[caption id="attachment_259660" align="alignnone" width="500" caption="Berpose di depan segala jenis produk fir'auniyan yang berasal dari batu alabaster (Foto : Bisyri)"][/caption] Alabaster sering dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan batu pualam. Nama alabaster konon diambil dari nama satu daerah di kawasan Mesir kuno yang bernama Alabastron di kota Thebes yang sekarang diberi nama Luxor. Mesir termasuk salah satu negara penghasil batu pualam terbesar dunia. Selain Mesir, negara yang banyak memiliki batu alabaster adalah Italia, Republik Rakyat China dan di negara bagian Oklahoma di kawasan Amerika Serikat dengan yang terkenal batu pualam hitamnya. Perjalanan saya bersama para sahabat dari universitas Al-Azhar dan universitas Cairo akhirnya sampai di sebuah gunung yang menjadi basis produksi batu pualam di kawasan Luxor. Ketika kami melewati jalan raya di sana, begitu banyak ditemukan para pekerja yang sedang mengeruk gunung-gunung yang dipenuhi dengan batu pualam yang masih asli. Ada yang dengan cara tradisional, juga sudah banyak yang menggunakan alat modern. Di sisi bahu jalan juga banyak terdapat perusahaan-perusahaan lokal yang memproduksi segala jenis oleh-oleh untuk para turis asing yang berkunjung ke Mesir yang berasal dari batu alabaster. Kami mampir di salah satu perusahaan untuk melihat langsung proses pembuatan replika-replika patung fir'aun yang terbuat dari batu alabaster. Kami turun dari bus tepat di depan perusahaan yang di sepanjang temboknya banyak dicoreti dengan gambar-gambar khas Mesir kuno. Rumah-rumah penduduk di kawasan ini juga hampir sama, selalu ada gambar fir'aun ataupun nefertiti dengan seni kerajaan fir'aun masa Mesir kuno. Berada di kawasan ini seakan kembali lagi ke masa lalu ketika Mesir masih jaya dengan fir'aun yang memimpin kerajaannya. Seorang guide kami yang bernama Mr. Ala' dari Mesir memperlihatkan kami dengan proses pembuatan salah satu guci yang terbuat dari batu alabaster. Dia mulai menyuruh seorang pekerja untuk memperlihatkan kepada kami cara pembuatannya secara rinci, bahkan menyuruh kami untuk prakter cara pembuatannya. Kali ini kami diperlihatkan dengan pembuatan guci yang disebut dengan guci fir'aun dengan pembuatan memakai alat tradisional. Orang Luxor menyebut alat-alat yang dipakai sebagai "alat fir'auniyah", nama ini dinisbatkan dengan fir'aun karena sejak masa fir'aun, alat-alat besi yang banyak sekali yang bagi saya seperti alat untuk tukang jagal itu konon sudah digunakan sejak pada masa fir'aun di Mesir kuno dulu. Yang awalnya batu utuh tanpa lubang, dengan memakai alat fir'auniyah, bisa disulap menjadi guci indah. Bahkan seorang pekerja menyuruh kami untuk meletakkan lubang guci di telinga, katanya di sana pasti ada suara ombak yang berdebur. Saya mencobanya, dan ternyata benar, ketika lubang guci itu saya letakkan di telinga, seperti ada suara gemuruh. Suara itu merupakan efek dari sirkulasi udara yang berputar-putar di dalam guci. Kami juga diperlihatkan dengan produk-produk perusahaan yang berada di dalam ruang display. Semua produk yang mereka produksi akan disebar ke seluruh kawasan wisata di Mesir, bahkan juga menjadi komoditas eksport dengan harga yang lumayan mahal. Kami mulai melihat-lihat pemandangan produk dari segala segi, mulai dari patung fir'aun, nefertiti, nefertari, seti, hingga hewan scorpio yang telah menjadi satu simbol pada masa fir'aun. Banyak display yang istimewa yang dijual di sini. Ketika saya bertanya salah satu harga dari beberapa guci dan alat dapur yang berasal dari batu pualam, harganya berkisar mulai dari 300 hingga ribuan pound, sangat mahal sekali. 300 pound jika dirupiahkan sekitar 600 ribu, padahal gucinya sangat sederhana sekali, hanya berupa batu yang dibolong dan tidak ada ukirannya layaknya guci China yang memang terkenal bagus. Seorang penjaga mengajak kami ke pojok ruangan display dan memperlihatkan dengan salah satu produk yang unik. Dia mematikan seluruh lampu yang ada di dalam tempat display, ketika lampu mati, semua produk yang berasal dari batu giok langsung hidup dengan warna hijau mencolok. Seketika kami merasa kagum dengan batu-batu yang hidup akibat menyimpan cahaya itu. Banyak dari kami yang membeli batu yang bisa hidup ketika tidak ada cahaya sama sekali itu. Harganya berkisar antara 40 pound hingga 600 pound, tergantung besar kecilnya barang. Yang pasti semua produk yang ada adalah khas fara'inah (peninggalan masa fir'aun). Bahkan teman-teman dari Rusia banyak yang memborong produk ini. Selain di Luxor, Mesir juga memiliki dua wilayah yang menjadi basis produksi dari batu alabaster yakni di dekat Suez dan Assiut. Pada abad pertengahan, batu alabaster banyak digunakan sebagai ornamen gereja-gereja. Batu alabaster yang ditipiskan akan menjadi jendela yang menarik yang dipasang di dalam gereja. Gereja yang banyak menggunakan batu alabaster sebagai ornamennya adalah di Italia. Di benua Eropa, pusat perdagangan alabaster adalah Florence, Italia. Namun, harus hati-hati ketika mencari batu alabaster yang tersebar di kawasan wisata di Mesir, karena saat ini sudah sangat banyak sekali batu pualan aspal (asli tapi palsu) yang berasal dari China yang telah menyerbu Mesir. ---------------------------------- Catatan sederhana saat melakukan perjalan wisata di Luxor Aswan. [caption id="attachment_259664" align="alignnone" width="500" caption="Sedang melihat-lihat dan memilih batu giok yang dipajang di tempat display (Foto : Bisyri)"][/caption] [caption id="attachment_259665" align="alignnone" width="500" caption="Batu giok hijau yang menyimpan cahaya ketika lampu dimatikan (Foto : Bisyri)"][/caption] [caption id="attachment_259667" align="alignnone" width="500" caption="Rumah khas model gambar-gambar Mesir kuno di kawasan penghasil batu alabaster di Luxor (Foto : Google.com)"][/caption] Salam Kompasiana Bisyri Ichwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H