Mohon tunggu...
Bintang Fajar Timur
Bintang Fajar Timur Mohon Tunggu... -

Bintang yang ingin selalu bersinar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ini Tentang Ayah

3 November 2011   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah

“Arman, Dimana kamu?”, ”Ini Ayah bawakan oleh-oleh”, teriak Ayah sambil membawa tas plastik berwarna hitam. “Hore,hore, Ayah pulang. Aku dibawakan oleh-oleh”, seru adikku sambil berlari hendak memeluk Ayah. Kami sekeluarga tinggal di rumah berukuran 4x10m. Berdindingkan bilik bambu, beralaskan tanah, beratapakan genteng yang sudah tua. Apabila musim hujan tiba kami harus bersabar karena udara dingin akan menembus celah-celah bilik bambu dan air menetes dari atas dikarenakan bocor. Kami harus mencari wadah seperti gayung, panci, mangkuk, dan lain-lain untuk menampung air yang bocor agar rumah kami tidak becek. Kamipun berselimutkan tebal jika malam hari tiba, agar kami tidak kedinginan. Kami merasakan semua itu dengan sabar. Hidup apalah adanya tidak usah neko-neko. Ayah dan ibu mengajarkan kepada kami agar selalu bersyukur kepada Tuhan YME, jangan berputus asa dan terus berusaha. Aku sungguh bahagia mempunyai keluarga seperti ini.

Hari ini ayahku pulang dari perantuannya di luar jawa, tepatnya di Sulawesi Selatan. Kami semua senang melihat ayah pulang ke rumah karena sudah dua tahun ayah tidak pulang. Ayah bekerja sebagai kuli buah di sebuah usaha dagang yang majikannya masih ada hubungan famili dengan keluarga kami. Namanya, Pak Qomar. Pada waktu itu badai krisis moneter melanda negara kami. Harga bahan-bahan pokok melambung tinggi dan sektor ekonomipun lumpuh. Sehingga imbasnya dapat dirasakan semua lapisan masyarakat terutama masyrakat lapisan bawah seperti kami ini. Pak Qomar kasihan melihat keadaan keluarga kami pada waktu itu. Dia melihat hasil bercocok tanam ayah tidak akan mencukupi kebutuhan keluarga kami sehari-hari. Akhirnya dia menawarkan pekerjaan kepada ayah untuk bekerja di tempatnya dia. Semual ibu dan aku tidak setuju jika ayah pergi. Tapi mengingat keadaan kami waktu itu, aku yang ingin melanjutkan sekolah tingkat atas dan adikku yang naik ke kelas empat butuh peralatan sekolah yang baru. Semuanya itu butuh biaya yang tidak terbilang sedikit bagi kami. Akhirnya kami pun merelakannya pergi.

”Ini buat ibu dan adik”, ucap ayah sambil menyerahkan bingkisan bermotif waran-warni, ”Dan ini buat Ahmad”. ”Terima kasih,Yah”, ucap kami bersamaan. Kami membuka bersama-sama sambil menerka-nerka apa isinya. ”Alhamdulillah!”, pekik ibu dan adik hampir bersamaan. Sempat kulirik apa isi bingkisan mereka, ternyata punya ibu sebuah mukena dan punya adikku sepasang sepatu berwarna hitam dengan kombinasi putih. Selanjutnya giliranku membuka apa isi bingkisanku dan ternyata?”Alhamdulillah”, seruku. Ternyata isinya baju koko warna putih. ”Terima kasih,Yah!”, ucapku sambil memeluk ayah.

.........

Dua tahun telah berlalu sejak ayah pulang ke rumah. Aku merasa waktu begitu cepat berlalu melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. Sungguh tidak terasa dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Pagi jadi siang, siang jadi malam dan seterusnya. Hanya Sang Maha Kuasa yang bisa menghentikannya. Semua itu terjadi tak lain agar manusia berpikir bahwa Tuhan itu berkuasa atas segalanya dan hidup di dunia ini tidak untuk selamanya. Selama ayah bekerja ekonomi keluarga kami semakin membaik. Namun untuk kedua kalinya kami harus merelakan ayah untuk pergi bekerja kembali. Rabu pagi, aku mengantar ayah berangkat kembali ke perantuannya untuk bekerja demi memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga, yaitu mencari nafkah. Entah mengapa aku merasa kepergian ayah kali ini untuk selamanya. Tak terasa butiran air bening menetes dari mataku dan membasahi pipiku. Aku segara mengusapnya agar tidak terlihat ayah, ibu, dan adikku. Kami pun melepas kepergiannya dengan suka duka. Aku pun berdoa semoga perasaanku tidak menjadi kenyataan.

.........

Sudah dua bulan sejak ayah pergi, tapi belum juga memberi kabar kepada kami. Ternyata Tuhan memang sudah punya rencana lain, pagi itu tiba-tiba...

”Kak Ahmad...!”, seru adikku sambil berlari kecil ke arahku. Kulihat dia membawa secarik kertas. ”Ada apa, Dik?”, tanyaku sambil keheranan. ”Ini, Kak! ada telegram dari ayah”, sambil menyerahkan secarik kertas yang tadi dipegangnya. Aku pun membacanya. Aku terperanjat kaget. ”Ya...Allah!”, seruku. ”Ada apa, Kak?”, tanya adikku keheranan. ”Ayah kecelakaan, Dik”, jawabku. ”Ayah jatuh dari tangga sewaktu dia bekerja di gudang buah. Sekarang dia dirawat di rumah sakit”, lanjutku. Aku pun segera membereskan peralatan bertaniku dan mengajak adikku untuk segera pulang ke rumah.

Tok,tok,tok...”Assalamu’alakum”, ucapku sambil mengetuk pintu. ”Wa’alaikumsalam”, jawab seorang wanita dari dalam yang rambutnya mulai beruban, dialah ibuku. Setelah istirahat sejenak melepas lelah tanpa menunggu lama, aku bertanya kepada ibu perihal keadaan ayah. Dia pun menjawabnya dengan jelas dan tutur kata yang halus agar aku tidak terlalu mencemaskannya. Setelah mendengar penjelasan beliau, hatiku sedikit tenang. ”Doakan saja, semoga ayahmu cepat sembuh”, pinta ibuku. ”Iya, Bu”, jawabku sopan.

.........

Malam harinya, langit menunjukkan wajah mendungnya sejak sore tadi, tapi hujan juga belum turun. Aku teringat akan perasaanku ketika ayah pergi. Aku jadi gelisah dan berpikiran yang bermacam-macam. Aku tepis semua perasaanku itu dan aku berdoa semoga ayah cepat sembuh. Semuanya kuserahkan kepada Allah. Tapi semua itu taidak menyuruykan niatku untuk pergi ke sekolah madrasah malam ini. Di kelas aku pun seperti biasanya. Namun, ketika jam pelajaran berlangsung perasaan itu kembali menghampiri diriku. Sehingga akhirnya ada seseorang yang masuk ke kelasku yang sebelumnya dia mengucapakan salam terlebih dahulu. Sepertinya aku mengenalnya dan tidak asing bagiku. Ya...dia adalah Pak Idrus tetangga kami. Aku mengenalnya cukup baik karena dia adalah rekanku bekerja di sawah. Yang membuatku heran, mengapa dia malam-malam begini datang ke sekolahku. Aku melihat raut wajahnya begitu serius ketika berbicara dengan ustadzku. ”Ahmad!”, panggil ustadzku.”Ya, Ustadz. Ada apa?”, jawabku.”Kamu ikut pulang ke rumah bersama Pak Idrus”.”Tapi kenapa, Ustadz?”, tanyaku keheranan.”Sudahlah, Nak!”,”Ikut saja sama saya ada hal penting yang harus disampaikan ke kamu”, kata Pak Idrus.”Betul Ahmad.Ada hal penting yang harus kamu ketahui yang bersifat pribadi”, kata ustadz.”Dan kamu sudah saya beri izin untuk pulang”, lanjutnya. ”Ya sudah!apa boleh buat kalau ustadz sudah memberi izin kepada saya”, kataku sambil membereskan peralatanku sekolah. Kemudian aku mengikuti Pak Idrus dari belakang ketika berjalan keluar kelas yang sebelumnya aku berpamitan kepada ustadz dan teman-temanku.

.........

”Innalillahi wa inna ilahi rooji’uun”, ucapku lirih ketika Pak Idrus mengatakan padaku bahwa ayah sudah tiada waktu maghrib tadi. Dia juga mengatakan bahwa jenazahnya sedang dalam perjalanan pulang. Bersamaan dengan itu langit mencurahkan ribuan, jutaan bahkan milyaran butiran air yang bening dari dirinya. Suara gemuruh petir menyambar-nyambar di kolong langit. Sepertinya langit mengerti akan perasaanku waktu itu. Tak terasa butir-butiran air suci membasahi pipiku. Tanpa berpikir panjang aku pun berlari menembus derasnya hujan dari langit. Aku tidak peduli dengan keadaan sekitarku apalagi Pak Idrus yang masih berdiri mematung dengan kesedihannya. Sempat kutoleh, dia masih berdiri di tempatnya dengan raut wajah memendam duka yang mendalam terhadap diriku. Pikiranku kacau balau, apa yang harus aku lakukan. Aku masih terus berlari menembus derasnya hujan tak peduli aral yang melintang di depan aku. Yang hanya dalam pikiranku adalah agar cepat sampai di rumah.

.........

Tiga tahun telah berlalu sejak wafatnya ayah. Kini semua telah berubah. Sekarang aku sudah mapan bekerja dan ibuku sudah menimang cucu dari pernikahanku. Adikku juga sudah mau tamat SMA. Kami semua bisa bertahan sejak ayah wafat karena beliaulah yang mengajarkan agar kami selalu bersyukur dan terus berusaha. Semoga engkau tersenyum melihat kami. Terima kasih, Ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun