Mohon tunggu...
Bintang RamadhanaAndyanto
Bintang RamadhanaAndyanto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Anak negeri. Tukang ngopi. Pakar senjalogi.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Neraca Bagaikan Neraka

11 Juni 2023   12:31 Diperbarui: 11 Juni 2023   12:47 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika masih berada di bangku SMA, saya termasuk ke dalam golongan siswa yang mengambil penjurusan IPS. Sejatinya, saya ingin mengambil jurusan IPA, tetapi karena satu dan lain hal, takdir malah menuntun saya untuk mempelajari ilmu sosial dibandingkan ilmu sains. Saya pun hanya bisa tersenyum dan berlapang dada.

Selama tiga tahun, masa SMA berjalan dengan begitu menyenangkan. Dari segi pertemanan, saya berhasil mendapatkan banyak sahabat dan orang-orang baik yang tidak akan pernah saya lupakan. Dari sisi romansa, saya juga sempat merasakan indahnya jatuh cinta dan menyukai seorang gadis. Singkatnya, masa putih abu-abu merupakan masa-masa yang memberikan banyak senyuman di wajah saya; menggoreskan banyak kenangan yang selamanya akan tersimpan di dalam memori. Jika dipikirkan kembali, tampaknya keputusan takdir tidaklah salah; IPA ataupun IPS itu sama saja. Semuanya tergantung bagaimana cara kita menyerap segala macam ilmu yang diberikan oleh bapak-ibu guru di sekolah.

Jika berbicara mengenai kemampuan menyerap ilmu, saya harus mengakui bahwa saya sesungguhnya bukanlah murid yang paling pintar. Memang, untuk menyebut saya bodoh juga sangatlah berlebihan. Namun, untuk menyebut saya cerdas, tampaknya saya juga tidak berani untuk berkata seperti itu. Anggap saja saya berada di level pertengahan; tidak pintar-pintar amat, tetapi juga tidak goblok. Satu hal yang harus kalian ketahui: saya tidak pernah tidak naik kelas. Ingat itu baik-baik!

Akan tetapi, ada satu pengalaman yang tidak pernah saya lupakan. Jika diingat-ingat kembali, rasanya ini merupakan salah satu momen paling memalukan yang pernah saya alami di SMA. Nahasnya, ini berkaitan dengan kemampuan menyerap ilmu dari para pengajar yang sebelumnya telah saya singgung sedikit. Jadi, saat itu adalah kelas mata pelajaran Ekonomi. Guru yang mengajar mapel tersebut terkenal galak; mayoritas murid menganggapnya sebagai guru killer. Tidak pernah ada satu siswa-siswi pun yang berani macam-macam dengan guru ini--sebut saja Pak Ahmad--, entah dengan cara tidak mengerjakan PR, mengobrol di kelas yang tengah dia ajar, dan berbagai bentuk kenakalan khas anak sekolah lainnya.

Pada saat itu, materi yang diajarkan Pak Ahmad adalah mengenai neraca dalam akuntansi, tepatnya neraca lajur. Dengan detail, ia menjelaskan mengenai definisi, jenis, dan contoh dari jenis neraca yang satu ini. Akan tetapi, kala itu saya tidak mendengarkan semua penuturannya dengan baik. Pasalnya, mata saya begitu mengantuk sehabis begadang menyaksikan laga sepak bola pada dini hari sebelumnya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang mengherankan apabila saya sama sekali tidak dapat menyerap ilmu apa pun yang diberikan Pak Ahmad pada siang hari itu.

Ketika melihat saya tampak tidak sepenuhnya menaruh perhatian terhadap materi di papan tulis, Pak Ahmad seketika memangggil nama saya. Dengan kaget, saya langsung terjaga dari kantuk.

"Coba kamu jelaskan apa itu neraca lajur!" seru Pak Ahmad dari meja guru.

Mampus. Saya hanya terdiam. Saya tidak bisa menjelaskan apa itu neraca lajur. Kebingungan saya itu langsung ditangkap oleh Pak Ahmad. Dengan sorot mata tajam nan mengerikannya, ia menyuruh saya bangkit dari tempat duduk dan segera maju ke depan kelas. Kalian bisa menebak apa yang terjadi setelahnya? Ya, apa lagi kalau bukan hukuman; saya disuruh duduk di depan kelas selama sisa jam pelajaran; mengamati wajah teman-teman saya yang sulit menahan tawa atas kenahasan yang menimpa saya.

Sejak saat itu, saya menganggap neraca tak ubahnya neraka. Sebuah mimpi buruk yang menakutkan. Sebuah tragedi yang membuat saya jadi dipermalukan di hadapan rekan-rekan sekelas. Untungnya, saya tidak sakit hati. Saya lebih melihatnya sebagai sebuah pengalaman buruk yang tak boleh diulangi lagi. Saya harus menjadi pelajar yang lebih baik lagi ke depannya. Dan kabar baiknya, hal itulah yang coba terus saya lakukan hingga sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun