Film Ipar adalah Maut menjadi bahan obrolan rekan-rekan kerjaku saat istirahat makan siang hari ini. Mereka rupanya sudah khatam menonton film yang tengah viral tersebut. "Nah, hati-hati lo yang punya adik perempuan cantik. Jangan sampai bernasib kayak Nisa," ujar Mila menghangatkan obrolan itu. Yang pasti isu obrolan mereka tak jauh-jauh dari rasa simpati pada tokoh Nisa yang tersakiti karena diselingkuhi dan kecaman pada tokoh Rani sebagai perusak rumah tangga Nisa dan Aris.
Aku memilih menjadi pendengar saja. Maklum, aku sendiri belum menonton film ini. Dan aku sepertinya tidak tertarik untuk menontonnya. Kisahnya terlalu biasa menurutku dan jalan ceritanya gampang ditebak. Selain itu, aku juga tak mau ikut-ikutan emosi melihat karakter sang pelakor, Rani, dalam film itu.
Azan zuhur berkumandang dan aku bergegas ke musala kantor untuk menunaikan salat zuhur. Selesai salat aku menuju kaca besar yang terpasang di pojok belakang musala, memperbaiki posisi jilbabku yang sedikit miring sebelum kemudian kembali ke ruang kerjaku. Sambil berkaca aku bergumam sendiri, " Alhamdulillah, aku mampu menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslimah dengan baik saat ini setelah menjalani peran seperti Nisa dalam film Ipar adalah Maut lima tahun lalu.
(EL)
Yogyakarta,30062024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H