Proses marketisasi kebijakan lingkungan berjalan sejajar dengan proses sosialisasi sejak sekitar tahun 1985. Marketisasi ini merupakan singkatan dari berbagai indikator yang terhubung.
      Pertama, terjadi pergeseran gaya pemerintahan, strategi manajemen dan serangkaian instrumen kebijakan yang digunakan. Alih-alih menggunakan peraturan sendiri, pemerintah juga memperkenalkan instrumen yang sesuai dengan pasar untuk menarik perhatian warga dan bisnis untuk mengubah cara mereka dalam hal lingkungan. Sehingga warga negara dan bisnis ditangani sebagai konsumen dan produsen dalam proses penetapan harga, misalnya.     Kedua, marketisasi mengacu pada pemerintah yang meninggalkan tanggung jawab dan kompetensi tertentu kepada pihak pasar (atau: mengembalikannya kepada mereka). Hal ini dapat dilakukan secara cukup mencolok melalui pembebasan dan privatisasi. Proses privatisasi dan liberalisasi juga menyiratkan adanya pergeseran peran dan tanggung jawab. Peran dan tanggung jawab pemerintah sebagian diperluas dan sebagian diambil oleh aktor lain. Misalnya, sektor ekonomi yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan sekarang dipanggil untuk menggunakan kemampuan mereka sendiri dan dengan demikian berkontribusi untuk memecahkan masalah yang mereka timbulkan. Ada sedikit kekurangan dari instrumen ini yaitu bentuk kontrol kualitas atas layanan yang diberikan oleh perusahaan yang diprivatisasi (misalnya taksi pink untuk keluarga Sultan). Sehingga, seringkali memicu konflik.
Lingkungan, partisipasi dan kekuatan: antara ‘Model polder hijau' dan demokratisasi lebih lanjut
      Ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk merancang instrumen partisipatif baru yang diperlukan: model polder hijau atau demokratisasi lebih lanjut. Keberhasilan model polder sosio-ekonomi, yang didasarkan pada konsensus dasar antara pemerintah, perdagangan dan industri, serta gerakan serikat pekerja, mengilhami beberapa orang untuk mengemukakan jenis model kebijakan lingkungan yang serupa (Leroy, dkk, 2003: 183).
      Instrumen ini menurut beberapa pendapat secara substansial dapat meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah dan dapat menyelesaikan konflik mengenai infrastruktur, pertanian, alam, dan lain-lain. Pendapat lain mengatakan bahwa 'model polder hijau' tidak lebih dari sekedar bencana: mereka mengasosiasikan 'model polder' dengan konsultasi antara elit kelompok kepentingan dan saling berkompromi. Padahal konsensus di antara elit menyebabkan non-partisipasi. Sebagai gantinya, sekarang proses pengambilan keputusan dari partai-partai pasar harus dibuat lebih transparan dan lebih mudah diakses. Label ekologi, laporan lingkungan, energi hijau dan instrumen lainnya merupakan langkah awal yang sementara dalam proses politisasi dan demokratisasi yang luas bagi pasar dan masyarakat.
Referensi:
Leroy, P, dkk. (2003). Environment and participation in a context of political modernisation. Environmental values, 12(2), 155-174.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H