[caption id="attachment_183360" align="alignnone" width="500" caption="Hotel Sheraton, Cairo. Salah satu pasar tauge. (Foto : www.starwoodhotels.com)"][/caption] Mampung musim liburan di Mesir, saya ingin menuliskan sesuatu yang berbau uang. Mencari rezeki bukan saja menajadi sebuah kewajiban ketika hidup di negeri orang bahkan sudah mencapai taraf sebuah kebutuhan. Satu hal yang menjadi fokus pengamatan saya adalah tentang tauge yang dalam bahasa inggris di sebut beans frut, sejenis kecambah yang di Cairo pembuatannya dari kacang "koro" bukan kacang ijo. Cairo sama seperti Jakarta. Persaingan dalam segala hal sangat terasa. Sebagai kota yang dilewati oleh beningnya nil yang menjadi sungai terpanjang sedunia, Cairo diserbu oleh semua orang, tidak hanya penduduk asli Mesir. Sektor wisata menjadi tujuan utama. Hotel dan restoran banyak berkembang di areal sekitar aliran sungai nil. Dari perkembangan hotel dan restoran inilah, muncul kebutuhan-kebutuhan baru untuk mencukupi stok konsumesrisme pelanggan mereka. Tentu, orang yang datang berkunjung ke restoran butuh makan dan pihak pengelola membutuhkan bahan makanan untuk disajikan, dari sini juga timbul yang namanya simbiosis mutualisme, sama-sama saling menguntungkan. Saya pernah mendengar sebuah nasehat, jika ingin memulai bisnis, maka mulailah dari tauge, alasannya karena hampir semua orang China dulu memulai dari sini, tauge itu cara pembuatannya sangat mudah, tetapi hasilnya lumayan, apalagi jika pasarnya bisa menembus golongan atas. Sepertinya nasehat ini bukan isapan jempol belaka. Kebenaran kata itu justru saya temukan di Cairo. Walaupun bukan saya yang menjalankan bisnis beans frut ini, tetapi karena saya bertempat tinggal satu rumah dengan bosnya, akhirnya saya banyak tahu perkembangan dan strategi bisnisnya. Di Cairo, tauge mampu menembus pasar level atas. Pemasaran "cacing" ini mampu masuk ke hotel yang sudah terkenal di Cairo seperti Formount yang berada satu gedung dengan Arkadea hotel yang menjadi gedung tertinggi di dekat sungai nil. Dulu juga menyetok hotel Grand Hayat yang menjadi langganan menginap para duta besar negara. Beberapa kali saya juga diajak memasukkan tauge di restoran Jepang yang ada di dalam hotel Sheraton yang terletak di dekat nil yang masuk kawasan Giza. Bahkan, permintaan terbanyak justru untuk wilayah yang selama ini mendapat julukan sebagai "Pulau Bali Mesir" yang bernama Syarm Sheikh dan untuk penyerahannya lewat pasar induk internasional di Suq Ubur. Saya kadang mengobrol dengan pak bos yang memiliki bisnis yang kelihatan sederhana tapi mampu menghasilkan banyak uang ini. Selama ini banyak orang China di Mesir yang sudah mengincar sektor binis tauge ini, tetapi mereka masih kesulitan untuk mencari pasarnya. Di mana-mana masalah terbesar memang bukan produksi tapi pemasaran. Beruntung, walaupun Mesir merupakan salah satu negara yang juga mendapat julukan negara gurun, tetapi mampu memiliki stok air yang melimpah. Sungai nil sudah sangat cukup untuk menghidupi keseluruhan kebutuhan rakyatnya. Air di sini tidak hanya murah, tetapi juga sampai terbuang-buang. Saya sering menemukan saluran air yang bocor di dekat jalan raya, tetapi toh tidak pernah terdengar kata-kata sumbang kalau Mesir kekeringan. Hal ini merupakan anugerah besar buat negeri paraouh. Hubungannya dengan tauge adalah jenis tumbuhan ini tidak mampu bertahan lama tanpa air. Dia selalu membutuhkan air setiap saat, mulai dari hari pertama menanam hingga hari ketiga pada saat memanen. Cara menananmnya pun sederhana dan tidak membutuhkan tempat khusus, kami menggunakan tempat kamar mandi yang dijadikan korban. City Star Mall yang menjadi salah satu pusat terlengkap dan teramai di Cairo juga membutuhkan tauge. Di dalam mall yang menjadi pasarnya adalah restoran Jepang wagamama. Setiap hari tidak pernah lepas menstok kebutuhan beans frut di sana. Di Ma'adi yang dibanjiri oleh restoran China, Jepang dan Thailand juga menjadi pasar yang bisa diandalkan untuk kebutuhan tauge ini. Bentuk dan cara penanaman tauge memang sederhana, tapi ia benar-benar menjelma sebagai mesin uang jika sudah tahu pasarnya. Saya sedikit tahu tentang perkembangan bisnis secara kasat mata di Mesir berawal dari tauge ini. Dari tauge ini saya juga tahu hotel-hotel mewah juga restoran-restoran yang tersebar di pinggiran sungai nil. Beliau bos saya yang memiliki usaha tauge ini kadang bercerita tentang pengalamannya dulu ketika merintis bisnis tauge ini. Sebagaimana diketahui, orang Mesir sulit percaya terhadap orang asing apalagi dia bukan orang yang mereka kenal, sehingga bukan lagi tiga sampai lima kali beliau ditipu oleh pihak manajemen hotel dan restoran. Tagihan yang tidak dibayar hingga barang dagangan yang tidak laku. "Apa yang ada sekarang ini adalah hasil jerih payah perjuangan dulu", kata beliau. Saya mengamini istilah bisnis selama ini yang mengatakan bahwa, dalam dunia bisnis itu jangan dilihat barangnya, tapi lihat pemasarannya. Artinya, barang yang dijual itu tidak harus mewah dan tidak harus wah, tetapi bagaimana kira-kira tanggapan pasar terhadap barang yang akan kita jual, walaupun sepertinya barang itu sederhana seperti tauge atau kecambah atau "cacing" mati ini. ________________________________ Catatan sederhana sebagai refleksi bisnis. Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H