Oleh: Bintang Rizki Sakinah~
Krisis mental kepemimpinan Republik ini, khususnya di aras lokal, tentunya menjadi pekerjaan rumah yang lumayan berat. Dimana sekolah formal tidak mampu memaksimalkan peran memproduksi kader pemimpin yang memiliki spirit revolusi. Hal ini perlu ditanamkan di dalam pendidikan, supaya ketika terjun ke lapangan mereka tahu diri dan tahu tempat. Tanpa begitu, maka ilmu kepemimpinan yang masih mentah (berbentuk teori) akan tersendat, karena salah satu definisi kepemimpinan adalah “kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga (supaya) perilaku orang lain itu tetap atau berubah”.[1] Dari definisi tersebut, terdapat tiga dimensi kepemimpinan, yaitu kemampuan seseorang, cara mempengaruhi dan berubahnya tidaknya perilaku orang lain yang dimaksud. Ketiga dimensi tersebut tentunya bisa terlaksana oleh seorang pemimpin yang paham akan sikondom (situasi-kondisi-domestik).
Ketidakmampuan pemimpin dalam menguasai sikondom membuat pemimpin di era otonomi daerah banyak yang dinilai gagal. Kegagalan ini disebabkan oleh ketidakmampuan partai politik selaku rahim kepala daerah, meskipun ada beberapa melalui jalur independen, tidak bisa mencari dan menemukan kader yang paham sikondom. Hal inilah yang menurut Muhadam Labolo sebagai kesempatan bagi basis pendidikan pamong praja untuk bisa mengambil bagian[2].
Wajar dan seharusnya pendidikan pamong praja menjadi solusi dari krisis kepemimpinan yang melanda daerah dewasa ini terutama dalam merevolusi mental, karena lahirnya pendidikan kepamongprajaan[3] di Indonesia dimaksud sebagai wadah untuk mencetak kader pemimpin pemerintah daerah. Terlebih lagi pendidikan IPDN menganut sistem pendidikan tri tunggal terpusat (Pengajaran-Pelatihan-Pengasuhan). Tiga aspek inilah yang diharapkan membentuk kader pemimpin yang memiliki karakter dalam merevolusi mental. Tetapi dalam perjalanannya, dengan aturan yang semakin tidak pro terhadap kader (alumni) pamong praja untuk menduduki jabatan strategis di dalam pemerintahan membuat pemerintah daerah menjadi menu empuk bagi semua elemen, sehingga roda pemerintahan daerah menjadi tidak jelas. Lebih bersifat like dislike, bukan berdasarkan pada kapasitas yang dimiliki. Inilah salah satu latar belakang yang menyebabkan permasalahan yang ada di daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Ketidakjelasan aturan itulah yang perlu dicarikan solusi oleh pemerintahan baru melalui revolusi mentalnya, supaya pendidikan kepamongprajaan yang memiliki sejarah panjang dan memiliki tujuan yang mulia menjadi obat manjur bagi daerah di era otonomi dewasa ini. Solusinya tentunya bisa dengan adanya batasan pengertian yang jelas mengenai siapa yang dimaksud sebagai pamongpraja (UU 23/2014[4]). Jangan sampai, pamong praja masih diartikan, secara umum, sebagai pegawai negeri yang mengurus pemerintahan negara[5], tetapi harus lebih ditegaskan lagi bahwa pamong praja adalah mereka yang pernah sekolah di pendidikan kepamongprajaan.
Bukan maksud untuk mendiskriminasikan pegawai negeri lainnya, tetapi (alumni) sekolah pamong praja lebih memiliki kesiapan untuk menjadi nahkoda di pemerintahan daerah. Ini disebabkan oleh kesiapan mental yang telah dibentuk di dalam sekolah kepamongprajaan melalui sistem yang khusus, dinilai akan lebih bisa menjalankan pemerintahan, secara filosofik, yang memiliki keistimewaan. Keistimewaan pemerintah menurut Ndraha (1999) terletak pada penggunaan kekuasaan yang secara otoritatif dapat digunakan pada semua cabang, apakah selaku eksekutor, legislator maupun yudikator[6].
Keistimewaan yang melekat pada pemerintahan itulah, menurut Aristoteles, yang menjadikan pemerintah tidak dapat dipegang oleh sembarangan orang[7]. Dengan begitu, maka pemerintah harus dipegang oleh bukan sembarangan orang. Arti kata bukan sembarang orang itulah kemudian lebih melekatkan pada sekolah kepamongprajaan sebagai sekolah khusus mencetak kader pemerintahan daerah, sehingga harus dijadikan garda terdepan dalam menjalankan roda pemerintahan daerah. Kalau bisa menjadi rahim yang utama dan pertama bagi pemimpin pemerintahan daerah.
Untuk itulah, maka harapan kita kepada pemerintahan baru, Jokowi-JK, untuk bisa memberikan kesempatan lebih bagi alumni sekolah pamong praja sebagai pemegang jabatan strategis di daerah supaya lebih mampu menerjemahkan urusan-urusan pemerintahan. Apalagi di dalam aturan terbaru tentang pemerintahan daerah ada yang dikenal sebagai urusan pemerintahan umum. Kementerian Dalam Negeri selaku pemilik mandat pengelola pendidikan kepamongprajaan juga harus lebih peka lagi dalam membuat aturan yang strategis, sehingga kader pemimpin yang berasal dari rahim IPDN bisa mejadi solusi bagi pemerintahan daerah, bukan malah menjadi beban bagi daerah.
Namun disisi lain juga, IPDN sebagai sekolah pamong praja tidak boleh hanya menunggu kebaikan hati presiden maupun menteri, tetapi harus mulai berbenah diri, sehingga nilai kepemimpinan Hasta Brata[8] yang dikenal di IPDN bisa dipadukan dengan kepemilikan mental pembaharuan. Apabila dua hal ini bisa berakumulasi dalam diri pamong praja, maka akan menjadi sebuah kekuatan yang super paripurna dalam membawa angin segar perubahan dalam pemerintahan daerah. Dengan demikian, maka tujuan otonomi daerah maupun tujuan berbangsa dan bernegara akan bisa terwujud.
[1] Taliziduhu Ndraha, “Kybernologi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kepamongprajaan”, Sirao Credetia Center, hal. 97-98.
[2] Muhadam Labolo, “Memperkuat Pemerintahan, Mencegah Negara Gagal”, Kubah Ilmu, hal. 276.
[3] Pendidikan Kepamongprajaan atau sekolah kader Pemerintah Departemen Dalam Negeri memiliki sejarah panjang, dimulai dari sekolah pendidikan Pamong Praja yang bernama Opleiding School Voor Inlandshe Ambtenaren ( OSVIA ) dan Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren ( MOSVIA ) pada zaman kolonial Belanda (1920), Kursus Dinas C (KDC) (1952), APDN (1956), IIP, STPDN hingga IPDN.Lebih lengkapnya lihat di www.ipdn.ac.id .
[4] Pengertian Pamong Praja di UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih belum jelas. Dimana pamong praja masih disebut secara umum.
[5] Muhadam Labolo, “Kekosongan Etikalitas Pemerintahan”, Wadipress, hal. 262.
[6] Muhadam Labolo, Op.cit, hal. 297
[7] Muhadam Labolo, Op.cit, hal. 298
[8] Kepemimpinan Hasta Brata memiliki arti bahwa pemimpin harus memiliki delapan sikap dan perilaku, yaitu Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta, Samodra, Dahana dan Pratala. Lebih lengkapnya lihat di buku “Konsep Ideal Kepemimpinan Nasional Nusantara Menjawab Tantangan Global”, Adi Sujatno dan Asep Suhendar, Lemhanas RI, hal.62-63.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H