Tidak salah jika warga Jakarta kesal pada gubernur yang sekarang. Warga mungkin sudah bosan dengan kemacetan, dan juga banjir. Bisa jadi saya sama dengan kebanyakan mereka. Sebagai orang yang lahir dan besar di Ibukota, saya selalu berharap kota ini bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman, dan "bersahabat" bagi para pekerja.
Munculnya calon gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, seakan membawa angin segar. Harapannya, pemimpin baru untuk kota yang lebih baik. Warga pun melirik Jokowi. Hal itu dapat dilihat dari hasil perolehan suara pada Pilkada DKI putaran pertama.
Jokowi unggul hampir di semua wilayah. Dia, dan wakilnya, Ahok, menempati posisi puncak dengan perolehan 1.847.157 suara. Pada posisi kedua, pasangan incumbent Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli memperoleh sejumlah 1.476.648 suara.
Warga tergiur dengan kabar keberhasilan Jokowi di Solo. Juga pencitraan yang sangat baik di media massa. Ya, media memang berperan besar dalam mengangkat figur Wali Kota Solo itu. Riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta periode 1-31 Juli 2012 menunjukkan pasangan Jokowi-Ahok memperoleh porsi pemberitaan lebih besar ketimbang lawannya, Foke-Nara.
Lalu apakah benar Jokowi bisa mengatasi masalah utama Ibukota? Tentu saja memimpin Solo tidak lebih sulit dari Jakarta. Dari segi geografis saja kalah jauh. Jakarta memiliki luas wilayah 740 km persegi dan Solo hanya 44 km persegi. Jumlah penduduk pun begitu, DKI 10 juta jiwa, Solo 500 Ribu.
Jokowi sukses memimpin Solo? Ah tidak juga. Lihat saja angka kemiskinan di sana. Data BPS 2012 dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) sebagaimana yang dilansir www.medialiputanindonesia.com mencatat, pada tahun 2009 jumlah orang miskin di Solo sekitar 107.000 jiwa, 2010 meningkat menjadi 125.000 jiwa, dan pada tahun 2012 ini jumlah warga miskin mencapai 133.000 jiwa atau sekitar 25 persen dari total penduduk solo yang mencapai 530.000 jiwa.
Masalah sampah tidak bisa dianggap sepele. Sejumlah media lokal menulis track record Jokowi dalam mengelola sampah di Solo kurang memuaskan. Sampah yang dimiliki warganya hanya dikumpulkan dan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo.
Warga Jakarta memang belum melihat sendiri "borok" Jokowi. Tapi Foke, sudah menjadi makanan sehari-hari (baca: macet).
Pilihan yang berat, Jakarta akan tetap buruk atau makin buruk. Tapi setidaknya warga bisa menggunakan akal sehat, tidak gegabah. Apalagi hanya pelarian yang baru sadar di belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H