Mohon tunggu...
Bintari Zulfa Adhinta
Bintari Zulfa Adhinta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Konten favorit adalah hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU KUHP sebagai Kado dari Pemerintah untuk Masyarakat Indonesia

12 Desember 2022   12:20 Diperbarui: 12 Desember 2022   13:54 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Umumnya, kado tahun baru berupa barang atau kenang-kenangan yang dapat memberi kesan mendalam bagi penerimanya. Kado ini biasanya diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang dianggapnya spesial.   Tentu saja, masyarakat Indonesia adalah orang spesial bagi pemerintah Indonesia. Hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) repot-repot menyusun RUU KUHP untuk menyiapkan kejutan bagi masyarakat Indonesia. 

Namun sebenarnya itu memanglah kewajiban bagi pemerintah untuk menyusun undang-undang yang baru agar Indonesia lepas dari bayang-bayang kolonial Belanda. Kewajiban itu harusnya sudah dijalankan dan diselesaikan sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi nyatanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia sampai sekarang masih menggunakan Wetboek Van Strafrecht warisan Belanda. 

Dalam hal ini, ada beberapa pasal dalam RUU KUHP yang krusial dan mudah disalah tafsirkan terutama mengenai penghinaan terhadap Presiden seperti pasal di bawah ini : 

Pasal 217 disebutkan "Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun".

Pasal 218 menyatakan "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal 219 yang berbunyi "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal-pasal itu sangat mudah disalah tafsirkan dan disalah gunakan oleh para penguasa untuk menjatuhkan orang-orang yang sebenarnya memberi kritik bukan sebagai bentuk penghinaan. Dengan lahirnya pasal-pasal penghinaan terhadap presiden ini, pemerintah seperti menghidupkan kembali pasal yang lima belas tahun silam sudah dihapuskan oleh MK karena dinilai pasal-pasal dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran, dengan lisan, tulisan, dan ekspresi, dan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Dalam kenyataannya sudah banyak kasus-kasus terkait penghinaan terhadap pemerintah yang sudah dipidanakan. Beberapa orang di antaranya Sri Bintang Pamungkas yang terlibat demo anti-Soeharto di Jerman, April 1995 dan divonis 10 bulan penjara. 

Nanang dan Mudzakir yang merupakan aktivis mahasiswa dihukum satu tahun penjara karena didakwa menghina Presiden yaitu menginjak foto Megawati dalam sebuah unjuk rasa di depan Istana Merdeka, pada tahun 2003. I Wayan Suardana (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) dihukum 6 bulan penjara karena dianggap menghina Presiden Yudhoyono dalam sebuah unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM, pada tahun 2005. 

Selain itu YLBHI beberapa kali mendampingi orang-orang yang terjerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), karena mengkritik kebijakan pemerintah, "Karena kasus-kasus sampai tahun 2021 ini, beberapa YLBHI menangani kasus penghinaan kepada penguasa, yang terkait kebijakan, seperti Reforma Agraria, Omnibus Law Cipta Kerja, itu orangnya ditahan juga, dipenjara juga," ungkapnya. 

Jika sudah begini, masyarakat Indonesia tidak bisa suka rela menerima kado itu. Kontroversi pasal-pasal yang masih mudah disalah tafsirkan membuat masyarakat ragu menerimanya. Konsolidasi, kritik, dan demonstrasi dari berbagai pihak mengenai isi dari RUU KUHP tersebut haruslah menjadi pertimbangan nyata yang harus digunakan pemerintah dalam menyusun dan memperbaiki kembali RUU KUHP sesuai dengan sosiologis masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun