Sampai sekarang Gentur masih ingat benar rasa sakit yang dibawa pulang setelah menghabiskan senja bersama Ningsih. Agak aneh, meski rasa sakitnya waktu itu terasa seakan sedang terhunus pedang, tidak ada sedikit pun darah yang keluar mengalir.
“Di sini sakit” kata Gentur, sambil menunjuk ke daerah yang dirasa sakit. “Ya, meski tak sampai mengeluarkan darah.” Timpal Gentur lagi, sambil sedikit meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. “terima kasih.” Itu kata terakhir yang Gentur ucapkan di hadapan Ningsih sore itu.
***
Besok pagi setelah senja kemarin yang Gentur habiskan bersama Ningsih, di sebuah klinik kesehatan seorang dokter membulak-balikan tubuh Gentur sembari menempelkan dan memindahkan stetoskop ke beberapa titik di dadanya. Sepertinya dokter ingin mendengarkan seluruh irama yang dihasilkan dari setiap apa yang bisa menimbulkan suara dari tubuh Gentur.
Dokter menyuruh Gentur untuk membuka mata lebar-lebar, lalu menarik kelopak matanya ke atas. Dokter mengarahkan cahaya dari senter kecilnya ke sana. Selanjutnya dokter menyuruh Gentur untuk membuka mulut lebar-lebar. Lalu cahaya senter dia arahkan ke sana, ke dalam mulut yang sudah lebar menganga.
“Hmm, beruntung luka mu tidak terlalu parah” Kata dokter, sambil memadamkan lampu senter dan memasukkanya ke dalam saku baju. “Tahan sedikit rasa sakitmu. Dua, atau tiga hari lagi pasti akan membaik” Katanya lagi, sebelum duduk di kursinya.
***
Rasa sakit yang diterima Gentur kemarin senja adalah yang terparah yang pernah Ia rasakan. Ningsih seakan ingin mencoba membunuhnya.
“Ya, aku pernah makan malam berdua bersama dia.” Ningsih berkata dengan tenang dan santai.
Jawaban itu adalah jawaban yang tak pernah Gentur harapakan keluar dari mulut Ningsih. Ketika Gentur ingin menanyakan apakah Ningsih pernah berdua-duaan dengan teman baiknya.
Setelah jawaban itu Gentur membisu. Tak ada lagi gurau dan canda yang biasa keluar dari mulutnya. Gentur terdiam beberapa menit. Ningsih pun begitu. Sampai akhirnya Ningsih kembali membuka pembicaraan.