Susno Duadji, Jenderal bintang tiga Kepolisian Republik Indonesia, rencananya akan dijatuhkan vonis oleh Majelis Hakim di pengadilan negeri pada tangggal 24 maret 2011 mendatang. Whistle Blower yang menghembuskan kasus mafia pajak, mafia hukum serta "borok" di tubuh institusi "Polri" ini diperkarakan karena sebab yang terkesan dipaksakan. Jaksa menuduh Komisaris Jenderal ini menerima suap Rp 500 juta dalam kasus ikan arwana dan korupsi Rp 8,1 miliar saat menjadi Kapolda Jawa Barat. Jaksa pun menuntut Susno dipenjara 7 tahun dan denda Rp 250 juta, ia juga diminta mengembalikan uang hasil dugaan korupsi sebanyak Rp 8,6 miliar kepada Negara.
Perwira polisi lulusan akabri kepolisian tahun 1977 ini memang dikenal masyarakat sejak kasus "Cicak vs Buaya" diangkat di berbagai media massa. Paling tidak kasus tersebut menyita berbagai kalangan untuk turut prihatin terhadap lembaga KPK dan menyudutkan seorang polisi yang sempat melontarkan istilah "Cicak vs Buaya" yaitu Susno Duadji. Bahkan jejaring sosial facebook pun turut ramai, berlomba mengumpulkan dukungan satu juta pengguna untuk mendukung pembebasan pimpinan KPK yang di-kriminalisasi polisi, Bibit-Chandra. Selain isu "Cicak vs Buaya", berbagai terpaan seperti isu menerima suap sebesar 10 Milyar, Isu membantu pencairan dana Budi Sampoerna di bank Century, Isu berpergian ke Singapura menemui Anggoro (tersangka kasus korupsi), serta isu berbicara di depan media massa (tv) tanpa sepengetahuan Kapolri. Kasus-kasus ini akhirnya memaksa Kapolri yang pada waktu itu Bambang Hendarso Danuri (BHD) untuk mencopot jabatan Susno Duadji sebagai Kabareskrim Polri. Meskipun pencopotan tersebut penuh intervensi dari Tim-8 yaitu Tim Pencari Fakta tentang dugaan rekayasa kasus Chandra Hamzah dan Bibit Samat Riyanto. Putusan yang bisa dibilang tekanan terhadap Kapolri oleh Tim-8 waktu itu selain mencopot Susno Duadji, yaitu membebaskan Bibit-Chandra dan menangkap Anggodo. Tanggal 25 November 2009 sekitar pukul sembilan kurang, Kadivhumas Polri, Irjen Pol Nanan Sukarna, melakukan press release yang juga disiarkan live oleh tv nasional, mengumumkan sekitar 35 Perwira Tinggi dan Perwira Menengah dimutasi. Susno Duadji pun kehilangan jabatan karena dimutasi menjadi Perwira Tinggi (Pati) di Polri. Jendral Bintang Tiga ini pun tanpa pernah dikonfirmasi sebelumnya, mengaku kecewa dengan sikap Kapolri yang bertindak secara sepihak.
Padahal jika ditinjau kebelakang, kasus "Cicak vs Buaya" ini hanyalah permainan kata yang mengarah ke pembentukan opini publik. Kita tentu harus melihat kasus terakhir dimana SBY berbicara di depan TNI tentang gajinya yang tidak naik selama ia menjabat pun dipelintir beberapa pihak seolah-olah presiden ingin naik gaji. Meskipun pernyataan SBY waktu itu sangat jelas untuk memacu semangat tentara kita supaya tetap bersemangat dan tidak hanya melihat besarnya gaji dalam membela bangsa dan negara. Kasus "Cicak vs Buaya" pun sangat mirip dengan kasus SBY tersebut, ketika itu salah satu wartawan bertanya, tentang bagaimana Kabareskrim bisa tahu bahwa handphone-nya disadap dan seberapa jauh perbedaan kemampuan alat sadap Polri dan KPK. Kabareskrim pada saat itu menjawab dengan perumpamaan hewan, yaitu perbandingan alat sadap (teknologi) Polri dan KPK seperti tokek/buaya dan cicak, tapi dalam segi kewenangan dan kekuasaan justru terbalik bahwa cicak adalah Polri dan tokek/buaya adalah KPK karena KPK memiliki kewenangan dan kekuasaan yang lebih besar dari Polri.
Sangat jelas, ketika terjadi kriminalisasi Pimpinan KPK, Susno Duadji mengaku tidak dilibatkan dalam menyidik perkara Bibit-Chandra, tim penyidik tersebut yang menangani kasus Bibit-Chandra bertanggung jawab langsung kepada Kapolri.
Setelah kasus "Cicak vs Buaya" mulai reda, dengan dibebaskannya Bibit-Chandra, pencopotan Susno Duadji, dan penangkapan Anggodo. Publik kembali digemparkan dengan kasus Mafia Pajak dan Hukum yang ada di beberapa instansi keuangan dan lembaga hukum Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Kasus Korupsi besar-besaran yang dilakukan pegawai Pajak, Gayus Halomoan Tambunan dimana terjadi pembengkakan rekeningnya sebesar Rp 25 Milyar. Tidak bisa dipungkiri, Susno Duadji yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Nalisis Transaksi Keuangan (PPATK) menghembuskan kabar tentang adanya kasus mafia pajak ini. Selain itu, rekening gendut yang terdapat di tubuh petinggi Polri juga menjadi sorotan media kala itu. Susno Duadji menyatakan bahwa ada jenderal di Polri yang terlibat makelar kasus (markus). Setidaknya ada beberapa jenderal yang memegang jabatan penting di tubuh Polri yang disebut terang-terangan oleh Susno Duadji yang menjadi "gemuk" karena uang. Susno Duadji seolah ingin membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa dia tidak "bersalah dan bersih" dengan membuka "borok" yang ada di Kepolisian RI dan beberapa instansi lainnya. Hampir semua kasus yang dibukanya, berujung pada kebenaran. Namun beberapa minggu setelah berbagai kejadian itu tepatnya di bulan April 2010, ketika Susno ingin pergi ke Singapura dengan alasan berobat, ia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta oleh Propam Mabes Polri (tanpa surat perintah penangkapan) karena dianggap melanggar etika karena tidak izin ke Kapolri untuk bepergian ke luar negeri. Penangkapannya waktu itu jelas menimbulkan kejutan, karena Susno ditangkap sesaat setelah ia mengungkapkan informasi tentang adanya kegiatan markus di tubuh Polri di depan Komisi III DPR RI. Selain itu juga beberapa saat sebelumnya Susno puun bertemu dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum atas informasi tentang kasus Gayus dan kasus penangkaran ikan Arwana.
Tidak berapa lama kemudian, Senin 10 Mei 2010, Komjen Pol Susno Duadji ditahan di Mako Brimob, Depok. Dia ditahan atas kasus suap PT Salmah Arowana Lestari dan kemudian ditambah juga dengan kasus Korupsi Dana Keamanan Pilkada Jabar tahun 2008. Pandangan awam menilai ini sebagai bentuk pelemahan terhadap reformasi, ketika ada seorang Jenderal Bintang tiga yang ingin mengungkap tentang mafia pajak dan hukum malah dijadikan tersangka dengan berbagai macam tudingan yang seolah-olah terkesan "dibuat-buat".
Kasus ini terus bergulir dan berlarut-larut, setelah lebih dari 6 bulan menjalani sidang akhirnya pada Jumat 18 Februari 2011, Susno Dibebaskan dari Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Ia kembali mengenakan seragam polisinya dengan atribut bintang tiga di kedua sisi bahunya, yang menandakan ia adalah perwira tinggi Polri. Jenderal Bintang Tiga yang sempat "digadang-gadang" sebagai calon pengganti Kapolri BHD ini akhirnya bisa merasakan udara bebas, namun ia tetap harus menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 24 Maret 2011, Hakim akan menjatuhkan Vonis kepada Susno Duadji, disinilah kebenaran lagi-lagi harus diperjuangkan. Semua masyarakat melihat dan mengawasi bisa menilai siapa yang benar dan salah. Hati nurani tak akan pernah bisa berbohong meskipun fisik berkata yang tidak benar.
Susno Duadji, seorang anak kampung dari Pagar Alam, Sumatera Selatan, yang bahkan harus menempuh 280 kilometer hanya untuk mendaftar masuk institusi kepolisian 32 tahun silam itu kini akan menghadapi vonis hakim. Seperti yang pernah dinyatakan Adnan Buyung Nasution, "Bagi saya Susno Duadji memiliki Integritas yang sangat baik, cerdas dan professional dan juga memiliki keberanian untuk bertindak"
Anwar Biruni
Jakarta