Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Para Bidadari Multazam

26 November 2011   23:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_151945" align="alignnone" width="640" caption="Multazam, antara pintu ka"][/caption] "Inilah rumahMu, inilah baitMu, berada di tanah ghoiri dzi zar'in, tanpa tumbuhan, yang dulunya diapit oleh pegunungan, sekarang oleh penginapan", aku membatin menyaksikan kemegahan yang berdiri di sekitar masjid agung, masjidil haram. Bahkan, hampir di tiap pintu itu, anak manusia berebut untuk menempelkan namanya, ya, apalagi kalo bukan nama besarnya. Dia sebut dirinya raja.

Aku terus berjalan. Di pintu itu orang-orang berjubah selalu berjaga, untungnya aku jarang digeledah oleh mereka. Apanya juga yang mau digeledah, gak ada gunanya. Palingan dia hanya akan menemukan mushaf kesayanganku, hp jelekku dan dompet yang belum tebal. Aku sering menyaksikan ibu-ibu disuruh kembali dan tidak membawa masuk tas-tas yang menurut penjaga itu terlalu besar, anehnya, kenapa kebanyakan mesti dari Mesir.

Setiap melihat tiang-tiang megah di dalam masjid ini, aku tersenyum, pernah temanku bercerita kepadaku sewaktu dia sowan untuk shilaturahim dari orang-orang desa yang pulang haji, "beh, cagake masjidil haram iku uenak, anyes, iso metu angine", dengan nada heran dia bercerita dengan keluguan desanya yang polos. "tiang masjidil haram itu enak sekali, dingin, bisa keluar angin dari dalamnya".

Aku sudah empat kali kehilangan sandal di tempat-tempat sandal ini. Anehnya, kenapa mesti empat kali. Ah, anggap saja sedekah. Sandal aku taruh di tempat yang memiliki nomor, Ka'bah terlihat, "Allahumma zid hadzal bayta tasyrifan, wa ta'dhiman wa takriman, wa mahabatan wa birran", selalu saja doa ini terpanjat dalam hatiku ketika melihat keagungan ka'bah. Aku ingin sekali terus bersimpuh di sisinya. Bermesra-mesraan denganMu di tembok mustajabMu di multazam.

Berjalan bersama para hamba Tuhan yang semua mengharapkan surga, aku turun dari tangga di pintu malik Fahd, dari sini menuju lampu hijau tanda "bidayatut thowaf" di mulai. Sengaja setiap kali aku melakukan niat untuk thawaf sunnah, al-qur'an yang selalu terbaca. walaupun belum sampai di lampu hijau itu, aku terus membaca doa sapu jagat yang diajarkan nabi ketika melewati tempat antara rukun yamani dan hajar aswad yang dulunya putih ketika pertama kali diturunkand dari surga.

Seandainya tidak ada iman di dalam dada-dada mereka, entah seperti apa susahnya mengatur orang-orang yang terus berputar itu. Sudah berapa milyar orang sejak rumah ini pertama kali dibangun. Aku suka mereka-reka dan membuat soal yang aku sendiri sampai bingung apa jawabannya dan hanya berakhir dengan "masya Allah dan wallahu a'lam", semua atas keagungan Tuhan yang membuatnya.

Surat yusuf aku baca lirih dengan tartil. Begitu nikmat, ini adalah bacaan qur'an favoritku. Entah, karena inspirasi dari surat ini juga sampai akhirnya aku bisa ke tanah suci ini. Kegigihan yusuf dan para saudaranya. Seandainya para sodara yusuf menyerah dan tidak pergi ke Mesir dari kan'an, mereka tidak akan bertemu dengan yusuf kembali dan mereka tidak akan memiliki kisah di dalam kitab suci yang dibaca oleh agama yang memiliki pengikut satu miliar.

Sesekali kunikmati bacaan qur'anku, "bismillah Allahu akbar", kupanjatkan doa tepat di depan hajar aswad sambil melambaikan tangan dan mencium telapak tanganku sebagai isyarat, tiap doa terbaca setiap melewati tempat antara hajar aswad dan pintu ka'bah, sekelebat seorang bidadari cantik ikut berdesakan dengan ibu-ibu yang entah berasal dari negara mana saja. Ah, aku sudah biasa melihat seperti itu di tempat ini. Sekedar memalingkan perasaaan hati yang sebenarnya tertarik.

Masih muda, menggendong anak, seorang lelaki disampingnya berpakaian ihram. Duh, pemandangan yang indah sekali. Mengiming-imingi aku dan membuyarkan cerita seruku yang sudah mulai fana ke dalam surat yusuf. Aku tidak bisa membayangkan kebahagiaan mereka-mereka yang bisa memutari rumah agung ini bersama orang-orang yang dicintai.

Aduh!, Kenapa mesti mendorong dan memberikan payudaranya. Duh, aku tidak bermaksud berfikir jorok di tempat yang suci ini. Aku hanya menyayangkan. Entah sudah berapa kali, ibu bahkan ada yang masih muda mencari tempat untuk sedikit berlari dalam tawaf dan kenapa mesti payudaranya menyentuh dan terkadang siku ini jadi sasaran. Ah, mungkin karena terlalu padat, mana bisa mereka memikirkan payurdaranya dalam kepadatan thawaf ini.

"Isyfini ya Rabb, isyfiny ya Rabb...", berulang-ulang seorang ibu disampingku mengulang kata-kata ini, dia menangis tersedu mengelilingi rumah agung ka'bah dan terus mengulang. "sembuhkan aku Tuhan". Aku bertanya dalam hati, apa penyakit yang diderita ibu itu sehingga mesti mengulangnya begitu banyak.

Aku teringat dengan cerita ustadz ketika di hotel, entah ada berapa keinginan jika seandainya keinginan-keinginan itu harus di list dari orang-orang yang mengerjakan ibadah umroh, "Tujuan umroh anda adalah...". Ada orang yang umroh karena ingin bertobat dari segala kesalahan yang dikerjakan selama hidupnya, problem rumah tangga, keuangan, mencari jodoh, mencari uang dan entah apa lagi. Semuanya lengkap. Meskipun sebenarnya ibadah itu tujuannya hanya satu, mencari ridloNya.

Walaupun begitu ramai, aku berhenti tepat di multazam, ya, meski agak jauh dan harus berdesak-desakan dengan orang-orang yang berbadan besar itu. Entah ada apa, setiap kali menatap tembok mustajab itu, aku tidak bisa menyembunyikan cairan putih yang keluar dari mata. Segala doa terpanjat, aku takut, aku berharap, aku mengharap, aku tawakkal. Sayyidul istighfar tidak henti-hentinya terulang dari mulut yang tidak suci ini.

Sebelum benar-benar fana, melela dari sebelah kiriku seseorang, "duh Gusti, aku melihat keindahaMU padaNya, di Indah wajahnya, di indah hidungnya, diindah bibirnya, diindah bunga-bunga kerudungnya, indah sekali, semua dalam keindahanMu", aku tidak bisa berpaling untuk tidak memandangnya, fikiranku buyar, sayyidul istighfar aku baca kembali, "Jika karunia, apa kebaikan yang telah aku perbuat, jika ini coba, apa salahku", hanya tanya yang ada di kepalaku, "Astagfirullah", aku merasa belum pantas mendapatkan istri selevel bidadari multazam itu.

Orang di depanku dengan masih terisak dalam tangisan dan berbaju ihram mempersilakanku untuk menempati tempatnya. Aku masih memandangi bidadari multazam, tubuh kumajukan sedikit dalam himpitan daging-daging doa di pelataran rumah yang suci ini. Bisa-bisanya aku masih tidak bisa menjaga mata tepat di depan tempat yang paling mustajab di dunia. "Astaghfirullah", aku hanya bisa meminta maaf padaNya.

"Allahumma anta Robby laa ilaha illa anta", sayyidul istighfar terus saja ku ulang-ulang. Harus dengan apa lagi. Aku menangis, aku tak peduli dengan polisi yang berdiri dan mengatur orang-orang yang berebut mencium batu surga yang ada di samping kiriku. Pipi kananku menyatu dengan tembok ka'bah, dadaku menyatu, kedua telapak tanganku menyatu.

"Undang kami kembali ya Rabb bersama orang-orang tercinta, lebih sering, lebih sering", aku gak mau berdoa untuk diundang tiap tahun, aku ingin sering meratap di sini, aku ingin lebih sering berlama-lama menjadi tamuNya. Orang di samping kananku juga terus meratap, aku sangat faham dengan doa-doanya, bahasa arab fushanya sangat jelas.

Aku terus meratap dan perempuan cantik sekali yang ku lihat tadi menginspirasi untuk mengulang doa-doaku, "Rabbana hab lana min azwajina...", terus ku ulang dan terus terulang. Ya, kepada siapa lagi mesti berharap. Terlalu lemah jiwa ini jika harus bermain sendiri dengan takdir yang telah ditetapkan ketika roh sudah ditiupkan ke dalam jiwa. Terlalu berani jika harus tidak melibatkan Tuhan yang telah bermain dengan skenarionya.

"Khalash yabniy, khalas, khalas", seorang ibu mencubit pinggangku, tidak satu kali. Duh, genit sekali sih ibu ini. Apa karena dia tahu aku bukan orang arab sehingga berani sekali dia mencubitku. Sedikit geli, aku memandangnya, peluh keringat bercucuran di keningnya, aku kasihan melihatnya, persaingan selalu ada, tidak hanya dalam urusan dunia, dia bersaing dengan para lelaki untuk bisa kebagian mencium hajar aswad itu.

Aku bertawaf kembali, kurang dua putaran lagi. Begitu padat. "Himpitan daging-daging doa", ya, aku selalu ingat dengan perkataan ini, tahun 1979 lalu, gus mus pernah mengalami kejadian yang hampir mirip dengan apa yang aku alami. Dia lalu menuliskan puisi yang sangat indah yang berjudul "Perempuan Cantik Sekali di Multazam". Apakah aku dan gus mustafa bisri yang pernah mengalaminya saja. Ah, aku gak tau. Mungkin diriku saja yang terlalu pede.

Sesekali aku memandang ke atas, begitu megah. View yang sangat indah, belum pernah aku merasakan keindahan beribadah dalam kemegahan tempat, keramaian doa, melebihi tempat suci ini. Entah berapa dana yang dihabiskan dalam proyek untuk mengurus dan memperlebar masjid yang agung ini. Ketika bumi diintip oleh perusahaan antariksa NASA, yang berwarna cerah dan putih juga hanya masjid ini. Beruntung sekali orang yang bisa berdekat-dekatan dengannya.

"Udah nyium hajar aswad ji?", seorang dengan wajah yang dibalut sorban wajahnya dan hanya kelihatan mata sehingga seperti ninja menawariku. Aku berfikir, mau gak ya. Tetapi, aku ingat pesan teman-teman, di sekitar sini banyak seseorang yang aku suka menyebutnya dengan broker hajar aswad. Maaf, aku mesti menyebut broker.

Dia kadang bermain dengan empat orang temannya, membantu klien agar bisa mencium hajar aswad, klien diletakkan di tengah-tengah mereka. Namun sayang, aku mendengar cerita, ah, kenapa mesti aku ceritakan di sini, tapi aku mesti cerita, ada juga yang berprofesi sebagai maling, ya, maling. Ketika aku tanya kepada seorang ustadz, "kok berani ya, padahal ini rumah Tuhan", "Udah biasa, Setan di masjidil haram itu malah gelarnya sudah profesor doktor, didikan setannya Abu Jahal Abu Lahab", sambil tertawa dia jelaskan kepadaku.

Masih memandangi seorang yang menawariku untuk mencium hajar aswad, aku teringat ketika seorang ibu dari Indonesia pernah digerayangi tubuhnya oleh para broker itu dan menangis keras ketika sudah sampai hotel, ketika temanku hendak menolongnya dan meminta untuk menunjukkan seperti apa wajah broker itu, begitu miris hati dia, ternyata broker itu adalah temannya, dasar biadab!

Ya, inilah rumah Tuhan itu. Tempat ini memang suci. Tempat ini memang tempat yang paling mustajab. Entah berapa orang yang menemukan keajaiban setelah berdoa meratap di sini, tapi setiap orang yang datang ke rumah ini bukanlah orang-orang suci. Mereka ada yang ingin bersuci, tapi ada yang ingin semakin dalam menistai dirinya sendiri. Seluruh profesor doktor dari orang-orang baik dan buruk, aura mereka bisa ditemukan di sini.

"Maaf mas, saya sudah mencium", dengan senyuman, ku tolak permintaannya secara halus. Sekali lagi, di putaran tawaf yang terakhir, tepat di depanku, ada seseorang memperhatikanku, agak lama, mata kami bertemu, perawakannya orang asia, aku tidak berani mengatakan dia orang Indonesia karena belum bertanya, tapi kenapa mesti memandangku seperti itu, ada yang anehkah ?, dia mendekat seperti ingin sekali mengatakan sesuatu. Dekat, dekat, sangat dekat. "Benarkah doaku dikabulkan ?", secepat inikah. Dasar aku, semakin dia mendekat, aku terus membaca qur'anku dan beberapa ibu tiba-tiba menerobos dari arah kananku dan menghilangkan pandanganku terhadap gadis itu. Aku akui dia cantik sekali, tapi aku malu.

Dalam kerinduan dengan tanah haram.

Salam Kompasiana

Bisyri Ichwan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun