JOKOWI KURANG NGEFECT
Hasil pileg sudah sama kita ketahui, sesuai dengan hasil survey partai selama ini bahwa PDIP, Golkar dan Gerindra menjadi 3 besar partai di Indonesia. Hasil pileg pada 9 April 2014 menunjukkan banyak kejutan diantaranya:
Jokowi ternyata tidak mampu membawa PDIP pada kemenangan mutlak, hasil 19 sekian persen adalah hasil normal yang memang sudah seharusnya di dapatkan PDIP. PDIP hanya mencapai suara tinggi di DKI Jakarta yang suaranya mencapai 30 %. Artinya pula sebenarnya Jokowi memang hanya ngefect ke DKI, dan belum ke seluruh Indonesia. Maka langkah Mega yang terburu mengumumkan pencapresan Jokowi  tidak berdampak signifikan pada perolehan suara PDIP. Kita tidak tahu apakah stabilnya suara PDIP(tidak melonjak drastic) karena pengaruh dari kampanye negatif(kampanye yang mengumbar kegagalan sang pemimpin, dan bukan kampanye hitam, yang menjelekkan pemimpin tanpa dasar) ataukah tipe pemilih yang selama ini memang seperti selama ini biasa terjadi di pilkada bahwa efek Jokowi baru akan terasa pada pilpres, dimana apa pun partainya tapi pilihannya pada Jokowi. Pada masa 3 bulan menjelang pilpres kampanye negatif akan di gencarkan oleh lawan lawan politik PDIP, maka nampaknya sangat berat Jokowi untuk dapat memenangkan pilpres 2014. Terlebih bila sampai ada koalisi antara Gerindra dan Demokrat, yakni dukungan SBY untuk Prabowo. Sekali pun SBY tidak dapat lagi mencalonkan diri namun dukungan mantan incumbent sangat penting untuk kepentingan kemenangan calon dalam pilpres mendatang.
Partai Golkar ternyata pada detik detik terakhir mengalami pergeseran pemilih yang cukup besar. Hal ini terlihat dari capaian partai golkar yang ternyata relative meleset dari sejumlah survey terakhir yang menyebutkan Golkar bersama PDIP akan mendapatkan suara di atas 18 %. Hal ini disebabkan beberapa hal seperti kemunculan Nasdem yang adalah pecahan dari Golkar dan mendapatkan suara cukup lumayan yakni lebih dari 6 %. Hal ini juga bisa jadi disebabkan banyak suara Golkar yang bermigrasi ke Gerindra dan PKB. Sebab lain adalah ketidaksetujuan pemilih terhadap Aburizal sebagai capres sehingga akhirnya pemilih golkar mengurungkan niatnya memilih Golkar di menit menit terakhir.
Suara Gerindra relatif sama dengan pencapaian sejumlah survey sebelum pileg, namun di bandingkan misalnya dengan PKB yang berbeda 2 % suara Gerindra relative merata di semua propinsi sehingga kemungkinan besar perolehan kursi Gerindra tidak akan berbeda terlalu jauh dengan perolehan kursi Golkar.
Suara PKB yang meningkat cukup drastis yakni menjadi sekitar 9 %. Patut di simak apakah peningkatan suara PKB ini di sebabkan kembalinya masa pemilih PKB di Jatim dan Jateng ataukah benar benar sebagai pengaruh Rhoma Irama efek. Nampaknya dukungan Said Agil sebagai ketua umum NU lebih membawa dampak signifikan bagi PKB jika ternyata peningkatan suara PKB terkonsentrasi pada suara Jatim dan Jateng.
Suara Hanura ternyata tidak melonjak drastis sekali pun di topang oleh kuatnya kampanye melalui media. Hal ini nampaknya di sebabkan dua hal yakni figur Wiranto yang tidak lagi mempunyai power dan kurang aktif menyapa publik kecuali menjelang pemilu. Berbeda dengan Prabowo yang masih sangat aktif menyapa masyarakat melalui media atau melalui beragam aktifitasnya. Sebab kedua yakni mesin politik Hanura yang nampaknya belum terlalu solid sehingga kurang mampu mengimbangi gerak pimpinan partai di tingkat pusat dan publiksi media milik Hary Tanoe yang sangat massif mengiklankan Win HT dan Hanura.
Suara PKS yang di prediksikan akan jatuh ternyata pada kenyataannya tidak mengalami penurunan yang sangat signifikan. Namun dari pandangan sekilas terhadap perolehan partai tiap propinsi kemungkinan besar jumlah perolehan kursi PKS di DPR akan menurun cukup jauh dari perolehan partai pada pemilu 2009. Ketidakmampuan suara PKS mencapai 3 besar pileg di sebabkan citra PKS yang cukup jatuh karena kasus korupsi yang mendera ketua umumnya. Dapat terlihat juga bahwa suara PKS di wilayah yang kader PKS menjadi gubernur tidak meningkat sangat tinggi, misal di Jawa Barat PKS di perkirakan hanya mendapat 8 %. Berbeda misalnya dengan PDIP di DKI Jakarta yang suara PDIP mencapai 30 %. PKS beruntung tidak jatuh seperti Demokrat walau kasus yang menderanya relatif sama berat, hal ini di sebabkan mesin politik PKS memang sangat solid pada semua tingkatan, dan bersedia bergerak seluruhnya walau tanpa dukungan financial yang kuat.
Hal yang sangat menarik dari perolehan partai partai pada pemilu 2014 adalah tidak adanya suara mayoritas dominan. Semua partai relatif sama pencapaian suaranya, hanya perlu di lihat lagi perolehan suara perdapil karena jika suara besar hanya di peroleh dari Jawa maka jumlah kursi akan lebih kecil karena mahalnya harga kursi di Jawa. Semua partai berada pada papan menengah sehingga bentuk koalisi yang terbentuk pasca pilihan legislatif sangat menentukan kestabilan pemerintahan pada masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H