3. Â Analisis makna filosofis, sosiologis, religious, dan yuridis pencatatan perkawinan
   Pencatatan pernikahan melibatkan aspek makna filosofis, sosiologis, religius, dan yuridis yang kompleks. Dari sudut pandang filosofis, ini terkait dengan pemahaman mendalam mengenai hubungan antarindividu, di mana pernikahan dianggap sebagai perjanjian moral dan etis yang membangun dasar untuk pembangunan keluarga dan masyarakat yang kokoh.
   Dalam perspektif sosiologis, pencatatan pernikahan mencerminkan struktur sosial masyarakat, termasuk norma-norma yang mengatur interaksi antarindividu dan peran keluarga dalam mengelola pola hubungan sosial. Pencatatan ini juga dapat berperan dalam memperkuat kohesi sosial dan identitas kelompok masyarakat.
   Secara religius, pencatatan pernikahan memiliki hubungan erat dengan nilai-nilai keagamaan. Berbagai agama mengajarkan bahwa pernikahan merupakan institusi suci yang terkait dengan rencana ilahi, sehingga pencatatan ini dianggap sebagai tindakan penghormatan terhadap norma agama dan peneguhan atas janji yang diucapkan di hadapan Tuhan.
  Dari perspektif yuridis, pencatatan pernikahan menjadi landasan hukum untuk hubungan pasangan, mencakup hak dan kewajiban hukum seperti hak properti, dukungan finansial, dan hak asuh anak. Selain itu, pencatatan ini berperan dalam melindungi hak-hak anak yang lahir dari pernikahan, memberikan dasar hukum untuk pembagian harta, serta menetapkan kewajiban dan hak-hak pasangan dalam konteks hukum negara Secara keseluruhan, pencatatan pernikahan tidak hanya bersifat administratif semata, melainkan melibatkan dimensi yang mencakup nilai-nilai mendalam dari berbagai perspektif kehidupan manusia.
4. Bagaimana menurut pendapat kelompok anda tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious dan yuridis?
   Menurut pendapat kelompok kami, setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan kesahan suatu perkawinan, yang memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas kesahannya, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak yang lainnya. Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum.
   Pentingnya pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pihak yang melakukan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya jika pencatatan perkawinan tidak dilakukan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki bukti yang autentik dari negara sebagai suatu perkawinan.
  Dari segi sosiologi, dampak negatif dari nikah siri adalah tidak diakuinya perkawinan tersebut oleh masyarakat, namun juga dapat berdampak pada kesehatan mental para pelakunya karena secara tidak langsung dicemooh oleh masyarakat sekitar.
  Dampak secara religius dari sudut pandang agama, Al-Quran menyatakan bahwa akad nikah adalah  perjanjian yang kuat dan tidak boleh disamakan dengan perjanjian biasa. QS.An-Nisa Ayat 21 Allah SWT menjelaskan bahwa suatu perjanjian  yang adil dan benar (termasuk akad nikah) adalah  yang disertai dengan bukti. Bukti utama adalah bukti rekaman.
  Dan yang terakhir yaitu dampak yuridis dari segi hukum, seorang perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah dan tidak berhak menerima nafkah atau warisan dari suaminya jika terjadi perceraian  atau meninggal dunia, dan di luar itu seorang istri tidak berhak atas harta warisan bersama, tidak ada haknya juga, harta benda atau harta bersama apabila terjadi pemisahan.
Oleh karena perkawinan itu secara sah dianggap tidak pernah terjadi, maka anak yang dilahirkan itu sah dianggap sebagai anak tidak sah  dan  mempunyai hubungan perdata hanya dengan ibu dan keluarganya. Kalaupun suatu perkawinan dilangsungkan berdasarkan agama atau kepercayaan, maka perkawinan itu tidak akan diakui oleh negara kecuali jika dicatatkan oleh Biro Agama. Para pihak kemudian mengalami kesulitan administratif dan tidak memiliki surat nikah resmi  yang dapat digunakan sebagai  bukti di pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H