Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Umroh 2011 : Nyanyian Sufi Saudi (24)

4 Oktober 2011   13:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:20 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_139478" align="alignnone" width="640" caption="Para Jama"][/caption] Pagi keesokan harinya, mas kiram datang ke hotel lagi menepati janjinya, disamping menunngu waktu dan bisa jama'ah ke masjidil haram untuk mendapatkan pahala 100.000 seperti yang dijanjikan Nabi, sore nanti juga rencananya teman-teman Mesir dan asrama Rubath Jawa hendak sowan ke kakak kelas kami di universitas Al-Azhar, DR. Sayyid Ahmad. Walaupun beliau sekarang sudah doktor dan tokoh di masyarakat Makkah, tapi dulu juga sama-sama belajar di Al-Azhar. :-) Saya izin dulu ke ustadz anwar untuk ikut ke asrama Rubath dan rencana nginep di sana semalam, sudah lama tidak ngumpul bareng teman-teman. Kami berjalan santai menembus padatnya lalu lintas manusia setelah shalat maghrib usai, melewati jalur misfalah yang gak pernah sepi. Asrama Rubath Jawa lumayan jauh dari masjidil haram, sekitar 2 kilometer. Sebenarnya di bawah hotel Palestine, dekat jembatan misfalah, ada kendaraan di sana, sejenis toyota Hilux, namun kalo naik itu mesti berdiri di bak belakang, jauh dekat bayarnya tetap 2 reyal. Biasanya mereka bilang, "riyalain...riyalain...". Kalo datang musim haji, jauh dekat bisa 30 reyal, entah naiknya harga berapa kali lipat itu. Musim haji memang menjadi banjir rezeki buat orang-orang yang tekun untuk mencarinya, sewa bus saja untuk booking selama haji bisa berkali-kali lipat, yang saat ini seharga 4000, ketika musim haji bisa 40.000 reyal. Luar biasa. "Hey, lama gak pernah kelihatan ke mana aja?", sapa teman-teman ketika saya masuk di asrama Rubath. Duh, senang sekali bisa bertemu dengan mereka. Kami diberikan satu ruang tamu besar dan oleh teman-teman dibuat sebagai tempat parkir tas saja, lagian mereka juga ada beberapa yang jarang tidur di sana, kadang istirahatnya di masjid, masjidil haram buka 24 jam dan nyaman. Kami langsung berangkat bersama menuju kediaman sayyid Ahmad karena harus mengejar untuk bisa shalat jama'ah isya' dan tarawih di sana. Pesantrennya sayyid Ahmad merupakan tempat singgah wajib bagi para Kiai dari Indonesia, terutama dari NU ketika mereka haji atau umrah di Makkah. Abah beliau dulu merupakan tokoh yang disegani oleh kerajaan Saudi karena pendiriannya yang kuat dan sering bertentangan dengan faham Wahabi. "Itsnain reyal, mesyi!", seorang teman mencegat mobil tramco yang ingin mengantarkan kami ke Rusyaifah, nama daerah tempat pesantrennya sayyid Ahmad. "La..la, tsalasah, isnain ma yanfa'", dengan logat Saudinya dan berbeda dengan logat Mesir, "gak lah, tiga reyal, dua reyal gak mungkin". Awalnya teman tetap memaksa, tapi setelah menawarkan ke kami tiga reyal, "ya udah, gak apa-apa mas, kita ngejar waktu". Jalanan lumayan padat, namun yang banyak adalah yang ke arah ke masjidil haram, yang keluar jalur itu tidak terlalu. Kami diberhentikan tepat di pertigaan menuju pesantren yang hanya menampung 40 santri dari Indonesia saja, sisanya dari negara lain. Sayyid Ahmad memang tidak mau menerima santri banyak-banyak, sedikit tapi "jadi orang" semua. Mereka adalah orang-orang pilihan dari seleksi yang diadakan di beberapa pesantren di Indonesia. Kami disambut oleh teman-teman di Rusyaifah, semuanya berjubah putih, berkopiah putih dan banyak yang memakai surban, seperti wali saja. Kami teman-teman dari Mesir, cara pakaiannya campur-campur, ada yang pakai jubah hitam, coklat, putih dan ada beberapa yang tidak memakai penutup kepala, pokoknya gado-gado, sehingga kami malah menjadi perhatian mereka. Ya, kami memang terbiasa dididik bebas ketika di Mesir, pakaian yang penting menutupi aurat dan sopan. Memasuki ruang pertemuan sayyid Ahmad, hawa pesantrennya begitu terasa. Saya teringat dengan suasana ketika memasuki kediaman Kiai saat di pesantren dulu. Di tembok sisi kanan dan kiri dipajang foto-foto tentang Makkah, ka'bah pada masa lalu, pintu ka'bah, foto makam Rasulullah, raudlah dan segala hal yang berkaitan dengan tanah haram. Kami menunggu iqamat berkumandang dan berbaris di mushalla yang ada di dalam ruang pertemuan bersama para santri yang berasal dari beberapa negara. Semuanya putih dan terlihat indah sekali dipandang oleh mata. Dari wajah-wajahnya, wajah Indonesia memang terbanyak. Shalat isya' berjama'ah dan kami langsung menunaikan shalat tarawih. Di dua rakaat pertama shalat tarawih yang menjadi imam adalah langsung sayyid Ahmad. Selesai dua rakaat beliau mundur dan ikut berjama'ah di barisan pertama di pojok kanan. Beliau memanggil salah satu santrinya untuk giliran menjadi imam. Begitu seterusnya, beliau memanggil santri yang lain untuk menjadi imam ketika dua rakaat tarawih selesai. Ada satu santri yang suaranya merdu dan bacaan qur'annya bagus dan dia buta, beliau mempersilakan dia kembali menjadi imam sampai dua kali. Dia terlihat senang sekali ketika ditunjuk menjadi imam lagi. Ini pertama kali pengalaman saya melihat imam shalat tarawih bergiliran. Usai shalat, kami tidak langsung bubar. Kami membentuk barisan lingkaran, di depan sudah ada beberapa orang yang memegang microfon, termasuk ada satu teman santri dari Indonesia. Rupanya, mereka menyanyikan shalawat-shalawat kepada Nabi Muhammad. Lagu-lagu khas sufi. Lama sekali kami bershalawat bersama. Ruangan yang tadinya sepi menjadi riuh dengan bau-bauan kemenyan yang dibakar di depan. Sayyid Ahmad secara nasab berasal dari Yaman dan hampir semua keluarga pesantren di Indonesia juga berasal dari Yaman. Saya pernah bertanya ke teman-teman yang suka dengan dunia sufi, apa bedanya sebutan sayyid dengan habib. Keturunan Rasulullah ada yang dipanggil habib dan ada yang mendapat panggilan sayyid. "Kalo sayyid itu panggilan untuk mereka yang nasabnya dari sayyidina Hasan bin Ali, sedangkan habib itu nasab dari sayyidina Husain bin Ali", kata mereka. Kebanyakan habib itu berada di timur termasuk Indonesia, kalo sayyid kebanyakan di asia bagian barat, seperti Maroko, di sana kebanyakan sayyid yang dari keturunan Hasan. Di sela-sela istirahat, mas kiram menjadi perwakilan teman-teman Mesir berbicara dengan sayyid Ahmad. Beliau welcome dan senang sekali ada teman-teman Mesir yang sowan ke pesantrennya. Kami diajak duduk agak memisah dengan para jama'ah dan beliau memberi wejangan banyak. Intinya, adalah seperti pesan dalam al-qur'an, harus ada sebagian orang yang menuntut ilmu dan nantinya mengamalkannya ketika sudah pulang ke daerahnya di Indonesia. "indy hadiyah basithoh, kam nafar indakum?", aku punya hadiah, kamu semua ada berapa orang?, sambil tersenyum beliau memanggil santrinya untuk menyiapkan hadiah. "Tahun lalu kita dapat buku satu kresek tiap satu orang", ujar seorang teman di samping saya. Saat kami bersalaman usai beliau memberikan tausiyah, kami diberikan kitab kecil yang berisi beberapa doa yang diberikan ijazah sanad terlebih dahulu, buku itu karangan abah beliau, sayyid al-Maliky. Rupanya ketika kami membuka kitab kecil itu, di dalamnya oleh beliau dikasih uang 200 reyal. Alhamdulillah, beliau di masyarakat sekitarnya memang terkenal sangat dermawan. Setiap kali ada teman-teman Mesir yang berkunjung ke sini, juga selalu dikasih uang. :-) Kami juga diberikan hadiah kitab satu kresek dari karangan sayyid Al-Maliky termasuk satu kitab yang pernah menggegerkan Saudi pada saat abah beliau, sayyid Maliky, melakukan acara Maulid Nabi di masjid Nabawi di dekat makam Rasulullah. Beliau waktu itu sampai dicekal oleh kerajaan Saudi gara-gara melakukan acara Maulid itu, namun setelah kejadian, beliau menantang seluruh ulama Saudi dan seluruh ulama di negeri Hijaz untuk berkumpul dan siapa yang hujjahnya paling kuat tentang masalah ini. Sehingga lahirlah kitab beliau yang sangat terkenal dan mendapatkan sambutan dari para ulama-ulama besar dunia waktu itu. Kitab itu bernama "Mafahim yajibu an tushahhah", karangan : Sayyid Muhammad bin alawi al maliky al hasani. Hingga malik Fahd yang waktu menjadi raja Saudi hanya diam saat para ulama' mendebat sayyid Maliki dan malik fahd berdiri, mencopot baju kebesarannya dan meletakkannya di tubuh sayyid maliky, setelah itu berlalu dan pulang. Malik Fahd tidak komentar apa-apa. Setelah kejadian itu, nama sayyid Maliky semakin terkenal di kalangan ulama' dunia. Setelah wafatnya beliau, perjuangannya diteruskan oleh putranya, sayyid Ahmad. Islam yang diajarkan oleh keluarga beliau hampir sama dengan islam model Indonesia yang dulunya dibawa oleh para walisongo yang suka dengan acara-acara maulid yang memberikan pujian-pujian shalawat terhadap kanjeng Nabi. Kami mohon pamit ketika ada rombongan baru yang datang dan mereka menyanyikan lagu shalawat berikutnya. Dunia ini memang warna warni. Berlanjut ke catatan berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun