Mohon tunggu...
Ide Bagus Arief Setiawan
Ide Bagus Arief Setiawan Mohon Tunggu... -

Menaruh minat pada kajian sejarah, politik, pendidikan dan kebudayaan. Suka kopi, anti oligarki.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketidaksadaran yang Mengerti

17 Maret 2012   01:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:56 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Keniscayaan. Apapun yang dimulai harus diakhiri. Mempunyai kekuatan atau tidak untuk menyudahi, memiliki niat atau tidak untuk menyudahi, semua yang dimulai harus-akan berakhir. Hanya jalan cerita dan rasa kehilangan yang tersisa. Tangis dan senyum mungkin sedikit membumbui, seperti garam yang harus ada disetiap masakan.

Kehilangan. Kenapa kita musti merasa kehilangan? Mungkin karena kita cinta kepemilikan. Sebab gemar bin gandrungnya kita pada milik dan kepemilikan, membuat kita tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu apapun. Bahkan untuk memiliki sesuatu yang kita jaga-kita cintai sekalipun.

Manusia. Selagi hidup dan menjumpai hari, selama itu pula manusia adalah kehilangan. Bagaimanapun kita memeluk erathari ini, kita akan kehilangannya esok pagi, seperti halnya kita kehilangan hari kemarin. Besarnya semangat menghadapi hari esok tak lebih besar dari rasa kehilangan hari kemarin. Penyesalan, keinginan untuk mengulangi dan keraguan apakah kelak bisa merasakannya kembali menjadi alasan mengapa waktu yang terlewati menjadi berharga.

Seribu kali orang mengatakan ‘yang lalu biarlah berlalu’, seribu kali yang ‘terlewati memanggil kembali’.Pengetahuan kita akan masa depan tidak pernah ada. Masa depan terlalu sesak dengan keinginan, asa dan harapan. Harapan bukan pengetahuan. Pengetahuan manusia adalah pengetahuan masa lalu. Yang pernah dilewati, yang sedang dijalanai. Jika ada pengetahuan kita tentang masa depan itu semata ramalan, yang sering diilmiahkan.

Waktu. Sebelum kita berfikir untuk meninggalkan gelanggang ini, ribuan orang sudah meninggalkannya terlebih dahulu. Sebelum kita mengambil langkah untuk menepi dari jalan ini, jutaan orang sudah mencaci jalan yang kita lewati. Gelanggang tempat dimana gagasan dipertemukan. Jalan diamana keyakinan dibuktikan. Semua yang kita yakini memang harus dibuktikan. Isi kepala yang kita namai gagasan harus dipertemukan. Entah dengan cara apa kita membuktikannya. Entah kapan kita mempertemukannya.

Angka. Sebab manusia mengusir waktu yang menghimpitnya dengan mengutuk jumlah hari. Lumrah jika kemudian waktu dimaknai semata hari dan jam. Jumlah waktu terbatas dan berulang, sedang angka tidak terbatas dan tidak dibatasi. Angka hitung bisa menjadi jembatan jarak dari bumi ke langit. Terukur, meski yang mengukurnya harus menerima kenyataan bumi yang terbatas oleh waktu. Siapa akan mengutuk angka? Siapa mau menangisi waktu?

Waktu tak dapat menguasai angka-angka. Angka kekal dalam waktunya, dan bumi tidak menjadi tempat yang membatasinya. Waktu sudah dimenangkan oleh mereka yang berani untuk hidup meski diatas kapal menjelajahi bumi mencari tanah koloni. Bumi sudah dimenangkan oleh mereka yang ‘menyia-nyiakan’ waktu untuk membuktikan angka-angka.

Suara. Kala syair-syair enggan dinyanyikan, puisi tak lagi bangga dibacakan. Suara-suara lirih terdengar dari kejauhan. Seperti lolong anjing menggunjing rembulan yang belum bulat sempurna. Saat itulah ke-berhenti-an datang menyeringai, menakutkan melebihi datangnya kematian. Gagasan menjadi cerita. Keyakinan berubah menjadi doa. Berakhirlah.

Harus ada jeritan yang terdengar sumbang. Tidak memanggil, tapi meng-ingat(k)an. Bahwa pelukan sejarah tak lagi erat dan terlalu rapuh untuk menyangga masa kini, sedang masa depan berpaling jauh dari masa lalunya. Butuh suara yang sabar kepada waktu, yang membangunkan manusia dari kehilangannya. Kehilangan ingatan akan masa lalunya. Kehilangan pikiran masa depannya.

Mabuk. Ketidaksadaran yang mengerti. Mengartikan apa yang terjadi dan apa yang berubah menjadi seperti perang kerinduan yang meninggalkan ingatan. Seperti rindu gadis pada lelaki yang minggalkan luka tapi dicintainya. Ada apa gerangan dengan perang rindu dan damai masa lalu? debu tebal yang menutupi masa depan jadi berhala, ketidakpastian menguasai ingatan. Yang terlewat justru tak jadi pelajaran. Jalan sejarah tak lagi berliku, tapi searah. Membosankan, tapi harus diterima sebagai konsekuensi kekalahan.

Kalah. Kesempatan menang yang disia-siakan. Dengan menang, kita punya hak untuk tidak mengingat. Karena kekalahan, kita terima nasib sebagai yang dilupakan. Amnesia sejarah kira-kira begitu pakar menyebutnya. Bukan penyakit medis, dokter tak akan sanggup mengobatinya. Amnesia sejarah diidap bukan semata karena sedikitnya pengetahuan manusia tentang masa lalunya, bukan juga karena lupa yang tak disengaja. Amnesia sejarah merupakan produk dari sejarah itu sendiri. Mengobatinya harus dengan (membuat) sejarah pula. Tidak dengan kurikulum, legislasi apalagi perayaan.

Karena kita manusia kah lalu menulis? Karena keniscayaan kah kita menangis?Karena waktukah kita berjalan? Karena angka-kah kita berperang? Karena takutkah kita bersuara? Saya pikir semua itu karena kita kalah dan mabuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun