapa wajah baru itu adalah guru baru yang  baru lolos seleksi guru di SD Muhammadiyah Karangharjo. Yang mengejutkan, saya sendir juga diangkat menjadi guru.  Saya diberi tugas mengampu mata pelajaran Bahasa Arab dan Kemuhammadiyahan. Tugas itu pun saya tunaikan dengan senang hati. Saya tidak pernah berfikir berapa honor saya. Yang ada di benak saya hanya senang diberi kesempatan mengajar.
Setelah dua tahun mengajar, saya mendapat sms dari teman saya guru olah raga, yang isinya tawaran untuk menjadi guru kelas 6. Awalnya saya tidak mau, karena memang saat itu guru pengampu kelas 6 masih ada.  Guru tersebut adalah senior saya, yang sangat saya hormati. Saya tidak berani mengambil keputusan menyanggupi karena merasa tidak enak pada guru senior saya tersebut. Beberapa kali di-sms, akhirnya saya memberikan jawaban, saya mau menjadi guru kelas 6 namun setelah guru kelas 6 yang lama purna tugas. Beberapa bulan setelah keputusan saya itu, ternyata guru kelas  yang  lama purna tugas.  Maka sejak Januari 2010, saya resmi menjadi guru kelas 6.Â
Saat itu saya hanya heran, kok saya yang dipilih menjadi guru kelas 6, padahal saya lulusan Fakultas Dakwah bukan PGSD. Meski hati ini bertanya-tanya, namun saya tak pernah menanyakan hal itu kepada kepala sekolah. Yang penting sami'na wa atho'na. Itu yang ditanamkan di benak kami oleh guru senior kami.
Tahun pertama menjadi guru kelas 6 adalah masa yang sangat berat bagi saya. Karena saat itu saya tengah hamil besar. Meski begitu  perut saya yang makin membuncit dan gerak saya yang makin terbatas tidaklah mematahkan semangat saya untuk terus mendampingi siswa kelas 6. Padahal murid-murid kelas 6 saat itu sangatlah istimewa, karena sebagian besar muridnya  adalah  siswa pindahan, yang tentu memiliki beberapa kekurangan entah bidang akademiknya ataupun bidang akhlaknya. Bila mengajar kadang rasanya ingin menangis, karena harus mendapat perlakuan kurang menyenangkan, siswa sulit konsentrasi dan cenderung bermain. Jika ada pelajaran tambahan, yang datang hanya sedikit. Sebagian siswa memilih bermain layang-layang di sawah dekat sekolah, dibanding ikut pelajaran tambahan. Belum lagi saya juga harus bolak-balik pulang menyusui saat istirahat. Alhasil saat hasil ujian diumumkan, nilai tertinggi siswa kami hanya 22. Sedih rasanya. Meski begitu, saya memberi reward pada mereka yang menduduki juara 1,2 dan 3.  Rewardnya berupa uangÂ
Pada tahun kedua saya mengajar di kelas 6, siswanya lebih mudah diajak kerjasama dalam proses kegiatan belajar mengajar. Siswanya relatif lebih penurut. Saya membuat strategi baru, tiap siswa berhasil mendapat nilai 10 dalam latihan soal ujian harian akan saya beri reward Rp.10.000,00. Ternyata reward ini menarik. Tiap hari ada latihan soal, dan hampir selalu ada yang mendapat nilai 10. Saya senang melihat perkembangan mereka. Sehingga hasil ujian mereka pun sangat menggembirakan, nilai tertingginya 26,85. Alhamdulillah. Meskipun saya harus tetap mengurus anak kecil masih bisa mendampingi siswa kelas 6 dengan hasil yang menggembirakan . Â Semangat saya pun makin bertambah.
Sebenarnya selain tugas menjadi guru kelas 6, ada tugas tambahan yang disampirkan di pundak saya, yakni tugas menjadi tenaga administrasi di kantor,, tugas membina  peserta lomba , serta tugas membina ekstrakurikuler TPA dan Hizbul Wathan. Sehingga sebagian besar waktu saya berada di sekolah. Meski begitu saya tak pernah mengeluh. Saya hanya kerja dan kerja penuh semangat. Rasanya tidak pernah merasa lelah. Tidak peduli seberapa besar saya diberi honor. Yang ada hanya keinginan membuat siswa dan orang tua puas dengan layanan saya. Yang ada dalam pikiran, yang penting  urusan administrasinya beres, dan bila ada peserta lomba,yang menang maka  itulah hadiah bagi saya.