Saat itu (21/12/2013) waktu pada jam tangan menunjukan pukul 16.30, tibalah saya dan bishop (nama motor saya) di suatu tempat dengan menyajikan pemandangan alam tidak lazim, paling tidak ditengah perjalanan pulang ke Jogja, tempat ini membuat saya berhenti, melepas helm dan sarung tangan serta mengamati sekitar. Setelah menempuh beberapa kota Cikarang-Subang-Bandung-Sumedang-Majalengka-Kuningan dan akhirnya berada di Brebes. (rute lengkap klik disini) Tepatnya di desa Sindangheula, kecamatan Banjarharjo, kabupaten Brebes, Bishop saya memarkir dipinggir jalan raya beraspal yang tampak mulus, terlihat memang jalan ini baru saja diselesaikan pengerjaannya. Pandangan lurus kedepan tertambat pada rangkaian gunung atau perbukitan kehijauan seolah membentengi desa ini. Sebelah selatan merupakan rangkaian gunung Kendeng dengan puncaknya gunung Kumbang (1218 dpl). Gerimis tidak membuat saya bergegas meninggalkan tempat ini. Sedangkan hamparan sawah menguning, sebagian sudah tidak berpadi karena sudah dipanen melengkapi lukisan-Nya ini. Aktifitas petani membuat saya terkesima, maklum apa yang saya lihat pada saat itu sudah jarang ditemukan, petani dengan mengangkut jerami, beberapa kali juga terlihat menggiring barisan kerbau setelah menunaikan tugasnya membajak sawah. Tidak terasa hari semakin gelap, segera saya menyipakan segala sesuatu untuk melanjutkan perjalanan, termasuk melihat google map di layar ponsel, sudah menjadi kebiasaan bagi saya ketika melakukan perjalanan rute ditemukan ketika saat itu juga. Tidak ada isitlah kesasar, tapi lebih tepat disebut menemukan hal baru. Jalur ditunjukan melewati perbukitan yang ada dihadapan. Tidak berpikir panjang, segera tancap gas melaju dijalan yang tampak hilang tertelan bukit. Jika dilihat dari google map maka terlihat gambaran topografi  jalur yang akan saya lalui. Perbukitan mengelilingi hampir membentuk lingkaran, menyerupai sebuah mangkok. Benar saja, saya harus melewati tanjakan ekstrim, diperkirakan kemiringan sudutnya antara 45 derajat, kadang kala harus dikagetkan dengan belokan memotong dengan langsung menanjak. Jalan lebarnya sekitar 3 meter selalu merepotkan jika berpapasan dengan mobil, tapi hal itu jarang terjadi karena jalur ini tergolong sepi. Hujan semakin deras, memaksa saya memakai perlengkapan anti air. Selalu menjadi kendala dengan penglihatan, kaca helm yang terburamkna oleh air hujan, jika kacanya ditutup makan akan timbul kaca mengembun, sedangkan saat kaca terbuka masih ada kacamata minus yang bernasib sama dengan kaca helm saat menemui hujan. Bishop tidak bisa dipacu kencang dengan alasan tersebut. Sedangkan hari semakin gelap, sepanjang jalan hanya dikerumuni oleh pohon jati atau pinus yang menjulang tinggi. Sementara hujan semakin deras menghujam, celana yang tadinya tahan air entah mengapa menjadi tembus air membasahi kulit menambah menggigilnya tubuh ini. Sedikit lega ketika jalan dari tanjakan berubah turunan, itu berarti saya sudah melewati bukit ini dan berharap akan menemukan pemukiman untuk sekedar menghangatkan tubuh dengan kopi panas atau istarahat meluruskan kaki. Benar saja akhirnya menemukan pemukiman penduduk, beberapa tulisan papan petunjuk menamakan daerah ini bernama Salem. Kegiatan tersesat selalu memberi dampak wawasan baru tentang daerah yang belum pernah dijamah secara tidak sengaja. Salem ini merupakan kecamatan dari kabupaten Brebes, letak geografisnya berada di lembah yang dikelilingi hutan dan deretan pegunungan disekitarnya. Tentu pemandangan khas pegunungan akan menyejukan mata di daerah ini. Posisi kecamatan ini seperti seolah-olah seperti didasar mangkok/piring, sekelilingi adalah perbukitan yang cukup tinggi, karena kondisi lokasi seperti tersebut wilayah ini tergolong terisolir. Sangat di sayangkan saya tidak bisa mengenal daerah ini lebih jauh, tapi karena waktu semakin mendekati malam, kondisi  badan yang basah membuat keinginan untuk keluar dari wilayah ini. Sehabis melewati daerah ini, untuk keluar harus menembus hutan kembali, waktu itu menunjukan pukul 19.00, saat memasuki rerimbunan pohon, tidak ada penerangan jalan sama sekali, hanya lampu depan bishop yang bisa diandalkan walau tidak terlalu terang. Sekitar 2 kilometer berjalan ada perasaan ragu-ragu, sedikit takut. Bertanya-tanya dalam hati, seberapa panjang jalan seperti ini, apakah aman, dan lain sebagainya. Keraguan itu membuat saya balik arah kembali ke arah pemukiman. Ditemui sebuah warung, saya langsung memesan kopi panas. Selain itu maksud hati ingin menanyakan beberapa hal kepada pemilik warung, seorang wanita berjilbab yang tampak masih muda. Dari pertayaan yang saya lontarkan, dia menjawab denga logat sunda, jika jalannya memang seperti itu yaitu berupa hutan, dan gelap semua, tapi nanti sesekali akan menemukan desa, waktu tempuh bisa mencapai dua jam sampai keluar hutan ini. Entah apa dari sugesti obrolan tadi, atau dari keterangan pemilik warung yang membuat saya bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Pikiran negatif dipaksa untuk menjadi positif untuk bisa melewati hutan ini, tidak ada jalan lain untuk bisa keluar dari daerah ini dan mencari tempat istirahat di kota terdekat. Menelusuri jalan hutan pun dimulai, walau jalannya sudah ber aspal, tapi tetap harus extra hati-hati, banyak kubangan karena aspal rusak tertutup dengan genangan air hujan, hujan semakin deras mengiringi perjalanan. Beberapa kali lubang-lubang itu berhasil membuat kaget, dan cukup ampuh membuat shock breaker depan bishop bocor olinya (oli bocor in diketahui setelah tiba di Jogja). Sesekali hewan malam mengeluarkan suaranya menambah semakin mencekam suasanya. Tapi saya coba mengelola rasa takut yang ada didalam diri. Tapi tidak bisa mengatur rasa dingin yang membuat badan ini semakin menggigil, karena derasnya air hujan. Semakin terlihat lampu penerangan rumah-rumah penduduk, itu berarti semakin dekat menuju kota terdekat, dan juga terbebas dari kegelapan hutan bersama mencekam suasana didalamnya. Akhirnya saya tiba di kota Bumiayu, disebuah pasar dengan ruko berjejer saya menepi. Menuju kerumunan orang dan bertanya tentang penginapan terdekat, ditunjukan tempat menginap terdekat dengan tarif termurah. Akhirnya saya mendapatkan penginapan dengan tarif 70.000 rupiah permalam dan segera isitrahat untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja kesesokan harinya. Sebelum bisa tidur saya bersyukur bisa melewati jarak 30 kilometer (Sindangheula-Bumiayu) dengan durasi 3,5 jam yang membuat andrenalin sedikit terpacu ketika melewatinya, sampai akhirnya saya bisa tidur nyenyak didalam sleeping bag.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H