[caption caption="Sumber foto:www.alansaar.org.uk"][/caption]
Air mata akan mengalir deras kala hati susah, pun akan menetes ketika hati bahagia. Itulah yang terjadi pada satu penggal hariku. Kabar malam itu telah membuat dadaku sesak. Tapi bahagia tak terkira. Hingga tak terasa bulir-bulir bening itu membasahi pipi. Dan kuucap Alhamdulillah, sembari kedua telapak tangan menempel pada wajah.
Adikku. Adikku memberitahuku, bahwa ia mantap berencana menikah. “Aku sudah siap segala sesuatunya. Tinggal kita membicarakan dengan keluarga besar,” katanya.
Kupandangi sebuah potret yang telah buram warnanya, menyisakan siluet tiga sosok dalam gambar yang bagiku masih sangat jelas: Emak duduk di tengah, aku berdiri di sebelah kanan, dan adiku berada di sisi kiri Emak, sambil berdiri miring: nglendot.
Hanya itu kenangan dua puluh tahun silam, tatkala seorang tukang potret keliling menyusuri kampung, membuat langkah demi langkah, kemudian melintas di gang kecil rumah kami. Aku lebih senang menyebut gubug untuk hunian kami. Setidaknya, itu lebih tepat daripada mempermanis diri dengan istilah rumah sederhana.
Aku akan sedikit cerita tentang saat itu. Entah bisikan dari mana, tetiba Emak memanggil lelaki muda yang mencangklong tas hitam pada bahu kirinya, saat hampir mendekati ujung pohon tehtehan, pemagar rumah kami.
Dia bertopi bareta, sebagaimana Pak Tino Sidin, sang pelukis terkenal itu. Ia pun lantas mengangguk. Bergegas membelokkan langkah kaki menuju pintu rumah, yang Emak tengah mematung di sana.
Dengan suara kencang, aku dan adikku dipanggilnya. “Cepat kalian ke sini!”
"Kita foto bersama. Untuk kenangan kalian jika sudah dewasa, kelak," ujar Emak kala itu sambil tersenyum. Ia ambil sisir di atas meja. Dan dengan itu, ia merapikan rambut kami.
“Nah, sudah rapi. Sekarang siap-siap kalian dipotrek.”