Hari Rabu kemarin, mata kuliyah yang kami pelajari adalah Studi Islam Interdisipliner yang diampu oleh Drs. H. Basri Zain, MA. Ph.D, beliau memperoleh gelar MA dan Ph.D. di Amerika Serikat lewat beasiswa Fullbridge.
Kebetulan, saya mendapatkan bagian mempresentarikan hasil review dari buku yang sudah saya baca habis dua minggu yang lalu. Buku terjemah berjudul "Islam di Amerika", yang ditulis oleh seorang Imam kelahiran Kuwait, dari kedua orang tua dari Mesir, bernama Imam Feisal Abdul Rouf. Beliau menulis buku itu pada tahun 2010.
Menarik karena saat saya mempresentasikan review buku memberikan tanggapan dari beliau yang lama hidup di Amerika dan menguatkan pendapat-pendapat yang diutarakan oleh Imam Feisal.
Imam Feisal dalam buku itu menulis kisahnya dari sejak pertama kali datang ke Amerika sekitar tahun 1967 setelah dari masa kecilnya beliau hidup di Malaysia. Perpindahan beliau dari Malaysia ke Amerika karena ikut orang tuanya yang diangkat sebagai Imam di Islamic Center di Washington D.C. Tentu, pindah dari negeri yang mayoritas muslim, menuju ke negara yang dianggap paling demokratis menjadikan adanya shock culture.
Terbukti, beliau menceritakan pada saat itu Amerika sedang viral dengan pemahaman the Death of God; Kematian Tuhan, pemahaman ini juga termasuk ramai diperbincangkan di kampus beliau di Columbia University.
Dari adanya fakta ini menjadikan beliau harus mengambil sikap antara mempertahankan tradisi keislaman yang beliau peroleh dari ajaran keluarga dan didikan Pendidikan di Malaysia atau ikut larut dari budaya Amerika yang serba liberal dan 'meninggalkan tuhan'.
Sampai satu ketika, beliau menemukan satu pertanyaan yang membuatnya galau. Hal itu diutarakan kepada ayahnya saat keduanya makan malam. Beliau bertanya, "ayah, selama ini kita sholat, di dalam sholat kita membaca syahadat.
Dalam kalimat syahadat, kita berkata, asyhadu an laa ilaha illallah, yang berarti saya bersaksi tiada tuhan selain Allah". "Tetapi, dengan mengatakan bersaksi, kapan kita pernah menyaksikan Tuhan?". Imam Feisal sudah siap segala konsekuensi jawaban dari ayahnya dari pertanyaan yang diutarakan.
Begitu bijak ayahnya imam Feisal dalam menanggapi pertanyaannya, padahal Imam Feisal beranggapan ayahnya akan marah kepadanya, namun tidak, beliau menjawabnya dengan santun, "Iya Feisal. Terus kerjakanlah ibadah shalat, walaupun kamu belum merasakan kehadiran Tuhan. Teruslah belajar".
Sejak saat itu, imam Feisal sering diajak ayahnya untuk mengikuti acara-acara keagamaan dan diberikan buku-buku bacaan yang bisa dipelajari untuk menambah wawasan keagaaman.