Mohon tunggu...
Binti Isrofin
Binti Isrofin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Negeri Semarang, Mahasiswa Doctor Universitas Pendidikan Indonesia

supel dan suka tantangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kokohkan Eksistensi Marajut Asa Menjadi Konselor Sejati

4 Juni 2022   22:39 Diperbarui: 4 Juni 2022   22:46 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh Binti Isrofin*

Mahasiswa S3 Bimbingan dan Konseling UPI

Bimbingan dan konseling (BK) Indonesia sebagai sebuah profesi tengah memasuki usia yang tidak muda lagi, 47 tahun sejak disahkannya sebagai bagian terintegrasi dalam pendidikan pada tahun 1975. Sebagai sebuah profesi yang sudah matang tentunya keberadaan bimbingan dan konseling seharusya tidak diragukan lagi di sekolah. Ironinya berbagai miskonsepi masih saja melekat pada konselor misalnya sebagai penjaga gerbang sekolah, petugas tata tertib, BK hanya menangani anak yang bermasalah bahkan yang paling sering kita dengar adalah konselor sebagai polisi sekolah. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar, mengapa hal ini masih saja terjadi? Disini penulis mencoba menguarai benang kusut yang mencederai peran konselor di sekolah menjadi dua hal yaitu dari sisi internal dalam hal ini konselor sendiri dan dari sisi ekternal yaitu stakeholder (kepala sekolah, guru, maupun orang tua peserta didik).
            Pertama, factor internal yang menciderai peran konselor adalah inkompetensi dalam diri konselor misalnya tidak membuat progam yang didasarkan pada need assessment ke peserta didik dan lebih memilih untuk melakukan copypaste progam tahun lalu, masih rendahnya self efikasi yang dimiliki konselor sehingga kurang bisa mensosialisikan tupoksi kepada stakeholder. Hal ini dapat dilihat jika masih ada stakeholder yang kurang mengetahui peran BK,  apa saja progam yang direncanakan selama satu semester atau satu tahun. Terlebih lagi adanya mindset dalam diri konselor berada dalam zona nyaman sehingga membuat konselor kurang melakukan inovasi dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling secara optimal. Hal yang lebih ironi lagi adalah konselor tidak melaksanakan asas kerahasiaan, setiap permasalahan peserta didik senantiasa diceritakan kepada pihak yang tidak berkepentingan sehingga hal tersebut menyakiti peserta didik. Konselor enggan untuk upgrading skill kompetensi melalui pengembangan profesi berkelanjutan seperti training, seminar, lokakarya, webinar dan sejenisnya. Adapun yang ikut kegiatan tersebut hanya untuk mendapatkan sertifikat untuk digunakan kenaikan pangkat. Beberapa fenomena tersebut memang tidak bisa untuk digeneralisasi karena kadang hal ini kasuistik hanya saja itu benar adanya dan bukan rumor.

Kedua dari factor ekternal, misalnya saja tidak adanya jam khusus konselor  untuk masuk kelas memberikan layanan kepada peserta didik. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa guru BK bisa memberikan layanan diluar jam pelajaran, selain itu konselor bisa menggunakan jam kosong guru mata pelajaran (mapel). Satu sisi hal itu sah – sah saja asal kedua belah pihak tidak ada yang keberatan. Tetapi hal tersebut justru akan mengakibatkan keberadaan BK seolah - olah hanya sebagai pelengkap dalam system sekolah. Kita juga masih sering menjumpai sekolah yang sulit atau bahkan tidak mengijinkan guru BK untuk melakukan pengembangan diri misalnya di halang-halangi untuk melanjutkan studi, tidak diijinkan mengikuti kegiatan pelatihan kompetensi dengan alasan tidak ada anggaran sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang update. Di sekolah terkadang masih di jumpai guru BK tetapi bukan berasal dari S1 BK misalnya guru maple merangkap jadi guru BK. Idealnya perbandingan konselor dengan peserta didik adalah 1:150 tetapi kenyataan tidak demikian sehingga hal itu mengakibatkan beban kerja konselor semakin berat. Terlebih lagi saat ini beredar isu dimana nomenklatur konselor di hapus dari sebutan pendidik di RUU Sisdiknas

Di dalam RUU Sisdiknas tepatnya di pasal 125 menyebutkan bahwa yang dikatakan pendidik hanya guru, dosen dan instruktur. Hal ini tentu membuat resah profesi bimbingan dan konseling karena bisa jadi akan semakin mengaburkan eksistensi konselor. Penjuangan profesi (Baca ABKIN) agar keberadaan di akui pastinya dulu membutuhkan sebuah perjuangan panjang dan tentu menguras segala energi, materi dan fikiran sampai membuahkan hasil dengan disebutkannya konselor dalam UU Sisdiknas 2003. Lalu yang menjadi pertanyaannya apakah kita akan diam membiarkan saja nomenklatur “konselor” hilang dari RUU Sisdiknas? Jawaban tegasnya tentu “TIDAK”. Mari Bersama - sama mengawal perkembangan RUU Sisdiknas ini dan tentunya harapan besar kepada ABKIN yang senantiasa memperjuangkan eksistensi bisa membuahkan hasil.

Sebagai bagian dari keluar besar organisasi profesi, upaya personal yang bisa dilakukan oleh konselor agar tetap menunjukkan eksitensi adalah berani melakukan transformasi yang beroreintasi pada layanan berbasis bukti. Konselor sekolah harus memiliki berkomitmen untuk berkontribusi meningkatkan tingkat prestasi setiap siswa dengan berani melakukan akuntabilitas kepada stakeholder. Menurut Dahir & Stone (2003) akuntabilitas adalah pengumpulan data, menganalisis, dan menggunakan data penting secara sistematis untuk memahami pencapaian, strategi, dampak, dan mendokumentasikan layanan Bimbingan dan Konseling sekolah yang mendukung pencapain prestasi peserta didik. Poin kuncinya adalah konselor sekolah mulai membiasakan familiar dengan data mulai dari perencanaan, pelaksanaan bahkan sampai evaluasi konselor harus memegang data. Mendemonstrasikan akuntabilitas memungkinkan konselor sekolah untuk menunjukkan kepada stakeholder baik didalam maupun diluar sekolah akan kontribusi yang telah dilakukan sebagai bagian terintegrasi dengan progam sekolah. Akuntabilitas sebagai kunci bagi konselor untuk mengklarifikasi peran profesional konselor. Menghitung jumlah layanan yang telah diberikan sebagai ukuran akuntabilitas tidak lagi dapat diterima untuk program konseling sekolah abad ke-21.

Pertanyaan reflektif patut kita renungkan Bersama? Sudahkah layanan yang kita berikan berdampak positif terhadap pencapaian kesuksesan siswa? Sudahkah kita menggunakan data hasil need assesmen dengan tepat? Bagaimana kita bisa menyakinkan kepada stakeholder bahwa kita juga memiliki kontribusi terhadap pencapaian visi misi sekolah? Apabila kita bisa memberikan jawaban dengan mudah maka pastikan bahwa eksistensi kita telah memberikan dampak positif, tetapi sebaliknya jika kita sendiri sulit untuk menjawab maka ada atau tidaknya kita sama saja tidak bisa memberikan kontribusi ke sekolah, sehingga wajar jika hal ini berdampak terhadap peran kita dan memberikan stigma negative dari stakeholder, misalnya “selama ini apa saja yang telah dikerjakan oleh konselor? Enak ya jadi konselor tidak ada kerjaan, makan gaji buta dong?

Salah satu model akuntabilitas yang bisa lakukan oleh konselor adalah model M.E.A.S.U.R.E  (Dahir & Stone, 2003, 2011) adalah model akuntabilitas konselor sekolah untuk mengidentifikasi elemen data penting yang berdampak positif  dan merupakan barometer keberhasilan siswa. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut, Misi: selaras dengan misi sekolah dengan tujuan memperbaiki sekolah, memperluas kesempatan pendidikan dan berdampak positif terhadap prestasi siswa. Element : mengidentifikasi elemen data penting(misalnya grade, nilai tes, kehadiran, tingkat kelulusan sekolah, disiplin, data pendaftaran ke universitas, data rujukan dll). Analyze : mengidentifikasi sumber data yang ingin di analisis. Stakeholder-Unite : Bersama dengan stakeholder untuk menentukan strategi perbaikan prestasi siswa. Result : memaparkan hasil, apakah ada perbedaan dng data awal? Apakah tujuan tercapai. Educate: memberikan edukasi akan hasil yang telah di capai kepada stakeholder.

Ibarat telur berada di ujung tombak, begitulah nasib konselor jika terus menunjukkan kinerja yang kurang baik, saat ini sudah baik namun masih harus terus ditingkatkan terutama tantangan untuk akuntabilitas harus terjawab. Tampaknya berat, tetapi hal itu relative semua kembali kepada mindet kita, mengutip kata Rektor UPI Alm. Prof Furqon “tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, semua bisa kita lakukan” jadi mari Bersama- sama memperkuat eksitensi merajut Asa menjadi konselor sejati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun