Akhir-akhir ini, banyak pihak yang berbicara tentang tingkat pengguran terpelajar di Indonesia yang cukup tinggi. Jika berdasar kepada data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang dirilis pada 5 November 2024, tingkat pengangguran di Indonesia pada Agustus 2024 tercatat sebesar 4.91 persen. Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun 2023 namun jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, angka ini masih relatif tinggi.Â
 Berdasarkan opini saya, hal ini terjadi karena gagalnya sistem pendidikan Indonesia dalam mengajarkan kepada para peserta didik untuk mampu mengenali dirinya sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana bagi setiap individu untuk dapat mengetahui jati dirinya, memahami potensi diri serta mengenali kekurangan diri sehingga mampu menentukan arah hidup yang sesuai dengan nilai dan kemampuan yang dimilikinya justru tidak terjadi.
Kegagalan ini tentu terjadi karena berbagai macam alasan. Tulisan ini sekaligus menjadi surat terbuka untuk menteri pendidikan dasar dan menengah sekaligus menteri pendidikan tinggi, sains dan teknologi.
Kurikulum yang bersifat monoton dan tidak adaptif dengan zaman
Salah satu akar permasalahan gagalnya terbentuk manusia Indonesia yag sadar akan potensi dirinya adalah kurikulum yang terlalu kaku dantidak fleksibel dalam mengakomodir keunikan, keunggulan ataupun potensi peserta didik. Sistem pendidikan yang ada hari ini hanya mengharapkan para peserta didik untuk mengikuti pola belajar yang sudah ditentukan, tanpa melihat potensi yang sudah dibawa sejak lahir. Hal ini mengakibatkan banyak peserta didik yang merasa terjebak dalam rutinitas akademik yang membosankan. Tidak heran jika banyak peserta didik yang menjalani pendidikan formal hanya untuk formalitas dan gelar saja.
Fokus pada Angka, Bukan Pengembangan Diri
Sudah menjadi rahasia umum jika pendidikan di Indonesia hari ini hanya berorientasi pada nilai akhir yang tercantum di buku rapot. Dari sini tentu dapat dilihat bahwa peserta didik hanya diarahkan untuk mengejar nilai dan angka, tidak peduli darimana asalnya. Tidak ada ajakan kepada para peserta didik untuk menggali potensi diri mereka. Hal ini terjadi karena sistem akreditasi sekolah yang dimiliki oleh kementerian mengharuskan seperti itu. Tidak heran jika banyak sekolah yang 'memaksa' peserta didiknya untuk lulus di beberapa mata pelajaran tanpa mempertimbangkan pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran tersebut. Sangat mengerikan bukan mendengarnya?Â
Selain itu, dengan pola seperti ini para peserta didik juga kehilangan ruang untuk berefleksi, memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahannya dan yang paling jauh mereka kehilangan kemampuan untuk mempertimbangkan "Mau jadi apa mereka di masa depan".
Guru yang ditelantarkan
Dalam sistem pendidikan dimanapun, guru memiliki peran yang sangat sentral untuk membantu membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Namun pada faktanya, guru di Indonesia terjebak dalam rutinitas administratif yang tiada ujungnya. Hal ini menyebabkan waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk menjadi pendamping peserta didik dalam menentukan arah hidupnya menjadi tergadaikan. Dampak dari pola seperti ini yang sudah dibiarkan lama mulai terasa. Pada akhirnya banyak guru yang juga tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk membantu siswa mengenali dan mengembangkan potensi yang dimiliki.
Dampak Jangka Panjang