Seperti sebuah trend, warmindo atau warung makan indomie dan kafe semakin banyak bermunculan di sekitar kita. Warmindo dan kafe yang tadinya hanya mengincar khalayak muda sebagai peminatnya perlahan-lahan juga menjadi tempat nongkrong orang-orang yang sudah berumur. Saking banyaknya, terkadang jarak antar outletnya tidak jauh bahkan kita bisa berpindah hanya dengan berjalan kaki.Tak jarang di tempat yang bisa dibilang terpencil sekalipun kita bisa menemukan kafe dan warmindo.
Munculnya warmindo dan kafe perlahan-lahan menggusur usaha-usaha makanan lainnya. Banyak warung makan dan rumah makan sederhana yang gulung tikar akibat kalah saing dengan warmindo dan kafe. Warmindo sendiri memiliki keuntungan berani untuk buka selama 24 jam dan kafe memiliki keuntungan karena memiliki gengsi bagi peminatnya.
Ditengah-tengah merebaknya warmindo dan kafe yang perlahan-lahan menggusur rumah makan disekitarnya ternyata masih banyak warung makan tegalan yang bertahan. Dengan ciri khasnya yang berbeda dengan tempat makan lainnya, membuat menyantap hidangan di warung makan tegalan terasa lebih nikmat dibanding tempat lain, mulai dari makanan yang dihidangkan prasmanan, sayur serta lauk yang beragam, hingga penempatan posisi tempat duduk yang membuat pelanggan betah.
Warung makan Pojok 04 Tundan adalah salah satu warung makan tegalan yang masih bertahan hingga sekarang yang terletak disekitaran kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Warung ini didirikan dan dikelola oleh ibu Suratiningsih beserta keluarga.
Pada awal tahun 2014, ibu Suratiningsih atau yang akrab dipanggil Bu Ning mendirikan sebuah warung makan tegal dengan konsep yang sangat sederhana. Memotong sebagian ruang tamu dan menggunakan garasi sebagai area warung makan pada awalnya. Bukan hanya konsep warung makan yang sederhana menunya pun hanya alakadarnya, awalnya hanya nasi serta sayur-sayur seperti sayur lodeh, sup, dan sayur asem dengan lauk telur goreng, ikan goreng, dan ayam kecap. Rupanya dengan konsep sederhana seperti ini warung makan yang dijalankannya sudah bisa meraih keuntungan meski belum terlalu banyak.
“Tahun 2014, pas itu suami saya kerjaannya pemborong kesana-kesini tapi suami saya pendengarannya kurang jadi saya punya ide buka usaha wiraswasta buat membantu penghasilan keluarga, karena pas awal buka belum begitu rame suami tetap kerja di pembangunan dan saya sendiri yang menjalankan warung makan ini.” begitulah tutur Bu Ning dalam salah satu kunjungan kami.
Belum berjalan lama rupanya terjadi penurunan keuntungan pada usaha warung makan ini. Entah kenapa jumlah pengunjung dan peminat semakin berkurang. Bu Ning bercerita “ya awal-awal jualan itu masih sepi pendapatan ya standar lah tapi menjelang tahun 2015 tambah rame, awal-awal dulu masakan saya banyak yang manis seperti ayam saya masak semur, sambalnya manis, apa-apa manis, banyak yang nggak laku, untungnya dulu pembelinya mau protes jadi saya tahu apa aja yang harus diubah, kebetulan kakak saya dari Sumatra pulang ikut masak dan kebanyakan masakannya pedas, dari situ saya tahu kalau perlu dari resep saya yang banyak dirubah.”.
“Pas semakin rame saya dapat tawaran kur dari bank, kalau nggak salah dulu saya ambil sekitar lima juta rupiah, dari dana itu warung saya perluas ke bagian yang sekarang ini, karena tambah rame juga suami saya saya suruh berhenti kerja pemborong ikut bantu di warung aja.” kata Bu Ning dengan senyum lebar diselingi tawa kecil.
Semakin berjalannya waktu Bu Ning menyadari bahwa ukuran tempat yang saat itu dipakai terlalu sempit dan sederhana berbanding terbalik dengan jumlah peminat dan pengunjung yang terus meningkat. Tidak tinggal diam, bagian bangunan yang awal mulanya disewakan diubah sedemikian rupa untuk memperluas warung makan, dinding yang berdiri dilubangi diberi jendela yang lebar agar udara bisa keluar masuk lebih leluasa dan membuat pengunjung bisa lebih nyaman ketika menyantap hidangan di tempat atau sekedar nongkrong sembari menikmati es teh.
Bu Ning juga bercerita mengenai nama warung makan ini. Mengingat ketika didirikan Bu Ning tidak memberikan nama pada warung makan miliknya ini membuat pelanggan bingung ketika ingin menyebut warung makan ini. Hingga pada suatu saat sekumpulan mahasiswa yang sering nongkrong di warung dan sudah cukup akrab dengan Bu Ning dan Keluarga memberikan nama secara asal-asalan agar mudah menyebut warung makan ini. Para mahasiswa itu memberikan nama warung “Waton Adol” atau jika diartikan ke Bahasa Indonesia artinya asal jualan.