Istana adalah pusat kekuasaan. Apapun bentuk dan bagaimanapun sistem pemerintahannya. Monarkhi maupun demokrasi. Dari istana pancaran kekuasaan menyebar keseluruh kehidupan masyarakat. Istana bukan hanya simbol yang didefinisikan sebagai tempat "jumeneng" presiden atau raja semata. Istana bukan bangunan tanpa makna. Keberadaannya merupakan otomatisme dari hukum hierarki sempit yang melatari luas dan tidak terbatasnya kekuasaan.
Sejak orde Soeharto-kabir, istana ditransformasikan -tidak sekedar central kekuasaan- menjadi pabrik yang memproduksi kekuasaan; kekuasaan ketat yang mengatur masyarakat atas nama stabilitas. Instrumennya mapan dan kuat. Ada P4, asas tunggal Pancasila, ABRI -yang- masuk desa, kurikulum sekolah serta contoh-contoh aparatus orde Soeharto-kabir lainnya.
Dalam prosesnya, istana merupakan kehidupan lain dari sejarah rakyat yang berjuang untuk ber-bangsa dan ber-negara Indonesia. Penindasan terhadap rakyat dan eksploitasi seluruh kekayaan bangsa bersumber dari dalam istana. "Transaksi maut" -untuk mendapatkan keuntungan dan jabatan sampai tega mengorbankan kepentingan rakyat serta "perjanjian setan" atas nama investasi dan pinjaman luar negeri hingga menggadaikan kedaulatan- pun dilangsungkan di dalam istana. Demikian juga arah gerak kelompok kepentingan -yang belum mendapatkan atau sudah memperoleh -tetapi kurang- jatah kekuasaan jua menuju-ke istana.
Ketika istana mewujudkan diri sebagai kekuatan yang represif-reaksioner, menindas, eksploitatif, menipu (pembohong) dan munafik, maka ia tidak sedang bekerja sendiri. Dan istana sudah tidak bisa lagi dimaknai sebagai kantor presiden saja. "Istana" adalah perjumpaan antara: rezim neoliberal yang menindas, partai politik yang korup dan kontra produktif dengan Dewan perwakilan boneka yang mengabaikan cita-cita demokrasi rakyat.
Dahulu, ketika revolusi Prancis berkecamuk, hanya ada satu musuh bersama rakyat Prancis saat itu; istana Versailles. Semua yang berhubungan dengan istana Versailles, tidak hanya raja, para penghuni istana, aparatus, institusi, nilai dan ide yang berhubungan dengan istana adalah musuh.
Oleh rakyat Prancis, istana Versailles dianggap lebih dari sekedar simbol kekuasaan. Istana dimaknai sebagai pusat sekaligus sumber yang menjadi petaka-kesengsaraan yang dialami rakyat Prancis. Istana adalah musuh bersama - common enemy.
Di Indonesia, belum ada catatan dari masa lalu yang merekam terakumulasinya energi massa mengganyang istana. Istana tidak terjamah laju gerak sejarah perjuangan rakyat. Istana selalu luput dari perdebatan para pegiat revolusi. Perubahan bagi banyak kalangan hanya persoalan kekuasaan presiden. Seolah ketika kekuasaan tertinggi berhasil dilengserkan, dengan alamiah - pranata kekuasaan yang lain turut lengser jua.
Padahal, sekian kekeliruan kaum pergerakan di Indonesia akhir-akhir ini dikarenakan abai pada satu situasi objektif di masyarakat; meskipun pengalaman penjajahan dialami selama hampir empat abad, tetapi kebencian masyarakat terhadap penjajahan belumlah tumbuh. Entah dirasa atau tidak, nyatanya sejak lahir kita sudah-sedang ditindas dan itu kelumrahan yang harus diterima. Seperti itu masyarakat mendefinisikan penindasan. Penjajahan adalah cerita.
Rakyat harus diperlihatkan -secara nyata- bukti penindasan yang selama ini mereka alami. Kaum pergerakan harus menemukan konduktor penindasan dan mensistematisasikan sesederhana mungkin agar mudah dipahami masyarakat sebagai musuh bersama yang harus dihancur-leburkan.
Istana harus menjadi symbol kekuatan yang dihendak dihancurkan oleh gemuruh semesta rakyat. kita tahu jika media massa, khususnya televisi berhasil mengharu-birukan suasana Republik lewat opini dalam berita yang dikabarkan dengan isi yang kurang mendidik. Rakyat dibuat bingung oleh banyaknya opini yang justru semakin mengaburkan kontradiksi benar-salah. Siapa dalang dan siapa yang terlibat.
Hukum kausalitas tidak boleh melupakan ranting bercabang dan daun yang rimbun. Logika akar dan buah tetap ditopang oleh ranting dan daun. Setelah kemerdekaan, baik Belanda maupun Inggris tidak pernah benar-benar menjadi musuh bersama rakyat Indonesia. Terbukti ternyata pada tahun 1965-66 rantingnya menusuk Republik. 1998 Soeharto dan militer; hanya dimusuhi mahasiswa. Masyarakat tetap mencintai ABRI. Padahal mereka bukan hanya tukang panggul senjata, tetapi juga tukang panggul upeti. Kini, ketika penindasan berakar beton 'pancasila', berdahan besi demokrasi dan berdaun rupiah, apakah susilo yudhoyono yang harus dilengserkan.