Surat Terbuka Pater Eman Embu, Caritas Keuskupan Maumere, Tentang Pengungsi Palue
From: Eman Embu [mailto:emanembu@gmail.com]
Sent: Thursday, March 28, 2013 11:31 PM
Sahabat-sahabat semua,
Tadi malam saya ada di Transito, Maumere, Flores, salah satu tempat penampungan pengungsi Rokatenda di Maumere. Pengalaman semalam sangat menghantui saya. Ketika saya merayakan Misa Kamis Putih sore menjelang malam tadi, pengalaman itu juga terus keluar masuk di benak saya. Tak pergi. Tak hilang.
Semalam, untuk 40 keluarga di Transito, saya memutar film "Perempuan Nagari" tentang dampak bencana untuk perempuan dan anak-anak sesudah gempa Padang. Saya juga memutar film, Kampung di Atas Api. Ini film tentang Bencana Gunung Rokatenda.
Dalam kegelapan, sesudah dua film itu diperlihatkan, ada seorang perempuan yang meratap. Saya tak tahu siapa nama perempuan itu. Saya juga tak melihat wajahnya. Lama sekali ia meratap. Saya hanya terdiam. Lama, lama sekali semua kami terdiam. Sesudahnya baru seorang sahabat, kontributor TV One yang baru kembali dari Palue, menginformasikan tentang situasi terkini di sana kepada pengungsi.
Sesudahnya baru saya tahu, betapa sulit dan kerasnya hidup di Transito. "Untuk lebih dari 40 keluarga hanya disiapkan empat toilet. Tak dipisahkan untuk laki-laki dan perempuan. Air bersih kurang, selalu kurang. Anak-anak kebanyakan tak mandi pada sore hari sesudah seharian bermain. Dapur tak ada, ibu-ibu memasak di emperan bangunan penampungan. Bahan bakar tak disiapkan. Sebagian warga tidur beralaskan terpal," demikian kata pengungsi.
"Romo, kalau bisa carikan saya satu bantal, dingin, saya tidur di terpal, tak ada bantal," ini permintaan seorang bapa lewat separuh umur ketika saya pamit meninggalkan Transito, sekitar jam sepuluh malam.
Lebih dari 2000an keluarga mengungsi ke Flores pasca letusan Rokatenda sejak akhir tahun lalu. Saya tak tahu bagaimana keadaan pengungsi di Mausambi, Ende. Saya juga tak tahu bagaimana keadaan pengungsi yang ditampung di rumah-rumah keluarga. Entalah! Entah pengalaman semalam membuat saya sangat sentimentil. Entalah! Entah saya kelewat membaca literatur tentang perempuan dan anak-anak dalam bencana.
Tapi, suara ratapan perempuan dalam kegelapan itu tak hilang dari ingatan, juga tatkala email ini ditulis untuk Anda.
Lantaran keluhan adalah kebebasan, saya ingin mengatakan secara afirmatif, "Negara tak sungguh hadir;Â ia alpa ketika warga menderita." Itu saja, sekedar untuk berbagi rasa dengan Anda.
Eman
Sumber: http://rumah-kita-dunia-kita.blogspot.com/2013/03/surat-terbuka-pater-eman-embu-caritas.html
Ditelan hingar bingar media meliput ini itu, korban dari pengungsi rokatenda berjatuhan, silahkan googling tentang jumlah korban tewas di pengungsian. Sukurlah komunitas lokal sudah bergerak membantu....
Pertanyaan saya sederhana saja kok, tahu rokatenda gak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H