Mohon tunggu...
Suyut Utomo
Suyut Utomo Mohon Tunggu... Administrasi - Travel | Content creator | Video | Writing

Menceritakan apa yang dialamii lewat tuisan dan video

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jalur Daendels Selatan yang Menawan

17 Oktober 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:41 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya satu hari di Jogja untuk selanjutnya kembali ke tempat aktifitas keseharian, yaitu daerah Cikarang. Sesudah subuh saya berpamitan dengan kedua orang tua, saat itu belum menentukan akan menempuh jalur selatan atau utara. Tetapi ketika beberapa kilometer dari halaman rumah yang membesarkan saya, dipilih lah jalur selatan. Bishop dipacu mantab, ke arah Wates, Purworejo. Sesampainya Purworejo disuatu persimpangan saya mengalihkan setang Bishop kearah jalan Daendels. Jalan yang dibangun oleh Herman Willem Daendels seorang Gubernur Jendral keturunan Prancis pada masa kolonial ini menghubungkan Yogyakarta dan Cilacap sepanjang kurang lebih 117 km. Jalan ini akan menyajikan pemandangan yang berbeda dengan jalur pantai utara Jawa. Ada apa di jalur ini, mungkin beberapa foto yang saya ambil sepanjang perjalanan bisa menarasikannya. jalan Daendels Pada salah satu jalan tembus dari alteri Jogja-Purworejo, sejauh mata akan melihat pemandangan sawah menghampar dengan aktifitas para petani sedang sibuk menyiangi padinya, beberapa kali berpapasan berkendara sepeda kumbang berangkat menuju lahan kerjanya. Membuat pikiran saya melayang untuk bercita-cita kembali ke desa, pergi dari hiruk pikuk di kota industri tempat saya mencari nafkah saat ini

jalan tembus Sesampainya di jalan Daendels, situasinya tidak jauh berbeda dengan jalan sebelumnya, cuma pemukiman lebih banyak terlihat. Tidak perlu memacu kecepatan motor di atas rata-rata, lalu lalang warga sepanjang jalan ini alasan kenapa Bishop tetap harus menjaga kecepatan aman. Sebaiknya mengisi tangki motor ke level full, karena jalan ini tidak akan menemui SPBU, kecuali pedagang eceran bensin. Beberapa kali melihat papan petunjuk arah ke pantai, ketika harus istirahat untuk sekedar menenggak air mineral yang dibawa, salah satu pantai menjadi pilihan saya saat itu. Pantai Bocor namanya, jarak dari jalan raya hanya sekitar 1 kilometer. Pantai yang teletak di desa Setrojenarm kecamatan Bulus Pesantern, kabupaten Kebumen ini cukup lumayan untuk melepas rasa ngantuk ketika diatas motor dengan melihat ombak bergulung-gulung dipantai ini, dan semilir anginnya.  Ramai oleh pengunjung karena bertepatan dengan libur nasional, yaitu tahun baru Islam tidak mengurangi kenikmatan waktu istirahat walau hanya 15 menit disini.
Pantai Bocor Meneruskan perjalanan kembali masih menyusuri jalan Daendels, ditengah perjalanan terlihat gapura yang melintang diatas jalan bertuliskan "Desa Wisata Suwuk", desa ini memiliki pontensi pariwisata berupa pantai yang bernama sama dengan desanya. Saya hanya melewati saja pantai Suwuk ini, entah mengapa tidak begitu tertarik untuk masuk kelokasi pantai yang sudah tampak ramai oleh pengunjung maupun bangunan-bangunan permanen pendukung sarana wisata, seperti berjejernya beberapa warung makanan. Tidak jauh dari lokasi pantai, Bishop diberhentikan ditengah jembatan. Sungai yang bermuara ke pantai Suwuk memotong dibawah sebuah jembatan, tampak air sungai kehijauan, ditepinya berpemandangan bukit berjejer yang refleksinya memantul jelas dipermukaan sungai. Perahu berpenumpang tampak muncul dari arah pantai kemudian mendekat kearah jembatan dan masuk dikolongnya, sampai terlihat lagi di lawan sisi jembatan, tidak jauh kemudian perahu itu memutar balik kearah pantai lagi. Perkiraan saya perahu tersebut sengaja disewakan untuk wisatawan pantai Suwuk berkeliling menikmati pemandangan sekitar sungai yang memang tampak menarik.
muara
sisi lain
dari jembatan Sekitar 2 kilometer dari jembatan menemukan pertigaan, jika belok kanan ke arah jalan Kebumen-Cilacap, sedangkan ke kiri adalah ke arah pantai Karang Bolong. Saya memilih belok kiri. Menemukan petunjuk ke pantai Karang Bolong, saya belokan Bishop mengikuti petunjuk. Sampai lagi di sebuah pantai, sesuai dengan namanya tempat ini terdapat karang atau tebing yang berlubang mirip sebuah gua, tapi diujung lubang sudah terlihat ombak dari pantai. Di muka karang ini terdapat warung kopi/makanan, saya singgah sebentar disini sambil menyeruput kopi hitam.
luar karang bolong Menuju pantainya terlihat beberapa orang sedang memainkan kailnya berharap ada ikan yang tersangkut. Tepi pantai berbatasan dengan hamparan karang, tidak seperti pantai kebanyakan yang berpasir. Mengambil beberapa foto lalu keluar dari lokasi ini tentunya untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Pantai karang Bolong Ini kali kedua saya melintasi jalur setelah Karang Bolong - Pantai Ayah karena biasanya jika lewat jalan Daendels memilih masuk kearah kota Kebumen. Karena pertimbangan waktu saya masih cukup untuk melakukan perjalanan lebih panjang jaraknya daripada masuk kota. Melewati perbukitan dengan jalan berkelok-kelok tentu mengasyikan bagi kebanyakan penikmat perjalanan roda dua tidak terkecuali bagi saya. Kepuasan melibas tikungan dengan tetap mempertajam kewaspadaan merupakan keasyikan tersebut. Kecepatanpun tidak dipacu kencang, menikmati hijaunya perbukitan juga tidak boleh dilewatkan dari pandangan. Di sebuah pertigaan sempat berpikir sebentar untuk memutuskan belok atau terus, ternyta tidak butuh lima menit untuk memutuskan belok kiri ke arah pantai Menganti. Karena sudah pernah ke pantai Menganti setahun yang lalu maka tidak ada halangan berarti ketika menuju sampai loket retribusi masuk lokasi yang masih berjarak sekitar 2 kilometer dari pantai, selesai membayar tiket seharga lima ribu rupiah perjalananpun dilanjutkan menikmati tingkungan dan turunan curam. Garis pantai mulai tampak dengan tebing kehijauan sejauh mata memandang.
Tiba di lokasi pantai Menganti saya berniat naik kebukit yang berada di sisi timur pantai. Tetapi ketika hendak kesana ditengah jalan dicegat oleh seorang petugas berseragam yang mengaku dari instasi Perhutani, digenggaman nya terdapat tumpukan lebaran tiket retribusi. "apa ini, pak?" tanya saya saat itu. Dia menjawab "jika ingin naik kebukit dikenai tanda masuk seharga lima ribu". Sedikit agak kesal saya menimpali " ya udah saya gak jadi kesana"  sambil memutar balik setang bishop meninggalkan petugas tadi. Sebenarnya kekesalan saya bukan masalah nilai rupiahnya, tetapi pertanyaan saya tentang kenapa harus dikenai tiket lagi, kenapa tidak dari loket pertama tadi langsung dikenai biaya sepuluh ribu, tidak bisa dijawab oleh petugas tadi. Saya berpikir ada lokasi lain yang bisa dinikmati dengan tanpa kejengkelan, menyusuri pinggir pantai yang jalannya posisinya lebih atas sekitar satu meteran dari permukaan laut disebelah kiri, jalan tanah tampak baru saja dibuka alias dibuat, disebelah kanan tampak tebing menjulang, saya perkirakan tingginya seratus meteran. Semakin jauh jalan menyempit dan berubah menjadi setapak, saat itu lah bishop berhenti. Sebelum balik arah saya menikmati hamparan laut selatan ini dengan air lautnya bewarna kehijauan, berpasir relatif putih, tampak juga dari sini bukit yang tadinya akan saya kunjungi.
arah barat pantai Tidak lama disini, panas terik matahari cukup menyengat saat itu, tetapi tidak membuat lekas meninggalkan lokasi pantai ini, saya balik arah menuju tempat dimana berjejer beberapa perahu nelayan entah apa yang sedang ditunggu. Tampak juga beberapa nelayan, sedang saling mengobrol. Saya hampiri mereka, sapaan ramah di ucapkannya, pertanyaan stadar yang dilontarkan mereka ketika melihat orang baru, "dari mana?", "kesini dengan siapa?". Salah satu momen yang saya suka ketika melakukan perjalanan seorang diri, bertemu dengan orang-orang baru, menemui kearifan lokal yang kadang hanya ditemui saat melakukan perjalanan ke daerah pelosok.
view dari tempat ngobrol dengan nelayan
view sebelah kanan Mendengar cerita nelayan tentang kekesalan serupa dengan pihak Perhutani, karena berbagai pungutan liar untuk kegiatan bernelayan salah satu cerita yang didengar dari salah satu nelayan yang sedang isitirahat siang. Beberapa nelayan disini menggunakan perahunya untuk menangkap ikan, menjaring lobster yang harganya bisa mencapai empat ratus ribu rupiah perkilogram, dan juga menyewakan perahunya jika ada pengunjung yang ingin mengarungi lautan menuju pantai sebelahnya, entah apa namanya pantai tersebut, karena untuk menjangkaunya lebih mudah mengunakan perahu. Di pantai Menganti ini menurut keterangan para nelayan juga sering digunakan sebagai ajang lomba macing, atau kompetisi berselancar.
beda kumis nelayan dan lobster :D
tempat berteduh  yang meneduhkan mata Setelah berpamitan dengan para nelayan, saya meninggalkan pantai yang berlokasi di desa Karangduwur, kecamatan Ayah, Kebumen ini. Tapi setelah melewati pos penarikan tiket terdapat pertigaan, yang jika belok ke kiri menuju suatu tempat, jika tertulis di petunjuk arah bertuliskan "Sarang Burung" entah tempat seperti apa yang dimaksud. Karena di daerah ini adalah salah satu penghasil sarang walet, maka perkiraan saya saat itu adalah tempat sarang walet tersebut. Menyusuri jalan pedesaan tidak ditemui lagi petunjuk arah, google map pun tidak bisa diandalkan. Berpapasan dengan penduduk desa, kesempatan tidak di sia-siakan untuk bertanya tempat yang di maksud. Tidak disangka penduduk tadi mengarahkan ke jalan setapak, karena yakin bisa melewatinya, bishop saya belokan menyusuri jalan yang lebarnya tidak lebih satu meter. Semakin menanjak, dan dari sini terlihat atap pemukiman penduduk. Belokan curam juga tidak sedikit disini, pengendalian Bishop dibutuhkan ekstra hati-hati.
bukan mau paralayang
lewatin bukit ini
jangan lupa belok dan rem Panas terik matahari semakin menyengat, sesekali berhenti untuk menenggak minum, dan mengambil foto. Semakin jauh garis pantai semakin terlihat, hamparan padang rumput terlihat menghiasi. Andai saja panas tidak terlalu terik saya betah berlama-lama untuk menikmati keindahan luar biasa disini. Roda bishop saya gelindingkan lagi kedepan sampai jalan yang menurut saya tidak bisa dilalui lagi.
greatest view! Sampailah pada tanah datar, bishop saya parkir disini. Tidak ada orang lain selain saya. Hanya bunyi hembusan angin yang terdengar. Begitu tenang, dengan pemandangan hijau padang rumput di perbukitan, berpadu dengan hamparan samudra berwarna kebiruan. Walaupun saya sendiri disini, tapi tidak merasa sendiri sedikitpun. Mencoba berdialog dengan diri sendiri tentang apa yang telah dilalui adalah termasuk proses refleksi diri itu sendiri. Dengan begitu akan lebih mengenal siapa saya.
touchdown!
another view
closer than
jump!anyone? Karena hari semakin siang, saya balik arah dan kembali ke arah pulang. Jalan pulang pun tak kalah seru, sampai pantai Ayah jalan perbukitan dengan tikungan dan tanjakan curam membuat hati terasa bendendang gembira. Sesekali garis pantai terlihat dari balik pepohonan. Selepas pantai Ayah menuju kota Cilacap untuk mengikuti rute selanjutnya menuju Cikarang. Alhamdulilh saya sampai rumah dengan selamat dan membawa cerita yang coba dibagikanan lewat postingan kali ini. Terimakasih telah berkenan membaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun