Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Umroh 2011: Malam Dua Tujuh (34)

9 Oktober 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:10 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_140470" align="alignnone" width="640" caption="Ramainya halaman depan Masjidil Haram, Makkah (Foto : Irfan Islami)"][/caption] Inilah yang ditunggu-tunggu oleh semua orang yang ada di Makkah. Bahkan, sudah sangat dikenal, malam dua tujuh adalah malam lailatul qadarnya orang arab. Entah di Saudi, ataupun selain Saudi, sepertihalnya Mesir, malam ini menjadi malam yang sangat istimewa. Masjidil haram dan sekitarnya bakalan penuh. Akan sulit sekali mencari tempat kosong dan penjagaan dari askar (tentara) pasti diperketat. Sore hari menjelang maghrib, sudah ada sms masuk ke hp saya dari provider Mobily, kartu yang saya pekek, bahwa jalan-jalan raya menuju ke masjidil haram penuh, orang-orang Saudi berebut kesempatan untuk bisa merasakan nikmatnya beribadah ke masjidil haram. Saya bersama teman-teman berangkat ke masjid sengaja setelah maghrib saja melewati jalur terowongan di bawah hotel grand zamzam dan bawah halaman masjidil haram. Kami buka puasa di masjid depan asrama Rubbath, menunya lumayan, satu kotak nasi bukhari, ayam masakan Pakistan, semangka, kurma, juz lemon dan air mineral. Makanya masjidnya selalu ramai kalo sudah mendekati adzan maghrib tiba dan semua perempuan yang hadir adalah ibu-ibu Mesir, tidak ada yang lain. Ba'da maghrib pas saya berangkat ke masjid bareng Jazuli. Jalan-jalan padat dan ramai apalagi ketika masuk jalur Misfalah di bawah jembatan dekat dengan hotel Palestine, jalan sudah diblokir total dan seluruh kendaraan tidak boleh melewatinya. Sehingga banyak kendaraan yang menumpuk dan macet, jalan di Makkah yang tidak terlalu lebar dan banyaknya terowongan salah satu sebab sulitnya putar balik mencari jalan lain. Bus saptco lalu lalang tiada henti ketika kami melewati terowongan setelah jalur Misfalah. Di sinilah tempat terminal khusus ketika bulan ramadhan untuk bus-bus saptco yang mengantarkan ke tempat parkir terluas di Kudai. Bahkan, banyak sekali orang arab yang sampai rebutan gak karuan karena terbatasnya armada bus dan menumpuknya orang yang menunggu. Seluruh bus-bus militer juga terparkir ngawur di sepanjang trotoar yang ada di jalan terowongan yang kami lewati. Banyak orang berseragam militer di sana. Toilet dekat grand zamzam yang biasanya tidak terlalu ramai, saat ini juga penuh. Beruntung, saya masih memiliki wudlu sejak berangkat dari asrama Rubath. Keluar dari bawah tanah melewati tangga eskalator di bawah halaman masjidil haram depan hotel Grand zamzam, kami mesti berjalan pelan dan hati-hati dengan barang bawaan. Kemarin, teman kami ada yang bernasib kurang baik, saat dia berjalan di halaman ini, dia menaruh tasnya di belakang ketika halaman masjidil haram sangat ramai. Dia baru terasa ketika sudah jauh meninggalkan halaman masjid, tasnya terbuka dan uang ribuan reyal (entah ada berapa juta) raib dari dalam tas, padahal dia adalah penanggung jawab travel yang menolong kami. Ada saja kejadian-kejadian seperti ini di tanah suci. Saat di hotel masih bersama ustadz Anwar, beliau juga pernah bercerita ke saya tentang kisah pencurian, ketika beliau hendak ke masjid, beliau mempersiapkan uang ribuan Dollar US untuk membayar sewa hotel dan katering, waktu itu ada sekitar 20 ribu US dollar. Beliau baru sadar setelah beberapa hari tidak mengecek uang di tasnya, saat beliau membuka koper yang berisi uang itu, 12 ribu dollar telah raib. Usut punya usut ternyata yang dicurigai mencuri adalah guide yang ia bawa. Itu cerita tentang sesuatu yang terjadi di tanah haram ini. Aneh, kok berani melakukan itu di tanah suci! Saya berjalan dan tas saya taruh di depan. Melihat pintu-pintu utama, lampu yang ada di atasnya sudah menunjukkan warna merah, berarti di dalam sudah penuh. Jazuli mengajak saya ke lantai tiga. Di lift jalan bawah jembatan yang di hari-hari ramadhan biasa tidak begitu ramai, saat ini pada berebut untuk bisa naik ke atas. Terpaksa kami mengikuti mereka. Namun, sial saat sudah di depan lift, semuanya berjalan menuju ke bawah, bukan ke atas lagi. Kami tidak menyerah, di dekat lift ada lorong, kami lewat situ, orang-orang arab yang badannya gede kesulitan untuk lewat, walaupun akhirnya bisa. Di lift samping masih ada yang menuju ke atas. Sampai lantai tiga, kami kesulitan keluar karena penuhnya jama'ah yang ada. Semua orang 'tumpek blek' di malam dua tujuh. Menurut cerita orang-orang yang bermukim di Makkah, ada dua hari yang sangat spesial buat penduduk Makkah dan sekitarnya di bulan ramadhan, yang pertama saat malam dua tujuh dan yang kedua saat malam dua sembilan. Dua tujuh merupakan malam lailatul qadar dan malam dua sembilan menjadi malam terakhir untuk mengkhatamkan al-qur'an dan di dua malam tersebut, syeikh Sudais melantunkan doa yang sangat panjang. Kami berputar-putar di lantai tiga. Sampai di area tempat sa'i pun yang biasanya kosong menjadi dibanjiri oleh manusia. Terpaksa kami lari bersama orang-orang mencari tempat di lantai empat. Namun, ada masalah lagi. Saat menemukan tangga untuk naik, ada dua tentara siap siaga berjaga di situ dan seluruh tangga yang menuju ke atas sudah dinyalakan lampu merah, artinya di lantai empatpun sudah penuh dan berarti di dalam masjid sudah game over, tidak ada tempat lagi. Dan, seluruh eskalator sudah tidak ada yang naik, seluruhnya dibuat turun ke bawah. Namun, banyak orang-orang yang tidak menyerah. Saat penjaganya lengah, mereka lari menuju tangga dan harus berjuang untuk bisa naik ke lantai empat, bayangkan saja, eskalator berjalan ke bawah dinaiki untuk menuju ke atas dan tangganya banyak, benar-benar perlu perjuangan, apalagi kalo kepegang sama pihak berwajib bisa masalah. Terpaksa, dari pada saya ke bawah lagi dan pasti akan sangat kesulitan mencari tempat, saya mencari lengahnya petugas tentara dan ketika mereka mengatur orang yang sedang masuk, saya bersama Jazuli langsung lari menuju tangga dan berjuang untuk bisa ke atas, saya benar-benar takut dan gugup, sampai-sampai ketika sudah hampir di lantai empat, sudah tidak kuat untuk menahan kentut. Batal deh wudlunya. :-) Benar. Di lantai empat juga sangat penuh. Lantai empat sebenarnya tempat khusus untuk sa'i, tapi karena ini malam dua tujuh, seluruh tempat walaupun sejengkal di Masjidil haram telah dibanjiri oleh manusia, dimanapun berada. Mencari tempat untuk sujud saja kesulitan. Saat mengambil air wudlu, kami mesti berebut, karena memang sangat antri dan tempatnya terbatas. Bahkan, saat saya mendapatkan bagian untuk wudlu, ada orang arab yang mengusir saya untuk mencari tempat lain, saya gak peduli, apa hak dia mengusir, dia saya cuekin saja. Sambil terus mengusap anggota wudlu, orang arab di samping saya menyenggol nyenggol terus untuk mengusir, entah apa yang ada di kepalanya sehingga melakukan hal seperti itu. Selesai menyempurnakan wudlu, saya baru sadar, di atas pancuran tempat wudlu ada uang tergeletak, saya melihatnya, ada 200 reyal, saya langsung nanya orang di samping saya, "dza bita'ak?", ini punya anda?. "musy 'arif", gak tau. Hmm, saya langsung meninggalkannya dan membiarkan saja. Apa karena ini malam dua tujuh, sehingga orang-orang tidak berani mengambil barang yang bukan miliknya. Uang itu tetap tergeletak di situ ketika di tengah-tengah shalat tarawih saya ke situ untuk mengambil wudlu kembali. Di pertengahan shalat tarawih, saat saya mencoba untuk mengkhusyu'kan shalat, ada orang lewat di depan saya dengan membawa kamera besar, layaknya fotografer, ternyata dia memang sedang memotret. Dia menggunakan kesempatan memoto ketika orang-orang sedang khusyu' shalat, di samping dan di depan saya, asyik sekali dia beberapa kali menjepretkan kameranya dan tidak ikut shalat tarawih. Dia terlihat santai dan enjoy saja. "Kita ke bawah yuk, biar gak kejebak macet", saat hendak ditunaikan shalat witir, jazuli mengajak saya ke bawah. Padahal, shalat witir satu rakaat merupakan puncaknya doa. Di sinilah syeikh Sudais akan memimpin doa lailatul qadar, namun, setelah melihat dia sudah ingin sekali keluar dari padatnya orang, saya ikut dia saja. Mengaminkan doa kan tidak harus di atas. Kami ke bawah, lift sepi, seluruh orang khusyu' dalam shalatnya. Di bawah, barisan shalat dan pengaturannya begitu rapi. Tidak seperti hari-hari kemarin yang walaupun rapi tapi masih ada keruwetannya. Mungkin karena di malam dua tujuh, banyak sekali pasukan khusus tambahan yang diterjunkan untuk mengatur lalu lintas shalat di masjidil haram. Pemandangannya benar-benar berbeda. Di mana-mana, selalu ada militer yang berjaga. Kami berhenti di depan hotel grand zamzam di dekat para militer yang berjaga saat imam Sudais melantunkan doa lailatul qadar. Suara riuh sekali dari seluruh penjuru masjid, para jama'ah shalat menangis larut dalam indahnya doa. Hampir satu jam syeikh Sudais memimpin doa. Hampir diakhir doa, ada yang beda, saya mendengar "'sayyidina Muhammad" di sela-sela doa beliau, padahal menurut informasi, orang Saudi lumayan anti untuk menyebut Sayyid kepada Nabi Muhammad. Sekarang syeikh Sudais menyebut Sayyidina. Berarti ada yang berubah. Seorang tentara yang berdiri di depan saya terlihat kelelahan. Beberapa kali dia ingin jongkok, namun sepertinya dia gak enak dengan komandannya yang berdiri tidak jauh dari dia. Saya aja yang berdiri selama syeikh Sudais berdoa merasakan capeknya kaki, apalagi dia yang berdiri sejak shalat isya' dan tarawih ditunaikan dan tetap berdiri seperti layaknya robot. Kasihan dia. Sebelum jama'ah bubar ketika hendak selesai salam, kami sudah keluar dari padatnya para jama'ah. Melewati jalan bawah tanah dan terowongan kembali. Di bawah hotel grand Zamzampun yang di hari-hari biasa tidak dipakek untuk shalat, malam ini penuh, beruntung, ada banyak militer berjaga di sana, sehingga ada jalan untuk orang lewat, termasuk saya dan jazuli. Malam dua tujuh di bulan ramadhan ini, menjadi malam yang sangat berarti dan ingin menikmati kembali suatu saat nanti. Sampai asrama Rubath masih sepi, teman-teman belum ada yang kembali. Berlanjut ke catatan berikutnya. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun