Mohon tunggu...
Bintang Sutedja
Bintang Sutedja Mohon Tunggu... -

hanya seorang mantan advertising slave yang akhirnya memilih untuk lebih bahagia dengan menjadi domestic goddess di pedalaman canada sambil berbagi hasil kontemplasinya di sini.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kukirimi Dikau E-mail

15 Januari 2010   06:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_54334" align="aligncenter" width="286" caption="Ilustrasi diunduh dari Google"][/caption] Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat curhat lewat e-mail. Berbalas e-mail pun terjadi. Di awal tulisan, dia minta maaf kalau isi e-mailnya kali ini terkesan menye-menye dan mungkin membosankan saya. Sahabat saya bilang sesungguhnya dia tak tahan lagi dengan situasi yang dihadapinya, dia butuh teman curhat. Bukannya mau mengobral masalah antara dirinya dan sang suami. Namun masalahnya yang kesannya remeh-temeh ternyata sudah membukit, begitu tulisnya. Sesungguhnya dia ingin marah besar, uneg-uneg-nya, mengomel, merepet atau apalah namanya pada sang suami. Karena takut mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan atau kasar, dia pun memilih diam seribu bahasa. Kalau di sini istilahnya, memberikan silent treatment atau cold shoulder pada sang suami. Akibat memendam marah, sahabat saya ini bisa menderitamigren hingga 36 jam lamanya. Tylenol atau obat sakit kepala dosis tinggi pun tak mempan lagi. Lewat e-mail, sayapun bertanya, "Terus suami kamu ngeh gak kenapa di-silent treatment gitu? Kenapa kamu jutek?". Dia jawab, "Enggak tuh. Dia lempeng aja! Yang ada malah jauh-jauh, asyik-asyik aja di depan komputer." Saya tanya lagi, "Jadi udah pusing 3 hari 3 malam, masalah tetap ngambang dong?" Teman saya jawab lagi, "Iya. Aku berusaha ngelupain, tapi besok-besoknya ada lagi masalah cemen tapi  ngeselin. Akibatnya, kalau aku kuuuueeeseel gitu, aku bebersih rumah sebersih-bersihnya. Suamiku ya tetap aja lempeng tuh lihat rumah kinclong gitu.". Haduuuh... kasihan kamu, kata saya. Saya tulis juga betapa saya jadi tersenyum simpul sendiri membaca e-mailnya. Saya tambahkan, pasti situasinya itu bisa dijadikan adegan sinetron: istri manyun yang sibuk bersih-bersih dan suami asyik main komputer dengan background rumah yang kinclong. Lalu saya tanya, "Kepikiran gak kalau suami kamu itu sesungguhnya mungkin bingung harus bagaimana atau berpikir 'oh istriku lagi rajin bebersih rumah'? Atau dia malah nunggu kamu ngomong masalahnya apa? Atau mungkin dia ngira kalau lagi malas ngomong, ya wes?". Dalam suatu perkawinan, hubungan suami istri pasti ada saja korsletnya. Tak mungkinlah selalu mulus bak jalan tol karena suami istri memiliki kepribadian yang berbeda. Seperti kata John Gray di bukunya yang terkenal itu, bahasa yang dipakai wanita tidaklah sama dengan pria. Itulah salah satu sumber miskomunikasi yang berujung pada timbulnya masalah. Setiap masalah haruslah dibicarakan dari awal sebelum menjadi rumit. Namun kalau di antara suami istri belum terbangun kebiasaan curhat bebas, gimana dong? Atau salah seorang takut berkata kasar karena tak mampu menahan emosinya seperti sahabat saya itu? Singkat cerita, saya sarankan sahabat saya untuk menuangkan gemuruh di dadanya itu lewat tulisan. Saya berpendapat, saat kita menulis, otak kita bekerja seimbang dengan perasaan kita sehingga kalimat yang ditulis pun bisa tertata. Kalau dulu kita bisa menulis surat penuh kata cinta pada pasangan kita, mengapa kita tidak bisa menuliskan kekesalan kita dengan cara yang baik dan sopan pula? Kalau kita takut tak dapat menahan emosi dengan berkata langsung, menuangkan emosi secara tulisan pastilah bisa membuat emosi kita terjaga. Dengan menulis, salah kata bisa diralat dan kata-kata kasar tak perlu hadir. Dengan menulis, gemuruh di dada bisa diredakan.  Selesai kita menulis, kekesalan di hati bisa dibaca lagi dan ditimbang-timbang masuk akal atau tidaknya. Keesokan harinya, sahabat saya berkabar lagi lewat e-mail. Dia tuliskan kalau tadi malam dia sudah menulis panjang lebar akan kekesalannya pada sang suami lewat e-mail. Ya, lewat e-mail. Sang suami sudah membacanya lalu memeluknya. Tapi tidak ada terucap maaf dari sang suami. "... tapi yah sudahlah, yang penting kami sudah baikan dan ngomong-ngomong lagi!" tulis sahabat saya itu. Saya pun berkomentar, "One step at a time."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun