Mohon tunggu...
Bintang Sutedja
Bintang Sutedja Mohon Tunggu... -

hanya seorang mantan advertising slave yang akhirnya memilih untuk lebih bahagia dengan menjadi domestic goddess di pedalaman canada sambil berbagi hasil kontemplasinya di sini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ari Kamu Teh Come From Mana?

14 Maret 2010   06:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:26 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai anak SD Jakarta yang pindah ke Medan, awalnya saya suka merasa risih dengan gaya teman-teman saya bicara. Pasti ada kata “aku-kau” dan “lah” di setiap kalimat mereka. Belum lagi mereka bicara dengan nada tinggi, kesannya marah padahal sesungguhnya biasa-biasa saja. Di Jakarta, zaman saya SD, kami tidak bergue-lu, tapi bersaya-kamu. Kebiasaan itu terbawa ke Medan. Alhasil, setiap saya bersaya-kamu, teman-teman saya yang anak-anak Medan itu memandang saya aneh. Saat masih berusaha keras beraku-kau ala Medan, saya harus ganti model adaptasi lagi. Kali ini kami pindah ke Bandung. Meskipun nama saya berbau Bali karena ayah saya dan ibu saya wargi Bandung, bahasa saya di rumah adalah bahasa Indonesia. Maka tak aneh kalau pusinglah saya belajar bahasa Sunda yang dijadikan pelajaran wajib di sekolah itu. Kalau diingat-ingat, itulah stres pertama saya sebagai anak SD. Dari “aku-kau” dan “lah” saya harus kembali lagi menjadi “saya-kamu” dan mengganti “lah” dengan “teh”. Untung, akhirnya gaya bicara saya bisa seperti ini: “Ninina kamu teh siapa?” atau “Ari ini teh teh siapa?”. Tamat SD, kami pindah lagi ke Jakarta. Di masa ini, teman-teman saya bergue-elu. Karena kagok, saya jadi lebih banyak menyimak. Tiap saya bicara, mereka tersenyum simpul. Mereka bilang, “Iih.. lucunya logat lo! Teh itu jangan dibawa-bawa, diminum aja!”. Saya berusaha keras tidak membawa-bawa “teh” sebagai sisipan kata-kata saya. Walaupun saya sangat menikmati berbahasa ala anak Bandung, tapi anak-anak Jakarta manalah mengerti. Memasuki masa kerja, senior-senior saya kebanyakan lulusan ITB. Dengan suka cita, mengalirlah lagi kenyamanan saya berbahasa ala anak Bandung dengan mereka. Sering juga bercampur dengan bahasa anak Jakarta. Seperti ini: “Gelo... keren banget!” atau “Ti mana wae? Makan siang meuni gak ngajak-ngajak!”. Lalu saya mendapat bos yang berbahasa British English sementara acara TV dan bacaan kami berbasis American English. Alhasil, script yang saya tulis sering dikoreksi berdasarkan kaidah Merriam-Webster. Tuhan memang Maha Jenius, Alhamdulillah otak ini bisa beradaptasi. Yang ribet sesungguhnya ketika bos saya yang dari etnis Cina warga negara Malaysia mengajak diskusi dalam bahasa Melayu bercampur bahasa Indonesia dengan logat bahasa ibunya. Bukannya congkak bukannya sombong, akhirnya saya jawab saja dalam bahasa Inggris yang kadang ala British English kadang ala American English. Daripada pusing? Diapun akhirnya berbicara dengan bahasa Inggris. Memang bahasa Inggris itu lingua franca, ya! Tapi pernah gara-gara bahasa Inggris saya diomeli supir taksi di Kuala Lumpur. Si bapak menegur saya dalam bahasa Inggris, ya saya jawab dong dengan bahasa yang sama. Percakapan berikutnya berlangsung seru dalam bahasa Inggris. Menjelang tujuan, si bapak mengecek saya lewat kaca spionnya. Dia bertanya dari mana asal saya. Saya jawab, Jakarta. Dia langsung bilang, “Kenapa tak cakap Melayu dari mula? Sesama Melayu cakaplah Melayu, tak perlu English!”. Yo oloh... Pak, punten pisan, manalah saya mengerti cakap Melayu situ! [caption id="attachment_93233" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi diunduh dari Google"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun