42 tahun sudah saya hidup di Jakarta. Pernah tinggal hampir di semua wilayah di kota metropolitan ini. Pun kawasan pinggiran. Walau berdasarkan azas ius soli ataupun ius sanguanis, saya bukan betawi, tapi agama saya mensyukuri perbedaan dan melarang kebencian.
Saya suka proklamasi Arnold Swazeneiger, imigran mantan gubernur California yang meng-klaim diri sebagai American. Maka konsitusi kita juga menjamin saya untuk merasa batavian. Pasti tidak ada yang berhak mengusir saya dari Jakarta.
Saya tidak punya tempat mudik lagi, kecuali masa bocah, apalagi saya multi suku. Sayangnya, kualitas Jakarta semakin merosot, bukan soal kemapanan, tapi ruang Ibukota sepertinya semakin tidak tertata, menghirup udara yang semakin kotor, ketentraman sedemikian terusik, dan bising.
Jakarta bukan cerita tempat yang membanggakan sebagai warga. Dan ini semua membuat saya selalu ragu untuk dapat suasana first class dalam masa pensiun nanti. Nah, saya hanya ingin perubahan besar, Jakarta yang nyaman seperti cerita-cerita film tempo doeloe. Ah.. saya benar-benar kangen.
Jakarta yang memiliki tebaran fasilitas senior citizen, community center, olah raga, air bersih, keamanan, sungai-sungainya yang bersih dan romantis. Jadilah JAKARTAKU. Saya hanya punya satu suara, tapi ini adalah pilihan hidup, pilihan JAKARTAKU.
Terima kasih upaya dan pengabdian administrasi kawan-kawan selama ini untuk Jakarta, prestasi kalian tentu tidak sedikit. Satu suara saya ini untuk mendukung lembaran baru bagi, awal sejarah, untuk mewujudkan JAKARTAKU. Dapatkah administrasi Jokowi atau mungkin munajat Foke melakukan revolusi administrasi untuk meyakinkan saya atas angan JAKARTAKU dalam sisa waktu ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
