Aku meraih ponselku dan kulihat waktu masih menunjukkan jam enam pagi. Dinginnya cuaca di hari Minggu pagi mengajakku untuk tidak beranjak dari peraduan. Aku menarik selimut, membungkus tubuhku rapat-rapat, merasakan kehangatan yang terpancar dan tak membiarkan sedikitpun angin dingin masuk dan menusuk-nusuk tulangku. Namun aroma harumnya kopi hangat yang menguar dan memenuhi rongga hidungku untuk segera bangkit, melepaskan segala keinginan untuk bermalas-malasan di hari Minggu dan mencari dari mana sumber dari aroma yang mengusik imanku ini.
Aku melangkah keluar kamar, mengamati keadaan di sekitar ruang tengah hingga dapur. Dan kudapati Alejandro dan Carlos, dua temanku, tengah menyeduh kopi panas di meja dapur. Aku melangkah perlahan mendekati mereka sambil terbatuk-batuk kecil yang sengaja kubuat-buat. Kulihat Alejandro dan Carlos saling pandang, saling melempar senyum dan memberi isyarat dengan mata. Sepertinya mereka sudah paham dengan kode yang kuberikan, minta kopi gratis, seperti yang biasa kulakukan.
Terlihat ada tiga cangkir kopi tersaji dengan asapnya yang masih mengepul di meja dapur. Dan Alejandro memanggil namaku, memonyongkan sedikit bibirnya, memberi isyarat padaku bahwa kopi panas yang di cangkir putih adalah kopi gratis yang sengaja mereka jatahkan untukku. Tanpa menunggi lama, aku pun segera menyeruputnya. Tiba-tiba aku terbatuk, dan memuntahkan air kopi yang masih berada di mulutku ke lantai. Aku terpana dan merasakan ada yang aneh dengan kopi yang baru saja kuseruput. Sementara Alejandro dan Carlos terlihat tak kuasa menahan tawa dan dengan mimik tak bersalah mereka bernyanyi-nyanyi dengan lirik yang membuatku meradang, " Kusangka kopi ternyata brotowali ."
(EL)
Yogyakarta, 04102024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H