Mohon tunggu...
Soraya Hariyani Putri
Soraya Hariyani Putri Mohon Tunggu... Ilmuwan - Saya adalah menurut Anda

Menulis semua uneg-uneg yang masih bisa ditulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Drama Kantor adalah Drama Paling Busuk

23 Desember 2020   09:00 Diperbarui: 23 Desember 2020   09:04 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Libur telah tiba, libur telah tiba, laporan tetap jalan :)

Sudah mau akhir tahun saja rupanya. Tidak terasa corona virus sebentar lagi akan anniversary setelah sekian bulan menemani aktivitas kita semua. Tidak heran mulai banyak manusia yang mulai terbiasa dengan kehadirannya. Termasuk saya.

Selama beberapa bulan ini kita semua tidak hanya mendengar berita tentang corona virus atau drama tiktok atau berbagai spekulasi teori konspirasi tetapi juga drama Work From Home dan School From Home. Semua tiba-tiba menjadi online, rebahan, dan produktif dari rumah. Termasuk saya.

Berbagai drama yang kita saksikan dan jalani salah satunya adalah drama kantor yang identik dengan politik kantor. Cukup sulit menafsirkan politik kantor dalam bahasa yang lebih manusiawi karena saya bukan lulusan ilmu politik. 

Jadi, drama kantor negeri dan kantor swasta bagi saya semuanya sama saja, apalagi dalam masa pandemi ini banyak sekali korban drama kantor yang sampai sekarang masih berjuang bertahan hidup. Setidaknya mampu melewati akhir tahun yang kelam ini dengan harapan baru : sebuah pekerjaan.

Mengapa drama kantor adalah drama paling busuk? Bagi saya, kebusukan drama kantor selalu diimbangi dengan perasaan sakit hati, dendam, tetapi di sisi lain melahirkan sikap tangguh, kompetitif dan masa bodoh. Persis seperti bermain catur. Prajurit adalah korban pertama yang akan diberikan kepada musuh kehidupan. Sisanya bermain cantik untuk melindungi dinasti kantor dan ratu/raja pemilik kantor. Semuanya berkorban, semuanya saling berusaha menyelamatkan diri tetapi kantor tetap yang berkuasa. Sakit tapi nyata.

Kebusukan drama kantor yang sering juga kita semua dengar, lihat bahkan alami tidak hanya seputar rekan kerja bermuka dua, bos pencuri ide, atasan pelahap bonus dan tunjangan, dinasti karyawan senior penindas fresh graduate atau timbunan pekerjaan tak pernah habis yang menguras waktu, tenaga dan perasaan, tetapi lebih dari itu kadang sampai mematikan perasaan dan hasrat untuk berjuang. Berakhir menjadi kenyataan bahwa badan yang selama ini dibawa berubah menjadi robot pekerja tanpa inisiatif atau ide kreatif. Semuanya datar.

Drama-drama yang tujuannya menjadikan seseorang lebih rajin, penuh kompetisi, dan mampu bertahan di bawah tekanan nyatanya akan membentuk sebuah sikap baru berupa masa bodoh, tidak ingin berinisiatif lagi bahkan ketika ingin berinisiatif pun berpikir 20 ribu kali dan berakhir pada bekerja seperti biasa saja, tidak ada yang istimewa. Beberapa golongan bahkan sudah tidak berpikir untuk mengakhiri tetapi benar-benar mengakhiri.

Kesimpulannya adalah, drama kantor selalu terjadi di kantor manapun, dalam bentuk apapun dan hasil drama yang tidak dapat diprediksi sebagian besarnya. Tidak ada kantor yang semuanya sempurna. Hari ini mungkin terlihat baik-baik saja. Besok belum tentu. Kebusukan drama kantor berbeda-beda tergantung budaya kerja di dalamnya, para atasan, para karyawan, semuanya. Tidak ada rumus pasti menghilangkan drama kantor tetapi selalu ada cara pasti untuk menciptakan drama kantor. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun