Mohon tunggu...
Elizabeth Sandra
Elizabeth Sandra Mohon Tunggu... -

IT enthusiast, art and culture lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pusat Rehabilitasi Untuk Para Perokok

25 Mei 2012   08:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:48 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Artikel di Kompas hari ini (http://health.kompas.com/read/2012/05/25/13590750/Jumlah.Perokok.Anak.Bisa.Naik.6.Kali.Lipat) membuat saya teringat akan video yang saya lihat beberapa waktu lalu yang sempat beredar di sosial media mengenai riset tentang perokok di Indonesia (http://www.youtube.com/watch?v=DiyWK3fzTpA&sns=fb). Saya sangat prihatin dengan situasi ini, terutama karena rendahnya kesadaran masyarakat akan bahaya merokok. Terlebih lagi, situasi ini semakin diperparah dengan beredarnya trend merokok di kalangan anak di bawah umur, khususnya balita. Tahukah Anda bahwa Indonesia menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak? Ranking tersebut bukanlah sesuatu yang harus kita banggakan, malah seharusnya menjadi bahan refleksi untuk kita semua.

Indonesia memang termasuk negara yang cepat mengikuti perkembangan globalisasi, sehingga trend merokok pun sangat cepat menyebar di masyarakat. Jika trend tersebut memang membawa dampak positif, itu tidak menjadi masalah. Namun yang harus diperhatikan adalah jika trend tersebut merusak masyarakat kita. Di luar negeri, terutama di negara 4 musim, orang merokok dengan tujuan untuk menjaga kehangatan tubuh karena cuaca yang dingin. Tapi saya tidak melihat alasan itu untuk merokok di Indonesia karena menurut saya di Indonesia cuaca sangat panas.

Yang membuat saya tidak habis pikir adalah para orang tua yang tanpa rasa bersalah malah memperkenalkan rokok kepada anaknya. Tidak perlu diperkenalkan pun seorang anak bisa menjadi perokok kalau ia sering memperhatikan orang tuanya yang merokok, apalagi kalau dengan sengaja diajari. Sebagai contoh, coba simak kasus Sandi, si balita asal Jawa yang merupakan perokok. Ia sudah mulai merokok dari usia 2 tahun dan dapat menghabiskan 4 bungkus rokok dalam sehari. Kalau tidak dikasih rokok, maka ia akan menangis. Apa yang ada di pikiran orang tua Sandi?

Memang sulit mengubah situasi sekarang terhadap rokok, tapi masih ada kesempatan untuk kita merancang masa depan yang lebih baik untuk generasi anak-anak kita berikutnya. Saya yakin para perokok itu pun sebenarnya sadar akan bahaya rokok, namun karena sudah terlanjur kecanduan, sulit bagi mereka untuk berhenti. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengajarkan kepada anak-anak kita untuk menyadari bahaya merokok, bukan malah mendukung mereka.

Bagi saya rokok sama berbahayanya dengan narkoba. Jika ada pusat rehabilitasi untuk pengguna narkoba,  bukankah akan lebih baik jika ada pusat rehabilitasi juga untuk para perokok?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun