Dua partai yang sedang berseteru tentang pencalonan Jokowi sebagai presiden ternyata memiliki paham yang sudah berakar lama di republik ini yaitu marhaenisme dan sosialisme. Kedua paham tersebut dianut oleh banyak tokoh-tokoh pendiri bangsa kita. Tentu bisa ditebak yang akan saya bahas di sini adalah Marhaenisme Sukarno dari PNI sampai kini PDIP dan sosialisme humanis yang diusung oleh PSI dengan pentolan Sutan Sjahrir dan juga Sumitro Djojohadikusumo.
Kedua partai yang sedang berseteru sekarang memiliki “darah biru” keturunan langsung dari tokoh-tokoh partai besar tersebut pada masa-masa awal kemerdekaan. Megawati di PDIP dan Prabowo Subianto di Gerindra.
Sebenarnya kedua paham ini masih mirip-mirip. Masih berakar dari sosialisme Marx-Hegel-Engels yang disesuaikan dengan kondisi indonesia. Tentu kita pernah mendengar cerita seorang petani yang menjadi inspirasi Sukarno dan kegigihan Sjahrir menolak penerapan sosialisme seperti di Uni soviet. Kedua tokoh ini sama-sama bicara tentang rakyat, jika Sukarno membahas bagaimana Seorang petani harus hidup hanya dari hasil panennya saja, Sjahrir lebih umum lagi membahas tentang bagaimana memposisikan semua manusia setara, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Persamaan keduanya adalah sama-sama ingin memberikan “pendidikan” kepada rakyat agar bisa memilih untuk membangun negara. Berbeda dengan pola Uni Soviet yang membentuk sistem kediktatoran buruh.
Nah sekarang mari kita membahas apa yang sudah dilakukan oleh partai yang katanya tokohnya merupakan penerus dari kedua paham tersebut. Apakah benar mereka telah menelurkan kebijakan yang membuktikan justifikasi selama ini? PDIP sebagai partai reformasi, sempat menjadi harapan banyak orang. Banyak aktifis-aktifis muda yang saat itu meresahkan penguasa bergabung di dalamnya, sebutlah Budiman Sujadmiko karena sekarang dia yang paling terkenal. Pemilu 1999, menempatkan PDIP dalam posisi sulit karena masih harus bersaing dengan partai Golkar pada saat itu dan munculnya kekuatan poros tengah membuat Megawati harus rela menjadi wakil presiden dari gusdur. Dalam masa jabatannya gusdur yang terkenal nyeleneh, memang ada beberapa sosok mantan aktivis mahasiswa yang menjadi menteri sebut saja Rizal Ramli dan Mahfud MD.
PDIP pernah menjadi mayoritas di parlemen pada pemilu tahun 1999, dan Megawati menjadi presiden setelah Gusdur lengser di tengah jalan pada tahun 2001. Tapi dari masa pemerintahan tersebut hanya isu miring yang tersisa sampai sekarang, mulai dari privatisasi BUMN, diteruskannya kerjasama dengan IMF, UU penanaman modal asing, dilepasnya kontrak gas tangguh dengan harga murah. Sederet prestasi juga berhasil di hadirkan, yang paling terkenal adalah pembentukan KPK.
Sedangkan gerindra memulai perjalanan politiknya pada pemilu tahun 2009 dengan iklan jorjoran, gerindra berusaha menaikkan elektabilitas dengan mencitrakan sebagai pembela petani dan nelayan. Di DPR selama masa pemerintahan SBY periode kedua, gerindra menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah. Beberapa isu yang ditolak adalah kenaikan BBM dan berusaha merubah undang-undang pemilu terutama tentang ambang batas pencalonan presiden.
Kedua partai sampai tahun ini belum ada yang bisa mewujudkan jargon politik yang mereka bawa, kebijakan yang pro rakyat belum terasa adanya, malah kemiskinan di Indonesia masih meningkat. Tentu kedua partai punya kendala masing-masing. PDIP yang sudah pernah memegang kekuasaan beralasan mereka kesulitan karena berada pada masa transisi dan harus memperbaiki ekonomi dengan cepat pada saat itu. Gerindra sebagai partai yang baru berdiri tahun 2005, belum pernah mempunyai menteri di kabinet, hanya berjuang lewat jalur oposisi. Tetapi dalam hal pemilihan kepala daerah keduanya memeiliki prestasi yang lumayan, PDIP berhasil memenangkan Jokowi, Risma, dan Ganjar. Sedangkan Gerindra dengan Ahok dan Ridwan Kamil.
Di tahun pemilu 2014 kedua partai sama-sama telah bersiap untuk menjelang pemilu. PDIP dengan memperoleh popularitas lewat sosok kader-kader mudanya yang ditugaskan untuk bersaing di daerah. Jokowi, Risma, Rieke, dan Ganjar menjadi alat pengatrol popularitas partai, di tengah ramainya sentimen negatif tentang kekolotan partai yang terlihat mengharuskan adanya trah sukarno sebagai calon presiden. Sementara Gerindra masih bersandar pada popularitas dewan pembina mereka Prabowo Subianto. Dalam hal program kerja harus diakui Gerindra lebih banyak terlihat menyosialisasikan program kerja mereka daripada PDIP. Hal ini terlihat bila kita mencarinya lewat google, maka program kerja partai Gerindra jauh lebih mudah ditemukan daripada program kerja PDIP.
Dapat terlihat perbedaan pendekatan “kampanye” yang dilakukan kedua partai. Sementara PDIP terus mendongkel popularitas mereka dengan menjual sosok Jokowi, Risma, dan Ganjar, partai Gerindra mencoba mengkomunikasikan program kerja mereka yang berorientasi kerakyatan. Sementara PDIP terus melakukan kampanye model tersebut kita dibawa kembali pada pemilu tahun 2004 dimana SBY berhasil memenangkan pilpres dengan strategi hampir serupa. Tetapi jika kita liat hasilnya sekarang, maka hanya kekecewaan yang tersisa. Sebenarnya harapan saya sangat tinggi untuk dua partai ini karena memang keduanya katanya sama-sama mengusung kebijakan yang pro rakyat kecil. Tetapi dari pengalaman pemilu 2004 marilah kita mencoba kritis terhadap program partai agar nantinya tidak kecewa, karena pencitraan dan popularitas saja tidak akan bisa memberi makan untuk jutaan orang lapar atau memberikan kepastian hukum untuk TKI kita di luar negeri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI