Mohon tunggu...
Bintang Kesiangan
Bintang Kesiangan Mohon Tunggu... -

Aku di anggap pemimpi yang kesiangan \r\nsiang . . siang . . \r\ndi siang bolong . . .

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Itsar Nggak Boleh Nyasar (Sebuah Cerpen Fiqih)

10 Juli 2011   19:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13103214301716666913

Sebagai santri lebih tepatnya tholibul 'ilmi syari'ah ingin sekali   rasanya mengamalkan ilmu yg kita dapat Aku teringat pengajian di desaku setiap ba'da asar. Seorang kyai    sepuh dng jenggot panjang putih mewanti-wanti agar          mengamalkan ilmu yg sudah kita ketahui. "imam hanafi iku yen durung ngamal ilmu kang den pelajari sak  niki gak bakal ngalih". Suaranya berat dng variasi batuk sesaat. Pengajian berjalan khidmat jama'ah bermandikan rahmat sang  panutan umat melanjutkan apa yg baru saja ia mulai. "kaduhe' wong sing mboten amal padahal wes ngarti iku koyo wit2an kang mboten mbuah". Tanpa batuk suaranya nampak lebih jelas dng mata awas penuh perhatian "yen ora berbuah bakale di tebang lan di dadeke' kayu bakar". *** Pagi yg cerah, burung-burung selalu terbang gembira luar biasa seakan merayakan sesuatu mulutnya tak henti2 mendendangkan lagu. Awan berarak tak ada yg hitam semuanya bergairah menyambut hari yg mana di juluki "sayyidul ayyam" Aku bersemangat tertantang siap menghadang rahmat yg ada tersimpan di setiap detik hari jum'at. Aku berangkat menuju Ridho Allah menagih pahala meraih Qurban unta yg di janjikan. Kucuran do'a mengalir deras sebelum kaki ini terangkat masuk rumah sang maha pemberi nikmat. Shaff bagian depan terlihat masih kosong, belum banyak jama'ah yg datang aku termasuk awail. "Alhamdulillah". Gumamku bersyukur. Aku melangkah kedepan membentangkan sajadah bututku yg tak pernah mengeluh yg tak pernah membantah dan slalu sabar menanti kepala sombongku menciumnya. Khusyuku menghadap yg maha segala-galanya "Allahu Akbar". Setelah selesai membaca suratan, aku melihat jam dinding masih setengah jam lg khatib naik mimbar kumerogoh saku depanku mengeluarkan Alfiyah saku memuraja'ah hafalan bait2 syair nahwu karya ibnu malik. Jama'ah mulai membludak ketika jarum jam menunjukan angka dua belas. tiba-tiba pengurus mendatangiku mendekat lalu membisikkan ketelingaku. "ma'af mas, antum bisa munduran sedikit" "shoff depan yg antum tempati ini untk wakil bupati" aku bergeming "siapa?" tanyaku menantang pengurus kesal sedang tamu agung (menurut mrka) sudah melewati tiang pertama masjid, dan aku tak perlu mundur kebelakang untk menyerahkan fadilah shoff awal. Apa mrka lupa Qoidah fiqih itsar fi Qurbi makruh wa fi goiruha mahbub. Mendahulukan orng lain dlm hal taqorub itu di larang sdngkan dlm hal lainnya mrpkan sesuatu yg mustahab. Atas dasar itulah aku bertahan krn ku yakin cintaku pd-Mu, ku yakin akan kebenaran-Mu. aku bertahan pd pendirianku krn ini sbgan dr pengamalan ilmu. *** Sebuah corong suara bergema memberi tahu nama Aris untk masuk "maktab idari" ada bnyk santri yg memakai nama aris di pesantren ini, Aris fadilah, Aris muhammad, Aris siswanto di antaranya. tp melihat yg memanggil maktab idari aku yakin akulah yg di maksud. "Assalamualaikum". Salamku, sesaat kemudian terdengar jawaban "Wa'alaikumsalam, masuk". Perintahnya aku melangkah masuk kamar depan kosong. ada sekatan spt semacam papan tulis berkaki di punggungnya tertempel atribut kepengurusan. di lantainya terhampar karpet hijau bagai lapangan golf dng bngku2 kecil di atasnya "duduk" karpet hijau lapangan golf terasa dingin sedingin wajah-wajah pengurus yg duduk berdampingan menghadapku "kamu yg bernama aris nikmatullah?". Tanya pengurus yg duduk di tengah berambut panjang sampai kebahu dng peci hitam yg nyangkol di kepalanya "udah bang djarud jng di permasalahkan" ucap orng yg di sebelah kanannya ke bang djaruddin sulthon ketua keamanan pesantren yg di takuti seluruh santri. "ini menyangkut kehormatan, menyangkut nama baik pesantren di mata donatur-donatur kita mana bisa aku diam". Sanggahnya sambil terus mengawasi gerak-gerikku "kamu tahu untk apa kamu di panggil" "saya tdk tahu pak" jawabku polos, siasat biar lolos "kamu melanggar peraturan pesantren!" "peraturan yg mana pak?" "kamu buta yah . . Ada spanduk tertulis selamat datang wakil bupati bpk DR. Luthfi Hakim". "beliau sehabis jum'atan ada pertemuan dng Romo kyai" "gara-gara tempatnya kamu ambil . . Para pengurus di sini serasa kena tampar malu bukan main". "nggak seharusnya kamu duduk di shof depan!". Matanya seakan mau keluar suaranya melengking tinggi spt sedang ribut dng istrinya krn ketahuan selingkuh. di tembok sebelah kanan terpajang gambar pejabat gambar itu seakan ikut nimbrung memplototiku. ku putar pandanganku mencari pembelaan mataku berhenti pd poster sembilan wali mudah-mudahan beliau-beliau membelaku . . Nyata sembilan wali tersenyum melihatku, adem rasanya "letak salahku di mana?" "bukankah siapapun yang masuk rumahnya Allah statusnya sama?" "tak peduli itu pejabat penjual nasi polisi penjaga warung kopi atau santri, kita semua sama di hadapan Allah!" "lancang berani sekali . . Apa kamu tahu lg bicara sama siapa sekarang hah?!" muka bang djarud merah, darahnya seakan mendidih. Huh jawaban spt itu di hadapan bang djarud sama dng cari mati. "keluar kamu . . Besok tengah hari kamu jalani sanksimu". "aku siap pak apapun hukumannya . . Aku terima" "tapi jangan suruh aku mengakui kesalahan yg memang tdk aku lakukan" tandasku. *** di hadapan ribuan santriwan santri putri aku berdiri dng rambut di cukur ngawur, kepalaku tak berbentuk kiri panjang kanan botak belakang spt di makan tikus-tikus got. Berdiri tengah hari . . Matahari pas di ubun-ubun di leherku terkalung kertas karton bertuliskan "SANTRI KURANG AJAR! JANGAN DI TIRU". Aku tak bersedih hati atau marah aku hanya merasa beruntung krn panasnya matahari tak sebanding panasnya api akherat. Lihatlah . . kyai sepuh . . walau sdkt aku telah mengamalkan ilmu. *** Pesantren khayalan 11 july

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun