Mungkin sudah cukup banyak tulisan-tulisan mengenai Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi yang wafat, Selasa (26/10) sore, setelah wedhus gembel menyapu kampung Kinahrejo, Umbulharjo, Sleman. Apa yang saya tuliskan sekadar secuil memori yang terpatri saat bersilaturahmi sekaligus mewawanncarai Mbah Maridjan untuk keperluan penelitian antropologi, Maret 2009 lalu.
Saya dan istri saya yang sedang riset serta anak kami, tiba di kediaman Mbah Maridjan pada sore hari. Tidak sulit untuk mencari rumah Mbah Maridjan, kami mencari tahu kediaman rumah sang juru kunci ini, berdasarkan informasi para pedagang di obyek wisata Kaliadem.
Saat kami tiba, hari sudah memasuki waktu salat Ashar. Mbah Maridjan baru saja menunaikan salat di mesjid Kinahrejo yang berjarak hanya sekitar 50 meter dari rumahnya. Kami menyempatkan diri menunaikan salat Ashar terlebih dulu sebelum menemui Simbah. Sebenarnya selain kami, di rumah Mbah Maridjan tampaknya juga ada tamu lain. Dari penampilannya, agaknya mereka rombongan mahasiswa yang baru saja berekreasi di Kaliadem dan untung-untungan berkunjung ke rumah Mbah Maridjan untuk menemui dan tokoh. Agaknya tidak ada diskusi serius romobongan tersebut dengan Mbah Maridjan, dan mereka lebih senang berfoto-foto persis di depan rumah di mana tercantol plang bertuliskan "Juru Kunci Hargo Merapi MAS PANEWU SURAKSO HARGO (Mbah Maridjan) Kinahrejo, Ngayogyakarta". Memang tempat ini adalah lokasi favorit para tamu Mbah Maridjan berfoto ria.
Seusai salat, kami kulonuwun dengan salah satu kerabat Mbah Maridjan yang menjaga warung di sekitar rumah utama. Kami bertanya keberadaan simbah dan meminta ijin untuk bertemu. Sang penjaga warung langsung menghubungi Mbah Maridjan dan tak lama kami diberitahu bahwa kami di suruh menunggu. Kami pun diarahkan menuju ruang tamu Simbah, belum lagi sampai di depan pintu ruang tamu, sesosok tua memakai kaus Partai Demokrat datang menghampiri kami. Ya, dia Mbah Maridjan yang fenomenal itu. Kami menyalaminya dan dia menyilakan kami masuk ke ruang tamu.
Rumahnya bisa kami katakan sangat sederhana, tak tampak kemewahan berlebihan, semuanya khas perumahan di desa. Di meja tamu sudah tertata puluhan air mineral gelas dan camilan khas pedesaan. Agaknya Mbah Maridjan memang telah menyediakan untuk tamu-tamu yang kami duga ramai pada hari-hari kunjungan rekreasi. Di dinding ruang tamu terpasang, beberapa foto dan lukisan yang semuanya terkait dengan aktivitas Mbah Maridjan. Salah satu yang mencolok adalah lukisan diri bertuliskan Mbah Maridjan Semelekethe. “Itu yang memberi orang Jogja,” katanya. Semelekethe di sini dimungkin berkaitan dengan sikap Mbah Maridjan yang emoh turun gunung saat Merapi meletus tahun 2006.
Obrolan ngalor-ngidul lancar mengalir. Kami mulai bertanya mengapa sebagian warga Merapi tidak takut tinggal di zona berbahaya dan mengapa Mbah Maridjan tidak mau turun saat letusan 2006 terjadi. Dengan gayanya yang khas, juru kunci yang diangkat Sultan HB IX tahun 1982 ini menjelaskan yang pada intinya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah, di mana pun dia tinggal dan hidup. Mbah Maridjan juga menjelaskan jika Merapi bergejolak dia mempersilakan penduduk untuk mengungsi demi keselamatan mereka.
Kami sempat pula menyinggung pamornya yang melejit pascaletusan 2006, Simbah menjadi terkenal bak selebritis bahkan dianugerahi julukan Presiden Merapi. Dia mengatakan secara pribadi dirinya tetapkan orang desa dan tidak niatan untuk menjadi top. Medialah yang mebuat dirinya menjadi bak selebritis. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, Simbah sempat menjelaskan keuntungan materi yang didapatnya digunakan untuk kepentingan warga desa, termasuk memperbaiki mesjid di dekat rumahnya. Obrolan terus mengalir, hingga sampai pada suatu wejangan bahwa jika kita ingin menjari jeneng (nama) mengabdilah di desa, tapi jika ingin mencari jenang (materi) bisa dicari di kota.
Dari obrolan-obrolan itu kami menilai Mbah Maridjan bukanlah orang yang sakti mandraguna atau paranormal. Dia hanyalah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta yang mencoba menjalankan amanat dengan sebaik mungkin, sebagai wujud pengabdian kepada sang raja. Bahkan saya menduga Mbah Maridjan tidak bisa meramal secara supranatural kapan Merapi akan bergejolak, atau berhenti bergejolak. Jika Merapi menunjukkan aktivitasnya, yang dilakukan Mbah Maridjan hanya berdoa kepada Allah, memohon keselamatan bagi seluruh warga Merapi. Jadi jauh dari bayangan bahwa Simbah adalah orang yang sakti khas paranormal. Kecintaan terhadap Merapi, kewibawaan dan kesajahaannyalah yang membuat dia dianggap memiliki linuwih.
Obrolan kami sempat terputus dengan kehadiran dua turis asal Malaysia. Sang pemandu memperkenal dua turis itu kepada Mbah Marijan. Dan dari pemandu dijelaskan bahwa Mbah Maridjan juga dikenal hingga Malaysia. Bahkan slogan "Rosa, rosa.." juga dikenal di sebagian warga negeri jiran itu. Tak lama dua wisatawan Malaysia tu berada di rumah Mbah Maridjan karena hujan mulai turun dengan derasnya. Mbah Maridjan sempat meminjamkan payung agar sang pemandu bisa mengantarkan sang wisatawan ke mobil mereka.
Obrolan terus berlanjut menyinggung banyak hal mulai dari keluarga, hingga situasi politik yang menghangat jelang Pemilu. Mbah Maridjan juga mengatan sempat didatangi beberapa tim Caleg, namun kunjungan itu dianggapnya sebagai kunjungan biasa. Diskusi kami akhiri saat hujan mereda. Tak terasa dua jam sudah kami menghabiskan waktu bersama Simbah. Dua jam yang berkesan karena banyak sekali pelajaran hidup yang kami dapatkan. Selamat Jalan Mbah..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H