Mohon tunggu...
Bima Muttaqa
Bima Muttaqa Mohon Tunggu... -

Shake your Emotion

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Kota di Indonesia

11 Agustus 2010   18:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sebuah kota yang bau, teriakan pedagang-pedagang menawarkan barang bercampur dengan keluhan dan cacian pembeli akibat harga beberapa barang yang melambung tinggi, suara kendaraan yang berlalu lalang semrawut semakin menambah kebisingan kota yang panas dan mulai memerah, akibat otak-otak bertahan membendung serangan emosi yang bergelegak menghantarkan darah sampai ke ubun-ubun.

Disudut selatan kota seorang lelaki tua berumur mendekati tanah menggendong anak lelaki satu-satunya yang menangis kelaparan, kurus, kecil, dengan perut membusung dan tatapan mata sayu. Di sebelahnya seorang wanita berambut cokelat penuh uban terduduk lemah sambil memainkan boneka kumal coba menghibur anak lelaki itu, didepannya kaleng rombeng hanya terisi beberapa koin seratus perak mengkilat memantulkan terik matahari..

Disudut utara kota seorang pemuda kurus menguatkan nyali, memutar otak dan membelalakan mata mencari mangsa yang lengah menjaga barang-barang berharganya. Sementara dihatinya menangis dan berharap Tuhan tidak menghukum setimpal dengan perbuatannya, karena semua ini demi hidup keluarganya..

Disudut barat kota wanita muda gila setengah bugil bernyanyi riang dan menari kesana kemari, kadang-kadang berteriak, meraung, menangis dan terdiam, lalu kembali lagi bernyanyi riang, menari, beteriak, meraung, mengangis dan terdiam, begitu seterusnya sampai malam tiba. konon wanita muda gila itu adalah mantan biduan organ tunggal terkenal yang dijual suaminya untuk melacur ke juragan kaya raya akibat terbelit hutang..

Disudut timur kota anak kecil tak berkaki merayap mengais sampah mencari sisa-sisa makanan yang terbuang oleh pemiliknya, sambil menadahkan tangan dia mengiba mengharapkan belas kasih pengunjung pasar yang sedang pusing dan geram terhadap gejolak harga yang siap menelan kepala mereka..

Sementara itu aku dibalik tembok duduk santai menikmati udara sejuk buatan, kuteguk perlahan secangkir kopi hangat sambil memandangi layar kaca berisi para aktor yang sedang bersandiwara dalam naskah tatanan negara yang damai tentram dan sejahtera, didalam sandiwara itu tokoh yang diperankan tidak jelas mana yang antagonis dan mana yang protagonis, sebentar saling bermusuhan tak lama kemudian menjadi kawan, sesekali aku tengok notebook di pangkuanku berharap ada teman-teman yang mengomentari statusku di facebook.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun