Mohon tunggu...
Bintang Rizki
Bintang Rizki Mohon Tunggu... Ilmuwan - ASN Provinsi NTB

Traveler Blogger www.facebook.com/bynthajja @bintangrizki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat untuk Bupati dan Wakil Bupati Terpilih

30 Maret 2016   11:56 Diperbarui: 22 Agustus 2016   08:38 2527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : lumbungpadi.blogspot.com

             Assalamualaikum Wr.Wb, yang terhormat bapak/ibu bupati dan wakil bupati terpilih se-Indonesia. Mewakili segenap hati rakyat Indonesia, kami mengajukan surat ini untuk mencurahkan apa yang belum sempat kami utarakan. Isi hati yang selama ini terpendam. Mohon bapak/ibu mau mendengar isi hati kami. 

Sesaat ketika kami melaksanakan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) beberapa bulan lalu secara serentak bermodalkan tinta, cinta dan harapan. Tinta sebagai prasyarat kami memilih dengan segenap cinta yang tertuang dalam hati nurani berharap bapak/ibu dapat terpilih dan memimpin kami nantinya, dan harapan, harapan, harapan yang tak lain adalah angan kami agar suatu saat daerah kami dapat membuat perubahan dan menghilangkan jejak-jejak kemiskinan yang masih mendarah daging dalam jiwa raga kami. Kami memilih bapak/ibu dalam perhelatan pesta demokrasi yang menurut kami adalah cara kami menyatakan siapa yang berhak duduk sebagai pemimpin kami. Ya, kami membutuhkan pemimpin yang tak hanya sekedar memajang fotonya dalam baliho raksasa, tetapi memimpin kami dengan memperhatikan segala apa yang kami butuhkan. Pemimpin yang perhatian lebih tepatnya, pemimpin yang memperhatikan pendidikan anak-anak kami, pemimpin yang memperhatikan infrastruktur di daerah-daerah kami yang sangat sulit dijangkau, pemimpin yang tak hanya sekedar menjadi penjaga malam saja tetapi pemimpin yang peduli, memperhatikan ketika kami membutuhkan pengobatan tanpa biaya, memperhatikan kami ketika air sungai sudah mulai tercemar limbah-limbah industri dan pemimpin yang mampu mengangkat budaya daerah kami dengan memberi regulasi kepada investor yang dapat menggeser budaya itu sendiri. Kami rindu bapak/ibu sebagai pemimpin kami seperti sosok Soekarno, berani selagi benar dan tak membenarkan yang tak benar, atau seperti Hatta yang hidup apa adanya dan tak mengharapkan serpihan rupiah.

   Hidup di zaman ini kami tahu begitu banyak tantangan yang bapak/ibu akan hadapi. Tetapi tolong, jangan jadikan modernisasi sebagai ajang untuk mengeruk rupiah kami. Kami tak memiliki apa-apa kecuali modal kepercayaan yang kami berikan. Tolong kami manfaatkan rupiah yang kami miliki untuk menjadikan anak-anak kami menjadi anak-anak yang pintar seperti B.J Habibie, Tolong kami untuk menyelesaikan pendidikan kami agar kami mampu membangun bumi pertiwi ini. Dan bagi kami yang terlanjur tidak bersekolah, tolong berdayakan kami dan berikan kami arahan agar kami tak senantiasa menjadi buruh bagi orang lain.

   Bapak/ibu yang kami sayangi, lihatlah sekarang awan tak selalu bersahabat dan panasnya matahari kian terik bersinar membuat kulit kami gosong dan menghitam. Kami mohon jangan biarkan hutan-hutan kami ditebang untuk rupiah yang tak seberapa dibandingkan sakit yang akan kami rasakan. Kami hidup di sekitaran hutan yang terkadang kami was-was ketika hujan menghampiri, kami takut longsor, kami takut rumah dan harta kami menghilang seketika. Kami takut anak-anak kami tak bisa makan seusai itu. Ataupun kami yang tergusur akibat adanya pertambangan, dimana bapak/ibu tidak mengetahui betapa kami butuh oksigen dan supplay makanan tambahan dari hutan. Kami butuh pohon-pohon raksasa tempat kami mengambil madu, ataupun tempat jamur bermunculan satu per satu. Kami butuh air bersih dan kami ingin memberdayakan hutan untuk ternak-ternak kami.

      Lihatlah bapak/ibu yang kami banggakan, kami tak berdaya di desa dan kami pindah ke kota. Tetapi entah mengapa kota begitu keras bagi kami, kami kalah dan tiap harinya kami menghabiskan malam di tepian rel-rel kereta api, atau di teras-teras pertokoan bermodalkan sehelai kain untuk menyelimuti anak-anak kami dan beralaskan kardus-kardus bekas yang sempat kami ambil di belakang mall-mall mewah tadi siang. Kami kalah dan rapuh, tak ada yang bisa kami lakukan selain memungut sisa-sisa makanan dari restoran seberang jalan, sebagian kami meminta belas kasih dan sebagian kami bekerja menjadi buruh kasar. Tetapi ada juga diantara kami yang sukses bekerja di kantor bertingkat, dari cleaning service hingga menjadi direkturnya. Kami bangga meski hanya sekedar meletakkan sandal di terasnya, namun apakah kami yang kalah akan selalu seperti ini? Kami bingung pada siapa kami mengadu dan kepada siapa kami meminta pertolongan. Sebagian kami bukan tidak memiliki kompetensi tetapi kompetisi yang sengit membuat kami hanya mampu menggigit jari-jari kami yang belum sempat dicuci seusai memungut plastik-plastik bekas di sepanjang taman kota dan tempat wisata lainnya.

     Ini mungkin tak seberapa dari curahan hati kami, kami memohon kepada bapak/ibu untuk menjadi pemimpin kami dan mengabulkan janji-janji yang bapak/ibu telah haturkan kepada kami kala itu di bawah teriknya matahari dengan goyangan pedangdut yang membuat kami seakan memiliki motivasi untuk membuat daerah kami lebih baik lagi. Realisasi bapak/ibu sangat kami harapkan, semoga bapak/ibu mau berbelas kasih membaca surat ini.

Sekian.

Oleh: Bintang Rizki Sakinah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun