[caption id="attachment_75455" align="alignnone" width="559" caption="Cairo sore hari menjelang maghrib (Foto : Kiai Pancalan Maut)"][/caption] Cairo lagi-lagi mati. Hanya nilai ini yang bisa saya berikan kepada kota yang pada hari normal tidak pernah sepi dari macet. Malam ini, Cairo menjadi seperti kota tak berpenghuni. Ya walaupun masih ada satu dua kendaraan berlalu lalang. Malam idul adha, rasanya tidak ada yang istimewa. Saat menjelang maghrib tadi yang tampak ramai adalah pasar dan toko yang menjual pakaian. Jalan sepi. Sunyi. Juga tidak ada suara takbiran berkumandang. Selesai adzan dan shalat, semua sepi kembali. Sore hari. Pas ketika saya hendak berangkat kerja seperti biasa untuk mengambil kontainer, ada suara dering telpon masuk ke nomor pribadi saya. Hanya nomor mobile nil dan belum tahu siapa yang menelpon. Ketika saya mengangkatnya dan mengucap salam, ternyata beliau telah mengenal saya lewat Kompasiana dan beliau adalah salah satu kompasianer yang di blog itu menggunakan nama "Kiai Pancalan Maut". Saya juga baru ingat, dulu sebelum beliau berangkat ke Mesir, pernah inbox di pesan Kompasiana dan saya memberikan nomor saya. Saya mengobrol dengan beliau dan bertanya dimana posisi beliau sekarang. Siapa tahu kita bisa saling shilaturahim. Awalnya saya berfikir kalau kita ketemuan besok pagi saja, sekalian shalat idul adha di masjid yang biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia di Mesir di Hayyur 'Asyir, Nasr City dan saya meminta beliau untuk naik taksi ke sini, sendiri. Setelah telpon saya tutup. Saya baru sadar. Beliau kan orang baru di Mesir, sementara saat ini beliau yang saya memanggilnya dengan nama pak Arie yang sedang ditugaskan di Cairo oleh NOKIA yang sedang bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi milik pemerintah Mesir Mobile nil, akhirnya saya menelpon kembali. Saya bilang lagi, kebetulan saya ada pengambilan kontainer di kawasan 6 Oktober di dekat hotel Hilton tempat beliau menginap. Alhamdulillah, beliau sedang libur dan mengiyakan. Lumayan. Jalanan sepi membuat sahabat saya Omar yang biasa menyopiri mobil bisa sedikit santai dan cepat. Mobil suzuki yang kami tumpangi bisa was wes melewati jalur cepat jalanan lingkar Cairo. Yang biasanya, pada saat normal, dari Nasr City ke 6 Oktober yang letaknya berada di kota setelah piramida berdiri itu butuh waktu 2 jam, kami hanya menghabiskan waktu sekitar satu jam saja. Berkahnya hari raya dengan jalan yang sepi bisa kami rasakan. Memasuki kawasan kota 6 Oktober yang semua wilayahnya dimiliki oleh satu orang Mesir yang terkenal sebagai orang yang paling kaya kedua se Mesir setelah presidend Husni Mubarok, banyak vila, hotel dan tempat hiburan yang semakin menambah eloknya pemandangan kota. Sebelum memasuki kota ini, kami melewati kawasan militer. Maklum, padang pasir di Mesir, hampir semuanya miliknya militer dan kota 6 Oktober terletak setelah melewati padang pasir setelah Giza. Saya mencoba menelpon pak Arie kembali untuk memastikan tempat hotel Hilton yang berada di kota 6 Oktober. "Dekat-dekat situ ada orang Mesir gak pak, biar saya bisa bertanya secara detail tempat di mana hotel itu?", saya meminta kepada pak Arie biar menjelaskannya mudah. "aiwah", akhirnya pak arie memberikan handponenya kepada orang Mesir dan saya memberikan kepada Omar, orang Mesir sahabat saya yang sedang menyopir. Saya mendengarkan mereka yang sedang mengobrol dengan bahasa Mesir dan akhirnya kami tahu posisi tepat di mana hotel Hilton berada. Kami melewati kawasan Dreampark. Saat ini masih sepi, tapi lihat saja, besok usai shalat idul adha. Jalanan di sini akan sangat macet dan total. Semua penduduk Cairo dan Giza akan banyak sekali yang berkunjung ke tempat ini. Dreampark itu adalah ancolnya Mesir. Bedanya, kalo Ancol di Jakarta dekat laut, kalo di 6 Oktober ini dekat dengan padang pasir. Wahana tempat mainannya tidak jauh berbeda. Sekali lagi, kota 6 Oktober ini hanya milik satu orang saja, dia bernama DR. Bahgat. Keren kan?!, kota milik satu orang. "Assalamu'alaikum, saya sudah di depan hotel Hilton pak". "oh, iya, saya mau shalat dulu ya", suara pak arie di seberang sana. Kami menunggu di depan hotel Hilton yang masuk kategori hotel bintang lima itu. Diam-diam saya membatin, banyak sebenarnya orang-orang Indonesia yang memiliki keahlian yang bisa bermanfaat untuk negara lain, salah satunya pak arie yang saya kenal sekarang ini yang juga seorang Kompasianer. Ilmunya bisa bermanfaat bukan saja untuk negara Indonesia saja. Sebelumnya saya juga berkenalan dengan seorang konsultan untuk perusahaan Mesir Orascom yang saat ini menjadi salah satu pemenang tender pembangunan kereta listrik bawah tanah Cairo. Beliau yang saya memanggilnya pak Yandi adalah dari Medan dan menjadi konsultannya orang-orang Mesir yang berada di bawah naungan perusahaan itu dan saat ini beliau dipindah tugaskan di Aljazair dan masih menjadi konsultannya Orascom. Potensi-potensi orang Indonesia memang banyak yang ampuh. Ini kata batin saya. Sekitar lima belas menit saya menunggu kedatangan pak Arie. Seorang pria dengan tas punggung di belakang, berkaca mata dan berkaos oblong keluar dari hotel sambil tersenyum. Saya mengucapkan salam kepada beliau dan juga tersenyum. Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu bertatap muka setelah sebelumnya hanya kenal lewat media Kompasiana. Di dalam mobil saya sedikit menyeletuk. "Wah, saya kenal bapak lewat Kompasiana dengan nama Kiai Pancalan Maut, kalau boleh tahu, nama lengkapnya siapa pak?", sambil sedikit guyon. Beliau malah tertawa dan bercerita kisah kenapa beliau menggunakan nama itu di media Kompasiana. Akhirnya kami bisa fair dan guyon-guyon ngobrol sana sini di tengah sepinya kota Cairo. Mobil terus melaju. Saya katakan kepada beliau, kalau ngomong sama Omar pakek bahasa Indonesia saja pak, dia tahu. Entahlah. Omar sengaja melewatkan kami di jalan-jalan tikus di sekitar Giza, tidak melewati jalur utama di Dairy (Jalan lingkar Cairo). Pak Arie memberikan komentar, "turis-turis itu bilang ke saya katanya Cairo is very beautiful. Ya karena mereka jalannya hanya dari hotel ke hotel dan dari tempat wisata ke wisata yang lain. Coba kalo dilewatkan jalan seperti ini". Hahaha, saya tertawa dan membenarkan omongan beliau. Inilah Mesir dan Cairo yang sebenarnya. Saya katakan seperti itu. Ada kotor, kumuh, ruwet, semrawut dan banyak hal lain yang tidak bisa dinilai oleh para turis yang hanya menyambangi kawasan wisata di Mesir saja. Alhamdulillah, saya merasa senang. Saya berharap, pak arie yang seorang Kompasianer juga nantinya bisa menuliskan Cairo dari sisi lain, tidak hanya Piramida dan Spinx saja. hehe. Di kawasan Bulaq, masih wilayah Giza, daerah sebelah barat sungai nil, adzan maghrib berkumandang. Saya, Omar dan Erick kebetulan hari ini berpuasa arafah. "Dawwir 'ala asob ya hag", aku meminta Omar untuk mencari toko ashir asob (juz tebu) untuk berbuka dan makannya nanti saja, habis shalat maghrib di restoran Thailand di Hayyu Sabi'. Pak Arie bilang ke saya sebelumnya kalau beliau sudah dua minggu tidak makan masakan Indonesia, setiap hari makannya selera Mesir terus. Sudah kangen katanya. Sambil mengejar waktu. Kami langsung mengambil karton kontainer miliknya seorang mbak-mbak TKW di Dokky dan langsung ngebut menuju Madinat Buuts Islamiyyah untuk mengambil karton milik mahasiswa. Beliau kami perkenalkan dengan asrama tempat mahasiswa Al-Azhar dari seluruh dunia ini. Pengalaman yang jarang juga diperoleh oleh turis. Usai mengambil di buuts, kami shalat maghrib di masjid dekat dengan area pemakaman terluas di Mesir. Makam yang sudah ada dibangun pada masa dinasti fatimiyyah berkuasa. "Oia, saya pernah baca dari tulisan kamu di Kompasiana tentang pemakaman tua ini", kata pak arie ketika saya memberi tahu. Rasanya perut semakin lapar. Kami langsung cabut menuju rumah makan Thailand dan memesan tomyam, syurbah bi samak dan lain-lain, yang penting selera makan asia tenggara dan Indonesia banget. Semua makan dengan lahap termasuk saya dan Omar, sahabat Mesir. Di sela-sela makan, tidak ada obrolan sama sekali. Semua menikmati menu yang dihidangkan. Semuanya hanya habis 73 pound saja dan pak arie bilang kepada saya, "biar saya aja yang bayar, santai aja". Beliau bicaranya mantap, maka dari itu saya manut saja. Jalanan Hayyul Asyir yang biasanya mancet, malam ini benar-benar sepi. Tidak ada suara takbir berkumandang. Memang tidak 'usum' orang takbiran ketika hari raya datang. Takbir hanya akan dikumandangkan nanti, usai shalat shubuh sambil menunggu shalat idul adha. Malam hari raya idul adha yang sepi. Tapi, saya bisa bershilaturahim dan kopdaran dengan seorang Kompasianer "Kiai Pancalan Maut" yang nama aslinya adalah bapak Arie Faisal yang sedang ditugaskan NOKIA internasional di Mesir selama enam bulan. Inilah salah satu manfaat ber-Kompasiana. --------------------------------------------------------------------- Catatan kecil tengah malam, menanti datangnya shalat idul adha dan suara takbiran tiba. [caption id="attachment_75456" align="alignnone" width="300" caption="Kiai Pancalan Maut"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H